"Aku nggak berharap dia datang, tapi kalau Mas mau ngundang ya nggak apa," ujar Ruma santai. "Udah move on, 'kan Dek? Aman berarti?" goda Raja tersenyum. "Aman sembilan puluh sembilan persen, Mas," jawab Ruma yakin. "Lah kok nggak seratus aja. Satu persennya berarti nggak aman dong." "Satu persennya silaturahmi. Biar bagaimanapun ada orang tuanya yang pernah baik banget sama Ruma. Mas Rasya juga, jadi ya harus disisain walau cuma satu," jawab Ruma benar adanya. "Semoga mereka juga aman kalau tahu aku yang menikahi kamu," ucap Raja penuh harap. Takdir telah membawa kisah mereka bermuara. Walau awalnya terlihat mustahil, tetapi atas kehendak-Nya, semua dilancarkan hingga di titik sekarang. "Aamiin ...," sahut Ruma mengaminkan. "Nanti kita pakai konsep yang bagaimana, Dek?" tanya Raja menyesuaikan selera istrinya. "Apa tidak sebaiknya kita musyawarah dulu sama keluarga. Ummi sama abi kasih tahu dulu, terus mau gimana? Aku ngikut aja Mas, ini kan acaranya di sini." "Iya
"Rasya, ada undangan buat kamu, mami taruh di kamar!" seru Mami Maria begitu putranya masuk rumah. Pria itu memang memutuskan tinggal bersama ibunya sejak bercerai, ditambah Bu Maria sering sakit-sakitan. Jadi, sekalian jagain ibunya. "Iya Mi, dari siapa?" tanya Rasya sembari melepas sepatu yang membelenggunya dari pagi. Pria itu terlihat lelah. "Kayaknya sih teman kamu yang dokter itu, siapalah namanya. Mami nggak baca, cuma sekilas aja tadi," jawab perempuan paruh baya itu sembari sibuk menyiapkan hidangan makan malam. "Owh ... Raja mungkin? Yang dulu tetanggaan sama Rasya," tebak pria itu menduga-duga saja. "Mungkin, mami kurang paham." Pernah beberapa kali bertemu di rumah sakit dan juga di luar, tetapi perempuan sepuh itu tidak begitu jelas dengan dokter Raja. "Rasya ke kamar dulu, Mi," pamit pria itu beranjak. Rasya langsung ke kamar, menaruh tas kerjanya serta handphone tepat di sebelah kertas jasmin yang sudah dipres cantik berbentuk undangan pernikahan. Pria itu hanya
"Sayang, Zava nggak mau tidur?" tanya Raja ikut terbangun begitu mendengar rengekan bayi mungilnya."Iya Mas, padahal baru saja minum ASI, tapi nggak mau bobok, bagaimana ini," jawab Ruma sembari terkantuk-kantuk.Raja yang awalnya sudah merem mencoba bergantian menemani Zava. Dia mempersilahkan istrinya untuk istirahat lebih dulu. Kasihan, sepertinya juga sangat lelah."Sini biar aku yang jaga. Kamu tidur ya, besok kan acaranya banyak, kalau nggak tidur bisa ngantuk berat.""Kamu nggak apa Mas jagain Zava sendirian?" tanya Ruma memastikan. "Iya, semoga sama buya bisa cepet merem. Mana tahu adek memang lagi kangen sama buya ya sayang. Jadi pingin dimanja ayahnya."Ruma sebenarnya kasihan, tetapi tubuhnya terasa penat dengan mata mengantuk berat. Perempuan itu terlelap cepat begitu menemukan bantal. Sementara Raja masih menimang-nimang Zava agar lekas terlelap."Sayang, bobok ya anak buya yang sholehah. Ini sudah malam, itu umma udah bobok tuh, kasihan kan umma kepingin dikelonin buya
"Buk, ayo kita temui pengantinnya dulu," ucap Rasya menginterupsi ibunya."Iya, pestanya meriah sekali. Dokter Raja itu orang kaya ya," tanya Mami Maria melihat banyaknya tamu undangan yang hadir. Serta tatanan dekorasi yang begitu mewah dan megah."Iya Mi, Raja kan pewaris rumah sakit islam dan juga cucu dari Kiai Hasan, pantas saja kalau acaranya semegah ini. Aset ayahnya banyak di mana-mana. Bahkan universitas yang ada di sekitaran Al Hasan milik keluarganya," jawab pria itu sedikit banyak tahu silsilah keluarganya.Pria itu memang sudah ningrat sejak kecil. Tentunya dari background keluarganya yang memang sudah berada dari dulu.Mami Maria merasa takjub, dia juga baru menyadari kalau semua tamu undangan yang hadir tidak diperkenankan membawa amplop atau hadiah semacamnya. Orang kaya memang beda. Mereka memang sengaja mengadakan syukuran akbar untuk menyambut hari bahagia putranya."Mi, kok Rasya kaya nggak asing sama pengantin perempuannya," ucap pria itu baru menyadari ada hal ya
"Biar aku lihat dulu, mana tahu sama ummi," ucap Raja mencoba tenang. Walaupun sebenarnya dalam hati cemas luar biasa. Apalagi melihat istrinya yang sudah panik, hatinya makin tak karuan. Raja keluar, mencari-cari mana tahu baby Zava digendong keluarga lainnya. Namun, semua orang terlihat sibuk. Di luar juga kedua orang tuanya dan orang tua Ruma sedang tidak menggendong Zava, lalu di mana bayi kecil itu berada. "Ya Allah ... kamu di mana sayang," gumam pria itu cemas. "Ja, kenapa?" tanya Shaka menghampiri kerabatnya. "Ka, kamu lihat bayi sku nggak? Zava sama siapa ya?" tanya pria itu mulai kalut. "Adek Zava bukannya tadi dijagain sama Mbak Ika ya." "Iya, tapi Ika sholat, dia malah nidurin Zava di kamar. Tapi nggak ada, Ka, kamu coba tolong bantuin nyari ya. Msna tahu digendong budhe, atau siapa gitu. Kasihan istriku mau kasih ASI-nya sampai penuh." "Iya, iya, aku bantu nyari sebentar," ujar pria itu bergegas. Ruma tentunya tidak diam saja. Dia keluar menanyakan langsung
Nyonya Maria tak bisa mengendalikan putranya. Dia kalut dengan wajah kebingungan melihat Zava kembali dibawa pergi."Rasya, jangan Nak, kasihan Zava. Ayo berikan pada Mami. Dia masih kecil sayang, dia tidak bersalah," bujuk Nyonya Maria mengiba."Mami jangan ikut campur, sudah kubilang, dia tidak akan pernah aku serahkan pada mereka. Bayi ini seharusnya milikku, Ruma hamil saat masih menjadi istriku. Dia berbohong, pengadilan tidak mungkin akan mengesahkan perceraian kita kalau tahu Ruma hamil. Dia berbohong."Rasya merasa sangat terkhianati. Apalagi melihat mantan istrinya begitu bahagia bersanding dengan sahabatnya, hati Rasya sakit. Dia tidak bisa menerima itu, sementara dirinya menderita sepenuh hati."Mami tahu kamu kecewa, marah, tapi tolong jangan libatkan Zava, kalau memang benar kamu menyayanginya. Berikan pada mami, sayang, mami yang akan mengurusnya. Nanti mami musyawarahkan ke Ruma."Perempuan paruh baya itu terus memohon. Mencoba menyadarkan kekeliruan putranya. Dia tahu
Ruma terdiam dengan tangis. Dia tidak percaya Rasya sekejam itu. Terlihat jelas wajah kalut Raja sembari terus mengemudi. "Ayo Raja, lakukan! Talak Ruma sekarang! Atau kamu mau melihat bayi ini aku lempar ke jalanan!" ancam Rasya tak sabar. "Jangan Rasya! Tolong jangan sakiti Zava. Aku minta maaf, tolong jangan apa-apain anakku!" jerit Ruma terdengar memilukan. "Tenang sayang, aku akan memaklumimu. Kembalilah padaku, kita bisa mempunyai anak yang lucu-lucu," sahut Rasya benar-benar gila. Ruma menggeleng, dia tidak mau mengakhiri pernikahan yang baru saja dibinanya. Terlebih mereka saling mencintai. Berharap ada solusi atas semua ini. "Tolong berhenti Mas, jangan sakiti Zava." "Aku hanya akan berhenti setelah Raja menceraikan kamu, sayang," sahut Rasya tetap dengan pendiriannya. Raja merampas handphone di tangan Ruma, lalu mengakhiri panggilannya. Dia tidak mungkin menuruti permintaan gila Rasya yang jelas tidak masuk akal. "Mas, kenapa malah dimatikan? Kita nanti
Sudah dua hari baby mungil itu tergolek tak berdaya di ruang NICU. Ruma harap-harap cemas menunggu. Setiap kali pumpink ASI, pasti sambil nangis. Rindu sekali dengan tangis dan berisiknya. "Sayang, ummi bawain makanan kesukaan kamu. Dimakan dulu ya, udah selesai kan pumpinknya." Raja masuk sembari membawa bekal titipan ibunya. Pria itu harus memastikan nutrisi istrinya terpenuhi dengan baik. "Nanti Mas, belum lapar," jawab Ruma tak berselera sama sekali. Makan hanya karena perut lapar saja. Benar-benar tidak bisa merasakan dengan nyaman. "Sini Mas suapin," bujuk Dokter Raja sedikit memaksanya. "Aku bisa makan sendiri Mas," tolak Ruma merengut. "Iya tahu, tapi nggak pa-pa kan kalau buya-nya Zava ingin menyuapi umumnya Zava." Mau tidak mau akhirnya Ruma membuka mulutnya. Dia pasti makan walaupun nunggu nanti saja. Tetapi Raja malah yang terlihat begitu khawatir. Sudah anaknya sakit, istrinya tidak boleh sampai ikutan drop memikirkannya. "Mas, apa belum ada perkemban
Mas Raja yang menggoda, Ruma yang tidak suka. Suaminya ini kenapa malah dicie ciein, apa dia tidak bertanya-tanya kenapa Rina dan ibunya Rasya datang ke rumah. "Rum, maaf mengagetkan kamu pagi-pagi. Kebetulan sekali kalau Dokter Raja juga ada di rumah."Iya, Ruma memang kaget, ada hal penting apa sampai Rina dan mantan ibu mertuanya datang ke rumah. Sepertinya Mas Rasya juga, tetapi kenapa pria itu tidak turun dari mobil. "Iya, silahkan masuk Rin, Tante," ucap Ruma menyambutnya dengan hangat. Yang berlalu biarlah berlalu, yang penting sekarang Ruma mempunyai keluarga yang menyayanginya penuh syukur. "Terima kasih banyak, Rum," jawab Rina dan Tante Maria masuk. Lalu mengambil duduk setelah dipersilahkan. Kedatangan kedua orang di masa lalu Ruma tentu bukan tanpa alasan. Mereka merasa perlu bersilaturahmi untuk melegakan hatinya. Tentu saja karena memang ada suatu hal yang tidak melegakan hatinya. "Sebelumnya, maaf jika kedatangan kami membuat kamu dan keluarga tidak nyaman. Sudah
"Sayang, lama banget, itu MUA-nya udah datang." Raja sampai menyusul ke kamar mandi sebab istrinya tak kunjung keluar. "Suruh nunggu Mas, aku sedikit mual." Ruma keluar kamar mandi dengan wajah sedikit pucat. "Loh, kamu sakit?" Dari semalam Ruma memang kurang enak badan. Sedikit masuk angin dan kurang istirahat lebih tepatnya. Jadi, berefek paginya. Padahal hari ini ada acara aqiqahan baby Maher. Malah mendadak tidak enak badan begini. "Nggak Mas, aku cuma agak mual dikit."Semalam baby Maher banyak rewelnya, tumben sekali bayi mungil itu meminta perhatian lebih. Ruma tidak bisa tidur nyenyak gegara putranya terlihat tidak seperti biasanya. Dia takut sendiri dan sedikit trauma kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya. "Masuk angin sih ini. Minum obat ya, aku ambilin. Udah makan kan?""Nggak Mas, nggak usah. Ini udah agak mendingan kok," tolak Ruma merasa lebih baik. Pria itu beranjak mengambilkan minum hangat. Menganjurkan istrinya rehat sejenak. Acaranya masih nanti agak siangan,
Ruma dan Raja sepakat mencari pengasuh untuk baby Maher. Tentu saja untuk meringankan pekerjaan istrinya. Apalagi sekarang Ruma tengah masa pemulihan pasca melahirkan. Sudah pasti repot harus membagi waktu untuk dirinya dan juga bayinya."Mas, nanti aku jadwal kontrol. Sekalian ke rumah sakit ya.""Iya, nanti aku antar. Jam berapa sayang?""Siang lah, kamu hari ini berangkat?""Cutiku udah habis, siang ya, nanti aku anterin dulu kalau pagi. Aku langsung pulang beres dari rumah sakit."Waktu Raja memang sangat sibuk. Dia hanya cuti beberapa hari menemani istrinya di rumah sakit dan di rumah. Selebihnya kembali sibuk di rumah sakit. "Iya, nggak pa-pa, ada suster Anna yang bantuin." Untungnya sesama dokter, jadi lebih tahu kesibukan masing-masing. Tidak menuntut untuk dimengerti sendirian. Saling memaklumi karena kehidupannya memang bukan sepenuhnya milik pasangannya. Harus terbagi dengan banyak orang yang membutuhkan.Setiap libur, Raja selalu meluangkan waktunya full di rumah. Karena
Ruma langsung mengiyakan, HPL memang masih akhir bulan, tetapi benar tanda-tandanya baby boy mau launching. "Bisa jalan?" tanya Raja khawatir. Ruma mengangguk, walau dengan wajah menahan sakit, cukup aman untuk berjalan sampai ke mobil. "Ayo sayang, hati-hati!" Abi Zayyan dan juga Ummi Marsha juga langsung ikut ke rumah sakit. Sementara Bik Sumi pulang dengan taksi membawa belanjaan mereka. "Tambah kerasa ya?" tanya Raja sembari mengemudi perjalanan ke rumah sakit. "Iya Mas, lumayan," jawab Ruma memejam. Mengatur nafas, dan sesekali merilekskan tubuhnya saat tengah nyeri. Ini bukan pertama kali bagi Ruma, tetapi sakitnya tentu sama saja satu rasa. Namanya orang mau melahirkan, di mana-mana pasti luar biasa. "Lancar-lancar ya sayang, bantu Buna," ucap Raja sembari mengelus perut istrinya. Begitu sampai di rumah sakit, Ruma langsung disambut hangat oleh tim medis. Perempuan itu langsung dibawa ke ruang bersalin. Setelah dicek ternyata memang sudah pembukaan tiga. Masih lumayan
Empat purnama tak terasa berlalu dengan cepat, Ruma kini tengah menanti hari-hari kelahiran anak kedua. Perempuan itu juga sudah menyelesaikan waktu magangnya. Jadi, bisa mempunyai banyak waktu di rumah menanti launching anak kedua."Aku berangkat ya, nanti kalau ada apa-apa kabari. Jangan belanja sendirian, nanti malam saja aku temani setelah pulang," pesan Raja tak membiarkan istrinya beraktivitas di luar tanpa dirinya. "Iya Mas, tapi kalau misalnya siang berubah pikiran, terus ditemani Bik Sumi gimana? Kan nggak sendirian juga." Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, asal Raja mengizinkan, Rumah tidak mengapa berbelanja sendirian."Duh ... bumil ngeyel ya. Ya sudah, nanti pakai supir saja. Hati-hati ya, ingat selalu berkabar di mana pun berada." Raja mode posesif, bukan apa-apa, dia khawatir mengingat istrinya hamil besar. "Siap Mas, kamu juga hati-hati berangkat kerjanya," balas Ruma mengiyakan. Ruma menyalim takzim suaminya. Raja membalasnya dengan kecupan sayang di keningnya,
"Ya Allah ... capek Mas, izin ke kamar ya," pamit Ruma setelah membantu membereskan sisa acara tadi. Padahal cuma bantuin dikit, tapi berada sekali punggungnya. "Kamu sih, dibilangin nggak usah masih suka maksa. Udah istirahat saja."Kalau Ruma sudah mengeluh, Raja yang khawatir. Istrinya itu kadang bandel, tapi ya namanya juga perempuan aktif, mana bisa diem. "Hem ... tadi nggak berasa Mas, sekarang baru terasa," ucap Ruma beranjak. Raja ikut mengekor istrinya ke dalam. Suasana rumah juga sudah sepi, semua tamu dan keluarga dekat sudah pulang sejak tadi. "Sayang, aku pijitin ya," kata pria itu perhatian. Bukan satu dua kali, Raja memang sering melakukan hal semacamnya saat istrinya mengeluh lelah. Ya walaupun ujung-ujungnya tetap bonus adegan panas. "Hmm ... beneran pijat atau minta bonus." Ruma sadar, wanita itu kemarin menundanya. Dia bahkan berjanji sendiri setelah acara bakalan nyenengin suaminya. Tapi, terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Ruma terlihat kelelahan malam
"Tidur sayang, aku tahu kamu capek. Aku nggak akan ganggu," kata Raja pengertian. "Baiknya suami aku. Terima kasih Mas," ucap Ruma merasa merdeka. Dia benar-benar tengah lelah. Beruntung punya Mas suami yang super pengertian, jadi tidak ada drama yang berkepanjangan."Ini beneran kan? Nggak ada mode dendam?" tanya Ruma menatap serius. "Astaghfirullah ... kamu capek kan? Tidur sayang, sebelum aku berubah pikiran," jawab Ruma gemas sendiri. "Oke sayang, besok dobel deh karena malam ini udah baik. I love you," kata wanita itu tersenyum lega. Mengecup pipi suaminya lalu menarik selimut rapat-rapat."Love you more," balas Raja tersenyum sembari mengelus kepalanya lembut. Dia benar-benar meloloskan Ruma malam ini. Tak perlu menunggu lama, wanita itu lelap menemukan kenyamanannya. "Bobok yang nyenyak," ucap pria itu menarik selimut, lalu menciumnya dengan sayang. Raja mana tega eksekusi istrinya mode maksa. Apalagi fisik Ruma tengah mode lelah plus hamil muda. Jadi, menyala sabarnya.Sem
Berita kehamilan Ruma begitu menggembirakan untuk keduanya. Namun, Ruma dan Raja sepakat tidak membagi kabar bahagia ini dulu dengan keluarga besar. Namanya juga baru trimester pertama dan masih rentan, jadi sabar menahan diri untuk berbagi kabar menyenangkan ini. Raja juga khawatir kalau di luar sana ada saja orang yang mungkin tidak berkenan dengan hubungan mereka.Setelah berjalan empat bulan, Ruma baru berani speak up, tepatnya saat hendak menjalani acara empat bulanan. Kedua orang tua Raja dan juga kedua orang tua Ruma sampai terheran-heran ketika diberi tahu kabar bahagia ini."Kapan acaranya, Ja? Kok baru ngabarin?" Ummi Marsha jelas kaget sekaligus senang mengetahui menantunya tengah hamil. Raja sengaja menemui ibunya setelah dinas hari ini. Sebenarnya dia sudah tidak sabar membagi moment ini. Alhamdulillah sampai juga di acara empat bulanan. "Besok Ummi, Ruma juga sekarang masih dinas. Memang rencananya meminta libur sehari saja untuk acara besok.""Masya Allah alhamdulillah
"Sayang, kalau mau ada yang dibeli pesan dari rumah aja. Misal butuhnya sekarang, atau udah mau butuh banget buat besok.""Iya Mas, santai aja. Sekarang kan serba mudah. Orang belanja sayuran segar aja bisa dari rumah. Cuma ya itu, yang mahal kan waktunya. Aku pingin jalan berduanya.""Duh ... kapan ya, besok sore gimana? Nggak mau janji juga, semoga nggak ada pasien mendadak.""Aamiin ... ngabarin aja Mas, tapi semoga bisa ya. Eh gimana kalau malam sabtu.""Kalau malam sabtu malah sudah berencana bad minton sama temen-temen. Boleh kan yank.""Duh ... aku ditinggal gitu sendirian di rumah." Rumah merengut, nggak enak banget malam-malam sendirian di rumah."Boleh ikut kok, ada banyak teman-teman juga. Mungkin pada bawa pasangannya juga.""Beneran boleh ikut?""Iya boleh."Waktu berdua itu sangat berharga bagi mereka. Semenjak kepergian Sama, Rumah memang anti kesepian. Dia juga terlihat lebih manja dengan suaminya. Beruntung mempunyai suami yang pengertian, sama-sama bucin, jadi tidak