"Ummm … ini nggak bakalan diminta lagi kan, Pak? Ini ikhlas kan?" tanya Lea, menatap tak enak ke arah Haiden yang berjalan di sebelahnya. Mereka sudah kembali ke mansion– berjalan beriringan. "Bisa diam?!" ketus Haiden, melayangkan tatapan tajam ke arah Lea. "Tadi aku hanya bercanda, Pak. Aku ambil gelangnya saja yah, Pak. Sisanya kasih ke pacar Pak Haiden saja. Sumpah, Pak, aku nggak enak. Niatku cuma bercanda tadi, nggak serius minta," ucap Lea, benar-benar tak enak karena Haiden jadi membeli cincin, kalung dan anting untuknya. Padahal Lea hanya bercanda, tidak serius mengatakannya. Sekarang, dia jatuhnya seperti perempuan matre dan pecinta kemewahan. "Suaramu berisik! Diam!" gertak Haiden, melayangkan tatapan tajam ke arah Lea kemudian mempercepat langkahnya– meninggalkan Lea yang terdiam di tempat. 'Semakin ke sini, aku semakin yakin untuk mundur, Pak.' batin Lea, menatap nanar ke dalam paper bag di tangannya lalu mengerjab beberapa kali. Bagaimana jika setelah ini Haiden bahk
"Lah, kenapa ke aku? Ini perhiasan siapa memangnya? Kak Haiden beli untuk siapa?" tanya Ziea dengan nada bingung dan heran. "Aku tadi habis menemani Pak Haiden membeli gelang untuk kekasihnya. Trus … itu-- umm … gimana yah ngomongnya?" "Tinggal ngomong kali, Mak Lea."Lea cengengesan dengan canggung, menyipitkan matanya segera– sengaja untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca karena tak enak dan takut. "Begini-- " Lea berhenti sejenak, mengatur napas dan intonasi suaranya. Sial, hampir saja dia menangis!'Aduh, kok jadi mau nangis begini yah? Tahan-tahan.' batin Lea, menguatkan dirinya sendiri. "Jadi setelah aku membantu Pak Haiden memilih gelang, Pak Haiden menyuruhku mengambil satu gelang untukku sebagai tanda terimakasih. Trus aku bercanda, bilang-- kenapa nggak sekalian kalung, anting sama cincinnya, Pak?' Eh, Abang kamu malah ngabulin. Dia beli gelang, cincin, kalung sama anting untuk aku. Padahal aku cuma bercanda, Ziea. De--Demi Tuhan, aku cuma bercanda, Ziea. Aku ngg
Sret'Haiden menatap seorang pria yang masuk begitu saja ke dalam kamarnya, di mana pria itu meletakkan sebuah paper bag yang tak asing baginya. Haiden yang tengah duduk santai di atas ranjangnya seketika menegakkan punggung, langsung turun dari ranjang dan menghampiri pria tersebut. "Itu apa, Rei?" tanya Haiden. "Lea mengembalikan ini pada Zie, dan Zie menyuruhku mengembalikannya padamu," ucap Reigha santai. "Hell." Haiden menatap paper bag tersebut kemudian melayangkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Reigha. "Kenapa Azalea mengembalikannya pada Ziea? Aku memberikannya untuknya." "Zie bilang Lea punya trauma pada barang pemberian yang terlalu mahal. Kau tidak tahu?" Haiden menggelengkan kepala, "untuk apa aku tahu? Tidak penting.""Kau menyukai Lea?" tanya Reigha datar. "Cih." Haiden berdecis sinis, "dari sudut manapun aku tidak menyukai perempuan bodoh itu." "Turunkan sedikit gengsi, Haiden. Cinta itu sendiri sudah rumit, dan rasa gengsimu hanya akan memperparah.""Aku tida
"Aku berangkat kerja, ZieKu." Ziea menganggukkan kepala sembari tersenyum lembut ke arah suaminya, di mana Reigha tengah mengusap pucuk kepala Ziea dengan gerakan acak sembari menatap Ziea lamat dan intens. "Semangat," ucap Ziea malu-malu karena takut diledek oleh Aesya. Yah, adik ipar rasa Kakak kandungnya tersebut akan ikut dengan Reigha ke kantor. Kata Aesya ada sekretaris magang yang harus dibina oleh Aesya.Hais, sekretaris magang! "Humm." Seperti biasa, Reigha hanya berdehem. Setelah itu dia beranjak dari sana, berjalan menuju mobil gagah dan mewah kesayangannya. "Mas Rei, tunggu." Ziea tiba-tiba memanggil, membuat Reigha yang akan masuk dalam mobil tersebut mengurungkan niat. Dia sontak menoleh ke arah istrinya, menatap Ziea dengan sebelah alis terangkat. "Tunggu, aku cari dulu!" ucap Ziea, tiba-tiba sibuk sendiri meraba tubuhnya– seperti sedang mencari sesuatu. Lalu tiba-tiba saja, tangannya menghadap Reigha– menampilkan finger heart yang mungil. 'aku cinta Mas Rei,' ucap
"Pekerjaanku selesai, Nona." Aesya menatap sekilas pada Matheo, berdehem singkat lalu memilih sibuk dengan pekerjaannya. "Humm."Matheo mendekati Aesya, tiba-tiba dengan lancang pria tampan dan penuh pesona tersebut menutup laptop Aesya. Kemudian dia juga membereskan meja. "Hei, apa-apaan kau ini?!" geram Aesya. Bukannya menjelaskan kelakuannya, Matheo malah menarik paksa Aesya untuk ikut dengannya. "Brengsek! Apa-apaan kau ini?!" Aesya berusaha melepaskan cekalan tangan Matheo dari lengannya. "Cik, lepas, Matheo!" "Nona, ini sudah jam makan siang. Dan Nona harus makan siang dengan saya." "What!!" Aesya setengah menjerit protes. "Kalau kau ingin makan siang, yah makan siang saja sana sendiri. Aku makan siang dengan Ega. Jadi tolong lepas!""Tuan Reigha sudah pulang untuk menemui Nyonya Reigha. Dan Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda makan siang dengan baik dan benar," jawab Matheo datar, beralih menggenggam erat jemari lentik Aesya. Kebetulan Reigha pulang untuk men
"Fitnah sekali!" Ziea langsung ngegas, melotot horor ke arah suaminya sembari menatap tak terima. "Aku sehat-sehat saja.""Humm." Reigha berdehem singkat. "Tidak apa-apa Abang El berbohong, tidak rugi karena aku bisa bertemu denganmu," ucap Reigha tersenyum tipis, membuka tuxedo serta dasi yang melilit di kerah kemeja. "Mas Reigha kenapa buka baju?" tanya Ziea mengamati suaminya yang sudah bertelanjang dada. Reigha tak menjawab, memilih mendekati Ziea mendorong lembut Ziea ke ranjang– di mana ketika Ziea sudah berbaring di ranjang, Reigha langsung mengambil tempat di atas tubuh istrinya tersebut. Hanya setengah badannya yang menindih, memeluk Ziea dan menyembunyikan tubuh kecil istrinya tersebut di balik badannya yang besar. "Maaas! Berat!" "Sebentar, Mon Amour," ucap Reigha serak dan berat, memperbaiki posisi tidurnya– menyamping tetapi masih memeluk erat tubuh sang istri. "Aromamu harum, sangat manis. Dan aku belum makan siang."'Hah? Hubungan Aroma sama makan siang apa coba? S
"Untuk apa kau pulang? Kau di sini denganku!" Lea membulatkan mata, menatap Haiden dengan air muka bingung kusut bercampur kaget. Kenapa rasanya Haiden terkesan memaksa?'Aneh sekali. Bukannya dia suka terganggu dengan keberadaanku yah?' batin Lea, masih menatap Haiden muram bercampur masam. "Tapi, Pak. Tanteku sudah menyuruhku pulang, aku harus …-""Berbohong yang sangat bagus." Haiden memotong cepat. "Pak, aku tidak berbohong." Lea berucap, setengah memekik untuk meyakinkan Haiden jika dia tidak sedang berbohong. Sejujurnya, Lea memang berbohong. Dia merasa harus berbohong agar bisa pergi dari tempat ini. Hah, Lea merasa tak nyaman di sini. Hanya Ziea yang benar-benar dekat dengannya, dan sahabatnya tersebut sudah punya kehidupan. Lea merasa sendiri di sini! "Aku barusan menghubungi Tante-mu, mengatakan jika kau akan lebih lama lagi di sini denganku. Tantemu mengizinkan," ucap Haiden, menoleh ke arah Lea– menatap perempuan itu penuh peringatan dan cukup tajam. 'Hah? Pak Haiden m
"Oh, Shit!" Haiden mengumpat pelan, memijit pelipis– antara geram dan malas meladeni sikap dedemit Lea yang sangat suka menempelinya. "Kau pikir aku sudi menikahi perempuan tidak benar sepertimu, Hah?! Cepat menyingkir dan berhenti berharap jika aku akan menikahimu. Wanita sepertimu tidak pantas untukku! Rendahan!" Deg'Senyuman Lea seketika pudar, wajah cerah yang menghias di sana berubah menjadi mendung dan murung. Tangannya terlepas cepat dari leher Haiden, langsung berdiri dari pangkuan pria itu. "Maaf, Pak," ucap Lea setelah dia berdiri di hadapan Haiden. Setelah itu, dia segera beranjak dari sana, menahan rasa sakit di dada dan hati. Lea berjalan terburu-buru, menuju kamarnya. Dia bahkan berlari, takut menangis sebelum sampai di kamarnya– itu membuat pandangan maid menatapnya aneh dan heran. Namun, Lea tak peduli. Dia langsung masuk dalam kamar, menutup pintu dengan membantingnya kuat. Di sisi lain, Haiden seketika mengumpat. "Shit!" umpatnya sembari memukul wajahnya sendir
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming