Setelah beberapa hari berlalu, Ziea bahkan merasa jika dirinya dan kondisi bayi dalam perutnya semakin memburuk. Dia sering demam, mual dan sering menangis diam-diam. Alasannya apa lagi jika bukan keluarga suaminya! Reigha sampai sekarang belum ditemukan. Lebih tepatnya, beberapa dari mereka menyatakan jika suaminya sudah meninggal dunia. Begitu juga dengan Zayyan dan Jabier. Yang saat ini mereka cari adalah mayat Jabier, karena hanya mayat pemuda berusia delapan belas tahun tersebut lah yang belum ditemukan. Jasad Reigha dan Zayyan sudah berhasil ditemukan– dengan wajah hancur dan tubuh berserak, alias dimutilasi. Kenapa mereka yakin itu Zayyan dan Reigha, karena identitas serta pakaian yang dikenakan oleh keduanya. Berita itu saja sudah sangat menyakiti Ziea, ditambah lagi dengan keluarga suaminya yang terus terang menjelek-jelekkan bayi dalam perutnya serta Daddynya. Bagaimana Ziea akan sembuh, mereka saja terus-terusan melukai Ziea. "Mommy, Daddy …-" ucap Ziea setelah berada d
"Kalian siapa?!" nada bentakan terdengar menggema, para penjaga markas dengan bangunan mirip seperti kastil tersebut berbondong-bondong keluar dsn menghadang tamu tak diundang. Mereka berbaris di depan, menghadang agar dua pria tua misterius tersebut tidak bisa masuk ke dalam markas. Kedua orang tersebut hanya diam, berdiri tegap di sebelah mobil sembari menatap lurus ke arah depan. Strer Serentak para penjaga tersebut memberi jalan ketika Tuan mereka datang dari dalam kastil. Para anak buah tersebut memisah menjadi dua kelompok untuk memberi jalan pada sang tuan. Exel De Felix dan Marcus De Felix. Keduanya berhenti melangkah, menghadap ke arah dua pria tua yang berdiri di sebelah mobil tua hitam tersebut. "Kalian siapa dan suruhan dari klan mana?" tanya Exel dengan nada yang benar-benar dingin, tatapan matanya marah dsn tajam. Aura mengerikan menguar dari tubuhnya, mengelilingi tempat tersebut dan membuat anak buahnya menunduk takut. Hampir saja Aroon muncul, mengambil ahli
"Sweetheart." Mendengar panggilan manis dari suara yang sangat ia kenali tersebut, membuat Satiya dan bahkan yang lainnya menoleh ke arah empunya suara. "Mas Gabriel," sapa Satiya, tersenyum lembut ke arah suaminya tersebut. Dia beranjak dari sofa, melangkah panjang untuk menyambut suaminya yang baru pulang. Sejujurnya Satiya berharap jika suaminya pulang dengan anak-anak mereka, sesuai janji Gabriel. Namun, dia tidak akan memperlihatkan kekecewaannya. Bahkan Satiya tak punya hak untuk kecewa. Meskipun Gabriel tak membawa anak-anaknya yang hilang, tidak apa-apa. Yang terpenting suaminya baik-baik saja serta sehat. "Apa kabar, Mas Ga …-" Ucapan Satiya terhenti begitu saja, tiba-tiba Gabriel bergeser ke samping– memperlihatkan dua pria tampan di belakang suaminya tersebut. Hal tersebut sontak membuat mata Satiya membulat sempurna, menatap kedua pria tersebut dengan wajah kaget bercampur penuh haru. Tanpa bisa dicegah, sebulir kristal jatuh dari matanya– detak jantungnya kencang dan
Deg'"Ma--Mas Rei …." Ziea bergumam pelan, menatap sosok yang kini sudah di depannya tersebut dengan manik berkaca-kaca dan sayup. Mimik wajahnya tegang, tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Debaran jantungnya menggila dalam sana, hatinya bergetar hebat. Bug'Sosok itu langsung menariknya dalam pelukan dan dekapan yang hangat. Reigha memeluknya dengan begitu erat– membuat tubuh mungil Ziea menghilang dalam pelukannya. "Mas Reigha …," ucap Ziea, mendongak– menatap sosok tersebut dengan air mata yang sudah jatuh dari pelupuk. Di--dia bahagia! Tetapi Ziea takut jika ini hanya ilusi semata. Dia takut Reigha yang memeluknya hanyalah bayangan dan imajinasinya. "Humm." Reigha berdehem pelan, menangkup pipi istrinya dengan mendekatkan wajahnya ke wajah wanita yang sangat ia rindukan tersebut. "Mas Rei-mu di sini," ucapnya pelan dan serak, lembut dan sangat menyentuh– mendebarkan jantung dan hati Ziea. Reigha tersenyum tipis, senyuman yang indah dan mempesona. Cup'Kemudian Reig
'Hah, Mas tahu?'"Kenapa diam?" tanya Reigha, memperhatikan wajah gugup istrinya dan mata bulat Ziea yang terlihat cantik sekaligus menggemaskan secara bersamaan. "Ah, itu-- itu … Mas tahu aku ha--hamil?" Reigha menganggukkan kepala. "Apa aku tidak boleh tahu, humm?""Boleh. Tapi … aku belum memberitahu Mar Rei-nya. Aku ingin memberitahunya tapi Mas sudah keburu tahu," ucap Ziea dengan nada antara malu dan cemberut. Jujur saja, Ziea sangat ingin memberitahu tentang kehamilannya pada Reigha, secara langsung. Maksudnya, Ziea ingin Reigha tahu kehamilannya dari Ziea sendiri. Ini sejenis suprise. Yah, Ziea ingin memberi suprise pada suaminya ini. Namun, Reigha sudah tahu dari orang lain. Cik, Ziea jadi kecewa sedikit. Padahal dia sudah berusaha berusaha meyiapkan kata-kata yang manis dalam benak. "Aku tidak tahu." Ziea mengerutkan kening, menatap bingung bercampur aneh pada suaminya tersebut. 'Aku tidak tahu apa maksudnya? Hais, otak Ziea yang luas ini tidak sanggup memahami maksud p
"Bagaimana jika kita memisah dari keluarga Azam?" ucap Reigha tiba-tiba, yang saat ini berbaring di kasur sembari berbantalkan paha Ziea– istrinya tersebut tengah membaca novel, satu tangan menegang buku dan satu lagi aktif mengusap-usap surai Reigha. "Hus! Tidak boleh bilang begitu. Masalah aku sama keluarga Mas hanya salah paham saja," ucap Ziea dengan nada setengah mengomel, terlalu kaget dengan ucapan suaminya. Sejujurnya Ziea tertohok mendengar perkataan Reigha. Di satu sisi Ziea bergetar hatinya– dengan Reigha mengatakan itu, dia membuktikan jika dia bukan hanya mencintai Ziea. Namun juga, memikirkan perasaan serta kebahagiaan Ziea. Tetapi di sisi lain, Ziea-- kasihan pada Reigha. Karena masalah ini, suaminya harus kepikiran. Bukannya istirahat dan bersantai setelah melakukan pekerjaan berbahaya serta berat, suaminya ini malah direpotkan oleh masalah ini. "Perlakuan mereka bukan hanya menyakitimu, Zie. Tetapi-- melukaiku juga," ucap Reigha dengan nada pelan dan serak, terkesa
"Ziea, aku benar-benar malu dengan apa yang telah aku lakukan padamu. A--aku dengan bodohnya mempercayai Camille dan menuduhmu yang bukan-bukan. Aku bahkan … malu menampakkan diri di hadapanmu. Dan sekarang … dengan tidak ada muka serta tidak tahu dirinya, aku berada di hadapanmu-- memohon maaf dari, Ziea," lirih Aesya dengan penuh penyesalan, perasaan bersalah dan malu. "Tolong maafkan aku, Ziea," ucap Aesya sembari meraih tangan Ziea, menggenggamnya dengan erat dan kuat. Demi meminta maaf pada Ziea, Aesya ke kediaman Mahendra– khusus untuk meminta maaf pada Ziea. Ziea mengangukkan kepala. "Iya, Kak. Aku sudah memaafkan Kakak dan tidak mempermasalahkannya lagi. Kak Eca tidak sepenuhnya salah, situasi saat itu terlalu panas dan buruk. Mungkin jika aku yang diposisi Kak Eca, aku juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Kak Eca lakukan," ucap Ziea dengan tersenyum lembut ke arah Aesya. "Dengan kamu seperti ini, aku semakin bersalah, Ziea. Aku-- " Aesya menjeda sejenak, menol
"Hinaan dibalas maaf itu tidak adil," ucap Reigha datar, melirik sinis dan penuh kebencian pada Aesya– membuat kembarannya tersebut menunduk dengan raut muka murung serta ingin menangis. "Tapi Kak Eca tidak sepenuhnya salah, Mas Rei. Yang benar-benar salah di sini itu sekretaris kebanggaan kamu!" kesal Ziea pada akhir kalimat, "sakitnya aku itu di dia, bukan ke Kak Eca atau siapapun itu di keluarga Mas. Lagian Kak Eca sama sekali tidak melontarkan kata-kata buruk padaku. Kak Eca hanya meluapkan emosionalnya … karena dia dalam posisi kehilangan. Mas, aku sudah melupakan masalah itu. Aku harap Mas juga bisa.""Es krimmu akan meleleh," ucap Reigha, berniat mengalihkan pembicaraan. "Mas dan Kak Eca itu satu jiwa dalam dua raga yang berbeda. Kalian tidak bisa seperti ini, saling membenci. Apalagi karena masalah begini. Mas, yang harusnya Mas benci itu bukan Eca atau siapapun di keluarga kita. Tapi, Camille. Karena dia bukan hanya melukaiku, tetapi juga memecah belah keluarga kita. Dia ya