"Mas tidak jahat kok. Mas Rei hanya tidak bisa mengendalikan diri. Mas terlalu emosional. Ta--tapi itu tidak apa-apa. Itu hal yang sangat wajar," jawab Ziea dengan melepas pelukan dari Reigha, beralih menangkup rahang Reigha sembari mendongak-- tersenyum hangat serta lembut pada sang suami. "Mas lega?" tanya Ziea sembari mengusap air mata suaminya tersebut, masih tersenyum lembut pada Reigha. Reigha menganggukkan kepala, membalas senyuman istrinya tersebut dengan senyuman hangat dan tulus. "Jika aku tidak menjadikanmu sebagai milikku mungkin sampai sekarang aku tidak akan bisa mengungkapkan apa yang kurasa. Terimakasih …."Ziea menganggukkan kepala. "Tapi … Mas tidak boleh menyalahkan Daddy yah. Masalah kita-- itu hanya salah paham. Dan … mengenai Mas harus bertanggung jawab pada perusaan, aku paham jika ada yang tidak seimbang antara Mas dan Kak Rafael. Ada sedikit ketidak adilan yang dirasa. Tetapi itulah letak keadilan Daddy Gabriel, Mas. Tanggung jawab yang besar, tidak mungkin
"Mas Batu nisan!" Peringat Ziea. Namun …- 'Aaaaaa … salah sebut nama! Keceplosan keceplosan. Mampus!!' batin Ziea, sudah menutup mulut sembari menatap Reigha dengan mata membulat karena panik. "Maksudku Mas Reigha yang imut. Hehehe … du-duduk yah, Mas sayang," ucap Ziea dengan nada gugup bercampur cengengesan, menarik lengan Reigha yang menatapnya dingin tersebut dengan pelan– isyarat agar suaminya tersebut duduk. Untungnya Reigha mau duduk, meskipun tatapan dingin pria itu sama sekali tak lepas dari Ziea. "Silahkan makan, Semua," ucap Ziea tak enak pada keluarganya. Gabriel dan Kenzie terkekeh pelan, melirik Ziea dan Reigha yang duduk bersampingan– satu duduk kaku sembari memperlihatkan air muka gugup. Dan satu lagi duduk santai, bersedekap di dada sembari menatap secara terus menerus ke arah makhluk di sebelahnya. 'Mas Batu Nisan. Cih.' batin Rafael, pura-pura menggaruk alis demi menutupi bibirnya yang tersenyum geli. Dari banyaknya panggilan di muka bumi ini, kenapa yang Ziea
"Kau tidak ingin menjelaskan sesuatu, Ziea Reigha Azam?" Gluk'Ziea duduk gugup di pinggir ranjang, menatap suaminya dengan air muka pucat pias dan tegang. Sekarang dia dan suaminya sudah berada dalam kamar, di mana Reigha berada tepat di depannya– berdiri dan melayangkan tahapan tajam ke arah Ziea yang sudah mematung. "Menjelaskan apa?" tanya Ziea pelan dan ragu. "Hubunganmu dengan Bagas."Ziea menggelengkan kepala secara kuat, mengerjab beberapa kali sembari menatap takut-takut ke arah suaminya. Sebenarnya leher Ziea pegal karena kelamaan mendongak untuk menatap suaminya yang menjulang tinggi ini. Namun, dia takut mengalihkan pandangannya dari Reigha yang sedang dalam mode senggol mati. Ngeri, Everybody!"Aku tidak punya hubungan apapun dengan Bagas, Mas Rei." Ziea menggelengkan kepala panik. "Yakin?" Reigha berkata dingin, memilih duduk di sebelah Ziea– memindahkan perempuan tersebut di depan pangkuan Ziea kemudian memeluk pinggang Ziea secara possessive, terus melayangkan t
"Jawab dong, Mas. Sekalian … itu pacar-pacar Mas. Kok bisa yah Mas pacaran kalau bilangnya sudah lama suka ke aku? Kalau khilaf, ya kali mantannya lebih dari satu," tanya Ziea sembari mencengkeram kerah kemeja yang suaminya kenakan. Dia menggendongnya, memaksa suaminya yang suka bungkam tersebut agar bersuara. "Hell yeah, Zie!" Reigha berkata pelan, melepas tangan mungil istrinya dari cengkeramannya lalu memindahkannya ke leher sendiri– mengalungkan tangan istrinya secara mesra di sana. "Pertanyaan pertama, aku tidak bisa menjawab. Pertanyaan kedua-- aku tidak punya yang namanya mantan." "Bohong sekali Bapak satu ini," ucap Ziea mendelik dan mendengkus kesal. "Itu-- sekretaris kamu pernah bilang gini ke aku 'mantan-mantan Tuan Reigha jauh lebih cantik dan lebih seksi dibandingkan anda. Tuh-- dia bilang mantan-mantan, bukan mantan doang. Cik cik cik, parah banget yah Tuan Reigha Abbas Azam ini." Reigha menyunggingkan smirk tipis, merunduk sedikit untuk menatap intens dan dalam ke ar
"A--aku lahir, Mas usianya baru tujuh tahun. Mau dikasih nafkah apa aku kalau semisal Mas nikahi? Ada ada saja," ucap Ziea malu-malu. "Bubur bayi, susu formula bayi, popok dan …-""Sudah, Mas, sudah!" Ziea memotong dengan cepat. Pipinya sudah sangat merah, malu bercampur salah tingkah secara bersamaan. "Berhenti bahas begituan. Nggak ada Fae …-"Ucapan Ziea seketika berhenti, tiba-tiba saja Reigha menggigit pipinya. Tidak sakit sebenarnya, karena Reigha menggigitnya dengan pelan dan manja. Hanya saja--'Dear, Jantungku yang menggemaskan. Tolong yang sabar yah. Suamiku emang gitu, suka ngagetin dan bikin kejang-kejang. Maklum tampannya bukan cuma rupa saja, tapi nafas, suara sama tingkahnya juga tampan. Tolong kuat yah, Jantung mungilku.'Jantung Ziea semakin kejang-kejang dalam sana ketika Reigha berhenti menggigitnya dan beralih membuka kemejanya sendiri. "Mas ngapain buka baju? Ge--gerah yah? Tapi di sini dingin." "Kau bilang ingin memakanku bukan?!" Reigha melepas kemejanya, set
"Selamat sore, Tuan Reigha." "A-" Ziea seketika itu juga menegakkan punggung, senyuman cerahnya seketika pudar dan jantungnya berhenti beberapa detik dalam sana. "Humm." Suara deheman dingin terdengar, membuat Ziea semakin gugup dan grogi. Sedangkan Reigha, dia menyentuh pundak Ziea– meremasnya kuat untuk memperingati istrinya tersebut. "Kembali ke kamar," ucap Reigha dingin, setengah berbisik pada Ziea. Tanpa menoleh pada suaminya ataupun Lea, Ziea langsung beranjak dari sana. Lea sendiri, dia langsung kabur dari sana– takut pada sosok pria yang dipanggil suami oleh sahabatnya tersebut. Setelah istrinya pergi dan Lea beranjak, Reigha kembali menatap pria dihadapannya. "Ikut denganku.""Baik, Tuan." Pria itu menganggukkan kepala lalu segera mengikuti langkah tuannya. Setelah sampai di sebuah ruangan, pria itu berdiri tegap– menatap Reigha yang sudah duduk di sebuah sofa mewah yang terlihat empuk. "Silahkan duduk, Matheo," ucap Reigha, mempersilahkan pria tersebut duduk. Matheo
"Kalau begitu mari berkeluarga dengan saya, Nona. Maka dengan itu saya bisa memanggil anda dengan sebutan Eca."Deg'Aesya terdiam sesaat, terbius oleh senyuman serta tatapan sayup dan teduh pria tersebut. Namun, detik berikutnya perempuan dengan paras cantik tersebut berdecis sinis. "Bangun dari mimpimu! Karena sampai kapanpun seorang rendahan sepertimu tidak akan bisa mendapatkanku. Pahami itu!" sinis dan angkuh Aesya. Dia segera beranjak dari sana, kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Matheo yang terdiam sejenak. Namun, perkataan Matheo selanjutnya kembali menghentikan langkah kaki Aesya. "Nona menyuruhku bangun, artinya Nona memerintahku untuk memperjuangkan Nona?" "Apa maksudmu?" Aesya berhenti melangkah, menoleh ke arah Matheo dengan tatapan kesal bercampur dingin. Matheo menarik napas pelan, mendekati Aesya dengan menyunggingkan senyuman tipis yang indah– membuat Aesya seketika mengerjab beberapa kali. Sialnya, pria ini sepertinya tidak menyadari jika senyumanny
"Ummm … ini nggak bakalan diminta lagi kan, Pak? Ini ikhlas kan?" tanya Lea, menatap tak enak ke arah Haiden yang berjalan di sebelahnya. Mereka sudah kembali ke mansion– berjalan beriringan. "Bisa diam?!" ketus Haiden, melayangkan tatapan tajam ke arah Lea. "Tadi aku hanya bercanda, Pak. Aku ambil gelangnya saja yah, Pak. Sisanya kasih ke pacar Pak Haiden saja. Sumpah, Pak, aku nggak enak. Niatku cuma bercanda tadi, nggak serius minta," ucap Lea, benar-benar tak enak karena Haiden jadi membeli cincin, kalung dan anting untuknya. Padahal Lea hanya bercanda, tidak serius mengatakannya. Sekarang, dia jatuhnya seperti perempuan matre dan pecinta kemewahan. "Suaramu berisik! Diam!" gertak Haiden, melayangkan tatapan tajam ke arah Lea kemudian mempercepat langkahnya– meninggalkan Lea yang terdiam di tempat. 'Semakin ke sini, aku semakin yakin untuk mundur, Pak.' batin Lea, menatap nanar ke dalam paper bag di tangannya lalu mengerjab beberapa kali. Bagaimana jika setelah ini Haiden bahk