"A--aku lahir, Mas usianya baru tujuh tahun. Mau dikasih nafkah apa aku kalau semisal Mas nikahi? Ada ada saja," ucap Ziea malu-malu. "Bubur bayi, susu formula bayi, popok dan …-""Sudah, Mas, sudah!" Ziea memotong dengan cepat. Pipinya sudah sangat merah, malu bercampur salah tingkah secara bersamaan. "Berhenti bahas begituan. Nggak ada Fae …-"Ucapan Ziea seketika berhenti, tiba-tiba saja Reigha menggigit pipinya. Tidak sakit sebenarnya, karena Reigha menggigitnya dengan pelan dan manja. Hanya saja--'Dear, Jantungku yang menggemaskan. Tolong yang sabar yah. Suamiku emang gitu, suka ngagetin dan bikin kejang-kejang. Maklum tampannya bukan cuma rupa saja, tapi nafas, suara sama tingkahnya juga tampan. Tolong kuat yah, Jantung mungilku.'Jantung Ziea semakin kejang-kejang dalam sana ketika Reigha berhenti menggigitnya dan beralih membuka kemejanya sendiri. "Mas ngapain buka baju? Ge--gerah yah? Tapi di sini dingin." "Kau bilang ingin memakanku bukan?!" Reigha melepas kemejanya, set
"Selamat sore, Tuan Reigha." "A-" Ziea seketika itu juga menegakkan punggung, senyuman cerahnya seketika pudar dan jantungnya berhenti beberapa detik dalam sana. "Humm." Suara deheman dingin terdengar, membuat Ziea semakin gugup dan grogi. Sedangkan Reigha, dia menyentuh pundak Ziea– meremasnya kuat untuk memperingati istrinya tersebut. "Kembali ke kamar," ucap Reigha dingin, setengah berbisik pada Ziea. Tanpa menoleh pada suaminya ataupun Lea, Ziea langsung beranjak dari sana. Lea sendiri, dia langsung kabur dari sana– takut pada sosok pria yang dipanggil suami oleh sahabatnya tersebut. Setelah istrinya pergi dan Lea beranjak, Reigha kembali menatap pria dihadapannya. "Ikut denganku.""Baik, Tuan." Pria itu menganggukkan kepala lalu segera mengikuti langkah tuannya. Setelah sampai di sebuah ruangan, pria itu berdiri tegap– menatap Reigha yang sudah duduk di sebuah sofa mewah yang terlihat empuk. "Silahkan duduk, Matheo," ucap Reigha, mempersilahkan pria tersebut duduk. Matheo
"Kalau begitu mari berkeluarga dengan saya, Nona. Maka dengan itu saya bisa memanggil anda dengan sebutan Eca."Deg'Aesya terdiam sesaat, terbius oleh senyuman serta tatapan sayup dan teduh pria tersebut. Namun, detik berikutnya perempuan dengan paras cantik tersebut berdecis sinis. "Bangun dari mimpimu! Karena sampai kapanpun seorang rendahan sepertimu tidak akan bisa mendapatkanku. Pahami itu!" sinis dan angkuh Aesya. Dia segera beranjak dari sana, kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Matheo yang terdiam sejenak. Namun, perkataan Matheo selanjutnya kembali menghentikan langkah kaki Aesya. "Nona menyuruhku bangun, artinya Nona memerintahku untuk memperjuangkan Nona?" "Apa maksudmu?" Aesya berhenti melangkah, menoleh ke arah Matheo dengan tatapan kesal bercampur dingin. Matheo menarik napas pelan, mendekati Aesya dengan menyunggingkan senyuman tipis yang indah– membuat Aesya seketika mengerjab beberapa kali. Sialnya, pria ini sepertinya tidak menyadari jika senyumanny
"Ummm … ini nggak bakalan diminta lagi kan, Pak? Ini ikhlas kan?" tanya Lea, menatap tak enak ke arah Haiden yang berjalan di sebelahnya. Mereka sudah kembali ke mansion– berjalan beriringan. "Bisa diam?!" ketus Haiden, melayangkan tatapan tajam ke arah Lea. "Tadi aku hanya bercanda, Pak. Aku ambil gelangnya saja yah, Pak. Sisanya kasih ke pacar Pak Haiden saja. Sumpah, Pak, aku nggak enak. Niatku cuma bercanda tadi, nggak serius minta," ucap Lea, benar-benar tak enak karena Haiden jadi membeli cincin, kalung dan anting untuknya. Padahal Lea hanya bercanda, tidak serius mengatakannya. Sekarang, dia jatuhnya seperti perempuan matre dan pecinta kemewahan. "Suaramu berisik! Diam!" gertak Haiden, melayangkan tatapan tajam ke arah Lea kemudian mempercepat langkahnya– meninggalkan Lea yang terdiam di tempat. 'Semakin ke sini, aku semakin yakin untuk mundur, Pak.' batin Lea, menatap nanar ke dalam paper bag di tangannya lalu mengerjab beberapa kali. Bagaimana jika setelah ini Haiden bahk
"Lah, kenapa ke aku? Ini perhiasan siapa memangnya? Kak Haiden beli untuk siapa?" tanya Ziea dengan nada bingung dan heran. "Aku tadi habis menemani Pak Haiden membeli gelang untuk kekasihnya. Trus … itu-- umm … gimana yah ngomongnya?" "Tinggal ngomong kali, Mak Lea."Lea cengengesan dengan canggung, menyipitkan matanya segera– sengaja untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca karena tak enak dan takut. "Begini-- " Lea berhenti sejenak, mengatur napas dan intonasi suaranya. Sial, hampir saja dia menangis!'Aduh, kok jadi mau nangis begini yah? Tahan-tahan.' batin Lea, menguatkan dirinya sendiri. "Jadi setelah aku membantu Pak Haiden memilih gelang, Pak Haiden menyuruhku mengambil satu gelang untukku sebagai tanda terimakasih. Trus aku bercanda, bilang-- kenapa nggak sekalian kalung, anting sama cincinnya, Pak?' Eh, Abang kamu malah ngabulin. Dia beli gelang, cincin, kalung sama anting untuk aku. Padahal aku cuma bercanda, Ziea. De--Demi Tuhan, aku cuma bercanda, Ziea. Aku ngg
Sret'Haiden menatap seorang pria yang masuk begitu saja ke dalam kamarnya, di mana pria itu meletakkan sebuah paper bag yang tak asing baginya. Haiden yang tengah duduk santai di atas ranjangnya seketika menegakkan punggung, langsung turun dari ranjang dan menghampiri pria tersebut. "Itu apa, Rei?" tanya Haiden. "Lea mengembalikan ini pada Zie, dan Zie menyuruhku mengembalikannya padamu," ucap Reigha santai. "Hell." Haiden menatap paper bag tersebut kemudian melayangkan tatapan penuh tanda tanya ke arah Reigha. "Kenapa Azalea mengembalikannya pada Ziea? Aku memberikannya untuknya." "Zie bilang Lea punya trauma pada barang pemberian yang terlalu mahal. Kau tidak tahu?" Haiden menggelengkan kepala, "untuk apa aku tahu? Tidak penting.""Kau menyukai Lea?" tanya Reigha datar. "Cih." Haiden berdecis sinis, "dari sudut manapun aku tidak menyukai perempuan bodoh itu." "Turunkan sedikit gengsi, Haiden. Cinta itu sendiri sudah rumit, dan rasa gengsimu hanya akan memperparah.""Aku tida
"Aku berangkat kerja, ZieKu." Ziea menganggukkan kepala sembari tersenyum lembut ke arah suaminya, di mana Reigha tengah mengusap pucuk kepala Ziea dengan gerakan acak sembari menatap Ziea lamat dan intens. "Semangat," ucap Ziea malu-malu karena takut diledek oleh Aesya. Yah, adik ipar rasa Kakak kandungnya tersebut akan ikut dengan Reigha ke kantor. Kata Aesya ada sekretaris magang yang harus dibina oleh Aesya.Hais, sekretaris magang! "Humm." Seperti biasa, Reigha hanya berdehem. Setelah itu dia beranjak dari sana, berjalan menuju mobil gagah dan mewah kesayangannya. "Mas Rei, tunggu." Ziea tiba-tiba memanggil, membuat Reigha yang akan masuk dalam mobil tersebut mengurungkan niat. Dia sontak menoleh ke arah istrinya, menatap Ziea dengan sebelah alis terangkat. "Tunggu, aku cari dulu!" ucap Ziea, tiba-tiba sibuk sendiri meraba tubuhnya– seperti sedang mencari sesuatu. Lalu tiba-tiba saja, tangannya menghadap Reigha– menampilkan finger heart yang mungil. 'aku cinta Mas Rei,' ucap
"Pekerjaanku selesai, Nona." Aesya menatap sekilas pada Matheo, berdehem singkat lalu memilih sibuk dengan pekerjaannya. "Humm."Matheo mendekati Aesya, tiba-tiba dengan lancang pria tampan dan penuh pesona tersebut menutup laptop Aesya. Kemudian dia juga membereskan meja. "Hei, apa-apaan kau ini?!" geram Aesya. Bukannya menjelaskan kelakuannya, Matheo malah menarik paksa Aesya untuk ikut dengannya. "Brengsek! Apa-apaan kau ini?!" Aesya berusaha melepaskan cekalan tangan Matheo dari lengannya. "Cik, lepas, Matheo!" "Nona, ini sudah jam makan siang. Dan Nona harus makan siang dengan saya." "What!!" Aesya setengah menjerit protes. "Kalau kau ingin makan siang, yah makan siang saja sana sendiri. Aku makan siang dengan Ega. Jadi tolong lepas!""Tuan Reigha sudah pulang untuk menemui Nyonya Reigha. Dan Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda makan siang dengan baik dan benar," jawab Matheo datar, beralih menggenggam erat jemari lentik Aesya. Kebetulan Reigha pulang untuk men