"Siapa?" tanya Razie setelah Kanza berada dalam mobil, membuat istrinya tersebut menoleh ke arahnya. "Hah? Yang tadi?" tanya Kanza balik, duduk di sebelah suaminya yang mengemudi dengan memangku Kendrick. Razie cukup singkat, jadi Kanza bingung kemana arah pertanyaan suaminya ini. "Humm." Razie hanya berdehem, menyalakan mobil sembari melaju dari sana. Dia perhatikan, Kanza cukup jahil pada anak dari perempuan tersebut. Yang Razie tidak suka adalah perempuan itu berteriak marah pada istrinya. "Yang dewasa, dia Safa, dan yang kecil-- dia anaknya Safa," jawab Kanza seadanya. Demi Tuhan, dia kurang nyaman ketika berbicara dengan Razie. Pria ini selalu berucap dengan kalimat yang singkat. Bahkan kadang tidak bisa disebut sebagai kalimat karena hanya terdiri dari satu suku kata. Humm! Razie sangat sering berdehem. Entah untuk tujuan mempertanyakan, meyakinkan, atau menyetujui. Kanza tipe orang yang banyak berbicara, tetapi malah berjodoh dengan tipe pria yang tidak suka banyak bicar
"Daddy, Mama?" Razie bangkit dari atas tubuh istrinya, setelah sebelumnya melayangkan tatapan penuh peringatan pada Kanza– kesal karena istrinya tersebut terlihat gembira. Itu sama saja Kanza bahagia di atas penderitanya. Hukuman! Tentu saja! Kanza harus mendapatkan hukuman setelah ini. "Humm." Razie berdehem, sudah duduk di pinggir ranjang sembari bersedekap di dada– menatap berang ke arah putranya. Mengganggu kesenangan Razie saja! "Ada tamu," ucap Kendrick datar, mendekati Daddy dengan sejenak menatap ke arah Mommynya. "Usir saja mereka. Daddy tidak suka tamu," dingin Razie, masih kesal dan tak terima karena waktunya bersama Kanza terganggu. Sial! Tamu menyebalkan! "Tidak bisa. Granddad juga ada," jawab anak tersebut, lagi-lagi menoleh ke arah Mamanya, penasaran apa yang Daddy dan Mamanya lakukan barusan. "Mama dan Daddy tadi sedang apa?" tanya Kendrick, "Daddy menggigit Mama lagi?" Kanza yang sudah duduk, hanya bisa menyengir kaku. Sialan memang suaminya ini!! Jika sudah
Arga memucat setelah membaca pesan yang Beby kirim pada Kanza, dia menentang– merasa malu pada keluarga ini serta merasa kecewa pada Beby. Dia susah payah memperjuangkan putrinya tersebut, tetapi kelakuan Beby malah seperti ini. Namun, bagaimanapun juga Beby adalah putrinya. Meskipun Beby salah haruskah putrinya tersebut di permalukan seperti ini?"Aku tahu Beby salah. Tetapi haruskah kalian memperlakukannya seperti ini, Razie? Kita semua tahu jika Beby sedang depresi, dia melakukan itu tanpa kesadaran sepenuhnya. Lihat akibatnya, kondisi Beby semakin memburuk." Arga berucap lirih, dia hanya ingin keluarga ini bersimpati pada putrinya."Hanya karena putrimu depresi kami semua harus memaklumi kelakuannya?" Reigha menaikkan sebelah alis. "Kau tahu betul siapa Azam, dan yang Razie lakukan itu masih bisa dikatakan lebih baik."Arga memucat pias, menghela napas pelan dan tak berani bersuara. "Kali ini aku tidak memihak padamu, Arga. Kelakuan putrimu sangat menjijikkan, dan itu salahmu ka
"Daddy, Ken nggak bisa bicara yah? Tuli? Bisu? Atau apa?" tanya Zira pada Daddynya. Reigha menaikkan sebelah alis, menatap cucunya tersebut dengan sorot geli. Ziea pernah bercerita padanya saat pertemuan pertamanya dengan Kendrick, cucunya ini menipu Ziea dengan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. "Ken, kemari," panggil Reigha lembut pada cucunya tersebut. Kendrick menurut, berjalan menuju granddad-nya tersebut. "Dia--" Reigha menunjuk Zira, memperkenalkan cucunya tersebut dengan aunty-nya. "Kembaran Daddy-mu, Kakak Razie-- karena Zira lebih dulu lahir setengah jam dari Daddy-mu. Zira auntymu, dan putrinya …." Reigha menoleh sejenak pada Sanaya, mengisyaratkan agar Kendrick menoleh ke arah Sanaya, "namanya Sanaya, dan dia merupakan saudaramu– adik sepupu Ken lebih tepatnya," tambah Reigha. "Ouh." Kendrick ber- oh ria, membuat Zira terkejut bukan main. Hei, anak itu ternyata bisa berbicara. Lalu tadi …-- tadi apa?! Kenapa dia menggunakan bahasa isyarat? 'Ajaib juga a
"A--aku tidak melukis pria mesum," ucap Kanza, melirik-lirik Razie dengan jantung berdebar kencang, dia gugup setengah mati; Razie hanya mengenakan handuk di pinggang, memperlihatkan roti sobek di perutnya dan …--Kanza mengerjab beberapa kali, mengibas tangan di depan wajah. Cik, mendadak saja dalam kamarnya terasa sangat panas. Padahal AC menyala. 'Gerah sekali yah di sini.' batin Kanza, masih mencuri-ciri pandang ke arah suaminya yang duduk di tepi ranjang, mendadak mengotot ingin dilukis oleh Kanza namun pria itu tak mengenakan busana~ hanya handuk yang melilit di pinggang. Hell yeah! Itu membunuh Kanza secara perlahan. Pemandangan yang membuat iman Kanza menipis. "Mesum?" Razie menaikkan sebelah alis. "Cih, pikiranmu yang jorok, Sweetheart. Aku hanya menyuruhmu melukisku, bukan memperhatikan tubuhku." Pipi Kanza seketika bersemu merah, merasa malu setelah mendengar penuturan Razie. 'Sial, mana benar lagi.' batin Kanza, memalingkan wajah untuk tidak bersitatap dengan Razie. "
"Dor!" "Aaaa …-" Kanza sontak memekik kaget, tergelonjak dengan melompat ke belakang–berakhir terduduk di lantai, menatap putranya secara horor. "Mama kaget," ucapnya sembari mengelus dada, menatap cemberut ke arah Kendrick yang sudah senyum jenaka ke arahnya. "Cik!" Razie berdecak pelan, menatap berang pada Kanza dan Kendrick. Itu yang ingin dia lakukan tadi, tetapi Kendrick sudah merampas idenya– lebih dulu mengejutkan Kanza. Dan itu semua … karena Zira! 'Sepertinya aku harus berhati-hati dengan putraku sendiri. Kendrick jauh lebih gesit dariku untuk mengambil hati Kanza. Damn!' batinnya, masih menatap tak terima pada putranya tersebut. Sedangkan Zira yang memperhatikan sorot tajam Razie pada putranya sendiri seketika menyunggingkan senyuman penuh makna. "Kendrick sepertinya mengganggu masa pengantin barumu dengan Kanza yah," ucap Zira, mulai memanas-manasi situasi, "yang seharusnya kamu dekat dengan Kanza tapi kamu malah kalah gesit sama putra kamu sendiri. Tuh, lihat sendiri,
"Sepupu kalian banyak yang suka dengan Mas Razie? Trus kamu-- suka nggak sama Mas Razie?" tanya Kanza tiba-tiba, hanya jahil tetapi berhasil membuat Alana menegang dan melotot horor. "Aku?" Alana menunjuk dirinya sendiri, menatap Kanza dengan raut muka pucat dan tegang. "Jadi duta sampo lain?" sambung Kanza– disusul tawa dari Alana, begitu juga dengan Kanza yang ikut tertawa jenaka. Sedangkan Jihan, dia hanya bisa menatap kedua sejoli tersebut dengan raut muka muram serta dongkol. Seperti biasa. Kadang ribut, kadang gila. Keduanya sama-sama aneh!"Aman." Alana mengibas tangan di depan wajah, mengisyaratkan jika dia bukan bagian dari sepupunya yang jatuh cinta pada ketampanan Razie, "bagi aku, Kak Razie nggak ada bedanya dengan Kak Ebra. Karena emang sejak ingatan aku berfungsi, yang aku tahu Kak Razie itu Kakak aku. Jadi nggak ada rasa suka yang timbul," jawab Alana dengan mantap. "Trus menurut kamu, Pak Razie itu tampang nggak?" Kali ini Jihan yang bertanya. Karena serius, dia me
Ketika dia sadar, Kanza berada tepat di sebuah …-"Kanza."Kanza yang sebenarnya berpura-pura tak sadarkan diri tersebut, sontak membuka mata– langsung memicingkan mata saat menatap seorang pria yang lebih dominan auranya dibandingkan banyak pria lainnya. Kanza tebak dia adalah bos dari komplotan preman yang menculik Kanza. Ah, tadi Kanza hanya berpura-pura pingsan. Karena jika dia memberontak, dia takut dicelakai oleh para preman yang menculiknya. Kanza mencari momen untuk kabur, tetapi sayangnya Kanza tak punya kesempatan. Sampai tibalah dia rumah ini– dalam hutan, di mana bangunannya cukup menyeramkan dari luar tetapi masih bagus dari dalam. Sepertinya mereka bukan hanya sekedar komplotan preman. "Kanza," panggil pria yang Kanza tebak sebagai bos tersebut. Kanza memicingkan mata, menatap julid ke arah pria tersebut dengan air muka bingung bercampur kesal. Ada yah penculik sok kenal sok dekat dengan korbannya? Aneh sekali pria ini. "Bos mengenal target kita?" tanya salah satu a
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming