"Ziea, aku benar-benar malu dengan apa yang telah aku lakukan padamu. A--aku dengan bodohnya mempercayai Camille dan menuduhmu yang bukan-bukan. Aku bahkan … malu menampakkan diri di hadapanmu. Dan sekarang … dengan tidak ada muka serta tidak tahu dirinya, aku berada di hadapanmu-- memohon maaf dari, Ziea," lirih Aesya dengan penuh penyesalan, perasaan bersalah dan malu. "Tolong maafkan aku, Ziea," ucap Aesya sembari meraih tangan Ziea, menggenggamnya dengan erat dan kuat. Demi meminta maaf pada Ziea, Aesya ke kediaman Mahendra– khusus untuk meminta maaf pada Ziea. Ziea mengangukkan kepala. "Iya, Kak. Aku sudah memaafkan Kakak dan tidak mempermasalahkannya lagi. Kak Eca tidak sepenuhnya salah, situasi saat itu terlalu panas dan buruk. Mungkin jika aku yang diposisi Kak Eca, aku juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Kak Eca lakukan," ucap Ziea dengan tersenyum lembut ke arah Aesya. "Dengan kamu seperti ini, aku semakin bersalah, Ziea. Aku-- " Aesya menjeda sejenak, menol
"Hinaan dibalas maaf itu tidak adil," ucap Reigha datar, melirik sinis dan penuh kebencian pada Aesya– membuat kembarannya tersebut menunduk dengan raut muka murung serta ingin menangis. "Tapi Kak Eca tidak sepenuhnya salah, Mas Rei. Yang benar-benar salah di sini itu sekretaris kebanggaan kamu!" kesal Ziea pada akhir kalimat, "sakitnya aku itu di dia, bukan ke Kak Eca atau siapapun itu di keluarga Mas. Lagian Kak Eca sama sekali tidak melontarkan kata-kata buruk padaku. Kak Eca hanya meluapkan emosionalnya … karena dia dalam posisi kehilangan. Mas, aku sudah melupakan masalah itu. Aku harap Mas juga bisa.""Es krimmu akan meleleh," ucap Reigha, berniat mengalihkan pembicaraan. "Mas dan Kak Eca itu satu jiwa dalam dua raga yang berbeda. Kalian tidak bisa seperti ini, saling membenci. Apalagi karena masalah begini. Mas, yang harusnya Mas benci itu bukan Eca atau siapapun di keluarga kita. Tapi, Camille. Karena dia bukan hanya melukaiku, tetapi juga memecah belah keluarga kita. Dia ya
"Tuan, tolong dengarkan penjelasanku …." Camille mencicit dan melirih. Bug'Dengan tega dan tak manusiawi, begitu kasar serta rasa kasihan sedikitpun, Reigha yang sudah kembali duduk di kursi kekuasaannya secara enteng menendang paha kanan Camille– membuat perempuan cantik dan tinggi tersebut terjatuh tak mengenakkan di lantai. "Argkk," jerit Camille, langsung memegang pahanya yang di tendang tersebut dendam air muka kesakitan serta suara rintihan pilu yang keluar dari mulutnya. Dia yakin tulang di sana patah. I--ini sakit sekali. "Tu--Tuan, kakiku sak--sakit! Hiks … sakit!" "Kau mau yang lebih sakit, heh?" ucap Reigha, terkekeh pelan dan nyaring. Namun, kekehan ini berbeda– entah kenapa terasa mengerikan dan angker. Membuat bulu kuduk yang mendengar menjadi merinding. "Tuan … hiks … tolong maafkan aku. Hiks … a-aku melakukannya karena tidak ingin dia mengkhianati Tuan.""Siapa yang kau sebut dia?" Nada Reigha sangat dingin, meskipun terkesan tenang dan pelan. Dinginnya menusuk
"Aaaa …-" jerit Ziea karena kaget. Namun buru-buru menutup mulutnya saat menoleh dan berhadapan dengan mata elang suaminya. "A--aku cuma kaget, Mas. Hehehe …."Cup'Reigha dengan lembut mengecup pipi Ziea, kemudian mengelus penuh kasih sayang pucuk kepala istrinya tersebut. "Harusnya kau istirahat, ZieKu. Wajahmu pucat," ucap Reigha lembut. "Ta--tapi aku tiba-tiba ingin makan," jawab Ziea hati-hati, melirik ke arah belakang– ke arah suaminya yang masih memeluk Ziea dari belakang. "Kau lapar?"Ziea menganggukkan kepala dengan ragu. Ah, setelah menyaksikan kejadian tadi rasanya Ziea sudah kenyang. Namun, dia tidak mungkin mengatakannya pada Reigha. Itu terlalu menyeramkan. Dan bisakah otak Ziea melupakan masalah itu? Demi Tuhan, bayang-bayang Reigha ketika menendang Camille atau ketika suaminya tersebut menamparnya dan … argk!! Itu terus mengiyang dalam kepala Ziea. Dia merinding dan takut! "Jawab." Ziea mengerjab beberapa kali, kemudian menganggukkan kepala dengan pelan. "Kau ing
"Sudah selesai, ZieKu?" Gluk' Ziea dengan kaget, spontan mendongak ke arah suaminya. Dia menatap Reigha, menampilkan air muka pucat pias dengan senyuman lebar di bibir. Menyengir konyol! "Kau melihat ap--" Ucapan Reigha seketika berhenti, menatap ke arah mejanya yang menampilkan foto Ziea. Shit! Sudah ketahuan?! "Ehehehe …." Ziea cengengesan, memutari meja lalu menghampiri suaminya. "Kagumnya diam-diam yah, Mas bro?" ucapnya menyengir lebar, menggoyangkan tubuh ke kanan dan ke kiri– salah tingkah sendiri. "Humm." Reigha berdehem pelan, menekan tombol rahasia di mejanya untuk mengganti permukaan meja menjadi warna putih. "Lanjutkan makanmu dan segera turun ke bawah," ucap Reigha dengan datar, buru-buru beranjak dari sana– kembali keluar dari kamarnya. Ouh, hell! Kenapa Ziea bisa tahu mengenai itu?! Shit! Memalukan! Kelakuan konyolnya diketahui oleh istrinya. "Damn it!" umpat Reigha pelan, menggaruk pelan alisnya sembari menatap datar dan flat ke arah depan sana. "Yah … malah pe
"Mas tidak jahat kok. Mas Rei hanya tidak bisa mengendalikan diri. Mas terlalu emosional. Ta--tapi itu tidak apa-apa. Itu hal yang sangat wajar," jawab Ziea dengan melepas pelukan dari Reigha, beralih menangkup rahang Reigha sembari mendongak-- tersenyum hangat serta lembut pada sang suami. "Mas lega?" tanya Ziea sembari mengusap air mata suaminya tersebut, masih tersenyum lembut pada Reigha. Reigha menganggukkan kepala, membalas senyuman istrinya tersebut dengan senyuman hangat dan tulus. "Jika aku tidak menjadikanmu sebagai milikku mungkin sampai sekarang aku tidak akan bisa mengungkapkan apa yang kurasa. Terimakasih …."Ziea menganggukkan kepala. "Tapi … Mas tidak boleh menyalahkan Daddy yah. Masalah kita-- itu hanya salah paham. Dan … mengenai Mas harus bertanggung jawab pada perusaan, aku paham jika ada yang tidak seimbang antara Mas dan Kak Rafael. Ada sedikit ketidak adilan yang dirasa. Tetapi itulah letak keadilan Daddy Gabriel, Mas. Tanggung jawab yang besar, tidak mungkin
"Mas Batu nisan!" Peringat Ziea. Namun …- 'Aaaaaa … salah sebut nama! Keceplosan keceplosan. Mampus!!' batin Ziea, sudah menutup mulut sembari menatap Reigha dengan mata membulat karena panik. "Maksudku Mas Reigha yang imut. Hehehe … du-duduk yah, Mas sayang," ucap Ziea dengan nada gugup bercampur cengengesan, menarik lengan Reigha yang menatapnya dingin tersebut dengan pelan– isyarat agar suaminya tersebut duduk. Untungnya Reigha mau duduk, meskipun tatapan dingin pria itu sama sekali tak lepas dari Ziea. "Silahkan makan, Semua," ucap Ziea tak enak pada keluarganya. Gabriel dan Kenzie terkekeh pelan, melirik Ziea dan Reigha yang duduk bersampingan– satu duduk kaku sembari memperlihatkan air muka gugup. Dan satu lagi duduk santai, bersedekap di dada sembari menatap secara terus menerus ke arah makhluk di sebelahnya. 'Mas Batu Nisan. Cih.' batin Rafael, pura-pura menggaruk alis demi menutupi bibirnya yang tersenyum geli. Dari banyaknya panggilan di muka bumi ini, kenapa yang Ziea
"Kau tidak ingin menjelaskan sesuatu, Ziea Reigha Azam?" Gluk'Ziea duduk gugup di pinggir ranjang, menatap suaminya dengan air muka pucat pias dan tegang. Sekarang dia dan suaminya sudah berada dalam kamar, di mana Reigha berada tepat di depannya– berdiri dan melayangkan tahapan tajam ke arah Ziea yang sudah mematung. "Menjelaskan apa?" tanya Ziea pelan dan ragu. "Hubunganmu dengan Bagas."Ziea menggelengkan kepala secara kuat, mengerjab beberapa kali sembari menatap takut-takut ke arah suaminya. Sebenarnya leher Ziea pegal karena kelamaan mendongak untuk menatap suaminya yang menjulang tinggi ini. Namun, dia takut mengalihkan pandangannya dari Reigha yang sedang dalam mode senggol mati. Ngeri, Everybody!"Aku tidak punya hubungan apapun dengan Bagas, Mas Rei." Ziea menggelengkan kepala panik. "Yakin?" Reigha berkata dingin, memilih duduk di sebelah Ziea– memindahkan perempuan tersebut di depan pangkuan Ziea kemudian memeluk pinggang Ziea secara possessive, terus melayangkan t