"Hinaan dibalas maaf itu tidak adil," ucap Reigha datar, melirik sinis dan penuh kebencian pada Aesya– membuat kembarannya tersebut menunduk dengan raut muka murung serta ingin menangis. "Tapi Kak Eca tidak sepenuhnya salah, Mas Rei. Yang benar-benar salah di sini itu sekretaris kebanggaan kamu!" kesal Ziea pada akhir kalimat, "sakitnya aku itu di dia, bukan ke Kak Eca atau siapapun itu di keluarga Mas. Lagian Kak Eca sama sekali tidak melontarkan kata-kata buruk padaku. Kak Eca hanya meluapkan emosionalnya … karena dia dalam posisi kehilangan. Mas, aku sudah melupakan masalah itu. Aku harap Mas juga bisa.""Es krimmu akan meleleh," ucap Reigha, berniat mengalihkan pembicaraan. "Mas dan Kak Eca itu satu jiwa dalam dua raga yang berbeda. Kalian tidak bisa seperti ini, saling membenci. Apalagi karena masalah begini. Mas, yang harusnya Mas benci itu bukan Eca atau siapapun di keluarga kita. Tapi, Camille. Karena dia bukan hanya melukaiku, tetapi juga memecah belah keluarga kita. Dia ya
"Tuan, tolong dengarkan penjelasanku …." Camille mencicit dan melirih. Bug'Dengan tega dan tak manusiawi, begitu kasar serta rasa kasihan sedikitpun, Reigha yang sudah kembali duduk di kursi kekuasaannya secara enteng menendang paha kanan Camille– membuat perempuan cantik dan tinggi tersebut terjatuh tak mengenakkan di lantai. "Argkk," jerit Camille, langsung memegang pahanya yang di tendang tersebut dendam air muka kesakitan serta suara rintihan pilu yang keluar dari mulutnya. Dia yakin tulang di sana patah. I--ini sakit sekali. "Tu--Tuan, kakiku sak--sakit! Hiks … sakit!" "Kau mau yang lebih sakit, heh?" ucap Reigha, terkekeh pelan dan nyaring. Namun, kekehan ini berbeda– entah kenapa terasa mengerikan dan angker. Membuat bulu kuduk yang mendengar menjadi merinding. "Tuan … hiks … tolong maafkan aku. Hiks … a-aku melakukannya karena tidak ingin dia mengkhianati Tuan.""Siapa yang kau sebut dia?" Nada Reigha sangat dingin, meskipun terkesan tenang dan pelan. Dinginnya menusuk
"Aaaa …-" jerit Ziea karena kaget. Namun buru-buru menutup mulutnya saat menoleh dan berhadapan dengan mata elang suaminya. "A--aku cuma kaget, Mas. Hehehe …."Cup'Reigha dengan lembut mengecup pipi Ziea, kemudian mengelus penuh kasih sayang pucuk kepala istrinya tersebut. "Harusnya kau istirahat, ZieKu. Wajahmu pucat," ucap Reigha lembut. "Ta--tapi aku tiba-tiba ingin makan," jawab Ziea hati-hati, melirik ke arah belakang– ke arah suaminya yang masih memeluk Ziea dari belakang. "Kau lapar?"Ziea menganggukkan kepala dengan ragu. Ah, setelah menyaksikan kejadian tadi rasanya Ziea sudah kenyang. Namun, dia tidak mungkin mengatakannya pada Reigha. Itu terlalu menyeramkan. Dan bisakah otak Ziea melupakan masalah itu? Demi Tuhan, bayang-bayang Reigha ketika menendang Camille atau ketika suaminya tersebut menamparnya dan … argk!! Itu terus mengiyang dalam kepala Ziea. Dia merinding dan takut! "Jawab." Ziea mengerjab beberapa kali, kemudian menganggukkan kepala dengan pelan. "Kau ing
"Sudah selesai, ZieKu?" Gluk' Ziea dengan kaget, spontan mendongak ke arah suaminya. Dia menatap Reigha, menampilkan air muka pucat pias dengan senyuman lebar di bibir. Menyengir konyol! "Kau melihat ap--" Ucapan Reigha seketika berhenti, menatap ke arah mejanya yang menampilkan foto Ziea. Shit! Sudah ketahuan?! "Ehehehe …." Ziea cengengesan, memutari meja lalu menghampiri suaminya. "Kagumnya diam-diam yah, Mas bro?" ucapnya menyengir lebar, menggoyangkan tubuh ke kanan dan ke kiri– salah tingkah sendiri. "Humm." Reigha berdehem pelan, menekan tombol rahasia di mejanya untuk mengganti permukaan meja menjadi warna putih. "Lanjutkan makanmu dan segera turun ke bawah," ucap Reigha dengan datar, buru-buru beranjak dari sana– kembali keluar dari kamarnya. Ouh, hell! Kenapa Ziea bisa tahu mengenai itu?! Shit! Memalukan! Kelakuan konyolnya diketahui oleh istrinya. "Damn it!" umpat Reigha pelan, menggaruk pelan alisnya sembari menatap datar dan flat ke arah depan sana. "Yah … malah pe
"Mas tidak jahat kok. Mas Rei hanya tidak bisa mengendalikan diri. Mas terlalu emosional. Ta--tapi itu tidak apa-apa. Itu hal yang sangat wajar," jawab Ziea dengan melepas pelukan dari Reigha, beralih menangkup rahang Reigha sembari mendongak-- tersenyum hangat serta lembut pada sang suami. "Mas lega?" tanya Ziea sembari mengusap air mata suaminya tersebut, masih tersenyum lembut pada Reigha. Reigha menganggukkan kepala, membalas senyuman istrinya tersebut dengan senyuman hangat dan tulus. "Jika aku tidak menjadikanmu sebagai milikku mungkin sampai sekarang aku tidak akan bisa mengungkapkan apa yang kurasa. Terimakasih …."Ziea menganggukkan kepala. "Tapi … Mas tidak boleh menyalahkan Daddy yah. Masalah kita-- itu hanya salah paham. Dan … mengenai Mas harus bertanggung jawab pada perusaan, aku paham jika ada yang tidak seimbang antara Mas dan Kak Rafael. Ada sedikit ketidak adilan yang dirasa. Tetapi itulah letak keadilan Daddy Gabriel, Mas. Tanggung jawab yang besar, tidak mungkin
"Mas Batu nisan!" Peringat Ziea. Namun …- 'Aaaaaa … salah sebut nama! Keceplosan keceplosan. Mampus!!' batin Ziea, sudah menutup mulut sembari menatap Reigha dengan mata membulat karena panik. "Maksudku Mas Reigha yang imut. Hehehe … du-duduk yah, Mas sayang," ucap Ziea dengan nada gugup bercampur cengengesan, menarik lengan Reigha yang menatapnya dingin tersebut dengan pelan– isyarat agar suaminya tersebut duduk. Untungnya Reigha mau duduk, meskipun tatapan dingin pria itu sama sekali tak lepas dari Ziea. "Silahkan makan, Semua," ucap Ziea tak enak pada keluarganya. Gabriel dan Kenzie terkekeh pelan, melirik Ziea dan Reigha yang duduk bersampingan– satu duduk kaku sembari memperlihatkan air muka gugup. Dan satu lagi duduk santai, bersedekap di dada sembari menatap secara terus menerus ke arah makhluk di sebelahnya. 'Mas Batu Nisan. Cih.' batin Rafael, pura-pura menggaruk alis demi menutupi bibirnya yang tersenyum geli. Dari banyaknya panggilan di muka bumi ini, kenapa yang Ziea
"Kau tidak ingin menjelaskan sesuatu, Ziea Reigha Azam?" Gluk'Ziea duduk gugup di pinggir ranjang, menatap suaminya dengan air muka pucat pias dan tegang. Sekarang dia dan suaminya sudah berada dalam kamar, di mana Reigha berada tepat di depannya– berdiri dan melayangkan tahapan tajam ke arah Ziea yang sudah mematung. "Menjelaskan apa?" tanya Ziea pelan dan ragu. "Hubunganmu dengan Bagas."Ziea menggelengkan kepala secara kuat, mengerjab beberapa kali sembari menatap takut-takut ke arah suaminya. Sebenarnya leher Ziea pegal karena kelamaan mendongak untuk menatap suaminya yang menjulang tinggi ini. Namun, dia takut mengalihkan pandangannya dari Reigha yang sedang dalam mode senggol mati. Ngeri, Everybody!"Aku tidak punya hubungan apapun dengan Bagas, Mas Rei." Ziea menggelengkan kepala panik. "Yakin?" Reigha berkata dingin, memilih duduk di sebelah Ziea– memindahkan perempuan tersebut di depan pangkuan Ziea kemudian memeluk pinggang Ziea secara possessive, terus melayangkan t
"Jawab dong, Mas. Sekalian … itu pacar-pacar Mas. Kok bisa yah Mas pacaran kalau bilangnya sudah lama suka ke aku? Kalau khilaf, ya kali mantannya lebih dari satu," tanya Ziea sembari mencengkeram kerah kemeja yang suaminya kenakan. Dia menggendongnya, memaksa suaminya yang suka bungkam tersebut agar bersuara. "Hell yeah, Zie!" Reigha berkata pelan, melepas tangan mungil istrinya dari cengkeramannya lalu memindahkannya ke leher sendiri– mengalungkan tangan istrinya secara mesra di sana. "Pertanyaan pertama, aku tidak bisa menjawab. Pertanyaan kedua-- aku tidak punya yang namanya mantan." "Bohong sekali Bapak satu ini," ucap Ziea mendelik dan mendengkus kesal. "Itu-- sekretaris kamu pernah bilang gini ke aku 'mantan-mantan Tuan Reigha jauh lebih cantik dan lebih seksi dibandingkan anda. Tuh-- dia bilang mantan-mantan, bukan mantan doang. Cik cik cik, parah banget yah Tuan Reigha Abbas Azam ini." Reigha menyunggingkan smirk tipis, merunduk sedikit untuk menatap intens dan dalam ke ar
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming