Ruma seperti orang kaget, langsung memutus tatspn itu dengan mengalihkan ke arah lain. Begitupun dengan Dokter Raja, tidak menyangka akan bertemu dengan calon ibu dari anaknya di tempat yang sama. Kebetulan yang teramat kebetulan."Astaghfirullahaladzim ...," ucap Raja membuat atensi Dokter Yuda kembali menyala. "Kenapa Ja, sampai istighfar begitu?" tanya Yuda jelas becanda."Istri orang Yud," jawabnya jujur. Walau dalam hati merutuki perkataannya. Tidak bisa dibiarkan kalau perasaan itu terus tumbuh liar tanpa pengendalian. Sungguh definisi dari perhatian yang salah tempat."Pphhh ... istri orang memang sangat menantang. Mana? Aku penasaran juga siapa kah gerangan. Apakah itu Ruma?" tanya pria itu memastikan. Pasalnya di sana hampir semua meja yang terisi berpasangan. Hanya Raja dan Yuda yang terlihat sejenis. Yuda kembali mengedarkan pandangan. Mengamati pasangan yang tengah menyantap hidangan di meja sebelah. Terlihat Ruma beranjak dari kursinya. "Mas, aku ke belakang sebentar,"
"Kenapa kamu terlihat aneh melihat kedua pasangan tadi?" kata Rina jelas mengamati keduanya. "Hanya perasan Anda saja. Maaf saya permisi," ucap Raja tak ada waktu untuk meladeni perempuan yang sepertinya tidak punya hati lembut ini. Raja langsung berlalu begitu saja. Membuat Rina mencetak kesal. Dia langsung mengklaim betapa tidak beruntungnya dia telah mengabaikannya. "Sombong amat. Heh, Mas, kamu temannya Dokter Raja kan? Bilangin tuh lain kali matanya melek, masa cewek secantik saya tidak respect," ucap perempuan itu lalu beranjak. Yuda yang tengah serius menyelesaikan makanannya terbengong, lalu menggeleng rak percaya. Ada begitu jenis perempuan aneh begini. "Dasar cewek nggak jelas. Tadi ribut-ribut di meja orang, lah sekarang kalau Raja nggak ngelirik kenapa jadi situ yang tantrum," gumam pria itu kembali bersantap santai. Mengganggu waktunya yang indah saja. Sementara Raja langsung mengejar mobil Rasya yang jelas sudah tidak terlihat. Dia langsung ke arah jalan pulang. Na
Raja yang sudah sampai rumahnya lebih dulu langsung kepikiran begitu tidak menemukan mobil Rasya di halaman rumahnya. Pria itu masih menunggu beberapa menit lamanya di pelataran untuk memastikan Rumah pulang."Mereka ke mana ya, kok belum sampai," gumam Raja cemas.Pria itu mondar-mandir di teras rumah tak tenang. Rasanya ingin sekali menghubunginya, tetapi tidak punya cukup alasan mengingat ini di luar jam kerja dan sudah malam.Saat pikiran pria itu tengah kacau, tiba-tiba handphonenya bergetar. Raja langsung melihatnya dan menemukan nama Ruma yang melakukan panggilan."Hallo Rum! Hallo! Kamu di mana?" tanya Raja di ujung telepon. Tidak ada jawaban semakin membuatnya cemas. Pria itu harus menemukannya segera.Sementara Ruma yang panik tak sempat menerima panggilan yang sempat terhubung. Perempuan itu langsung beranjak memberi jarak saat pria itu mencoba menyentuh pipinya."Lepasin! Jangan menyentuhku!" ronta Ruma menghindari cekalan pria tak bertanggung jawab itu."Tenanglah ... aku
Raja yang hampir mengatakan sesuatu pun urung ikut melihat siapa gerangan yang melakukan panggilan di handphonenya. Dia terdiam tanpa berani mengatakan apa pun. Hak Ruma sepenuhnya untuk mrngabari suaminya dan Raja harus menyadari itu. Pria itu mengamati Ruma yang diam saja menatap layar ponselnya sampai panggilan itu berakhir. Ruma sengaja mengecilkan volume deringnya agar tidak berisik. "Kenapa tidak diangkat, bukankah Rasya yang menelpon?" Ruma langsung melirik dingin. Seolah tidak suka dengan ucapannya. "Dokter mengintip? Dia lebih suka kalau aku tidak mengangkatnya," jawab Ruma benar-benar kesal. Bagaimana bisa Rasya setega itu menurunkan dirinya di jalan tanpa tanggung jawab. Hampir saja dia mengalami pelecehan dari pria asing lagi. Apakah dirinya tak seberharga ini menjadi perempuan, sampai harus terdampar dengan keadaan yang lagi-lagi hampir membuat kehormatannya koyak. Rasanya dada itu sesak sendiri mengingat tadi. "Jangan terlalu dipikirkan, beberapa hari ke depan kam
"Ruma!" pekik Raja mendekat."Kamu tuh masih lemes, jangan bikin orang khawatir," omel pria itu nampak khawatir."Hehe ... iya, sepertinya aku butuh suster," ucap Ruma sadar betul tidak mungkin meminta tolong dengan pria di depannya yang jelas peduli, tetapi cukup jaga jarak."Duduk dulu, masih tahan kan?""Tahan apa? Maksudku, aku hanya perlu berjalan pelan, insya Allah akan sampai.""Bisa nggak bikin orang khawatir, aku panggil suster sebentar," ujar pria itu berjalan cepat keluar. Tak berselang lama, suster datang membantunya. Sementara Raja menunggu di ruangan yang sama."Mari biar kubantu," kata suster tersebut memapahnya sampai di depan pintu masuk kamar mandi. "Terima kasih, sampai di sini saja Sus," ucap Ruma merasa tak enak hati. Kenapa dia merasa jadi payah dan cukup menyusahkan.Suster itu mengangguk dengan ramah, lalu keluar dengan hati bertanya-tanya. Mungkin tengah menilai seseorang di ruangan itu kenapa sampai memanggilnya. Kenapa tidak pria itu saja yang membantunya.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Rasya langsung masuk mendorong pintunya lebih lebar. Menerabas Raja di depannya. Pria itu langsung bertemu tatap dengan istrinya yang sekarang tengah terbaring lemah di rumah sakit. "Aku menemukan Ruma pingsan di jalan, lalu aku bawa ke rumah sakit. Kenapa dia bisa berjalan sendirian di luar malam-malam.""Bukan urusanmu, Raja. Dan seharusnya kamu memberitahuku tentang keberadaan Ruma semalam. Apakah kamu sengaja menutupi ini semua dariku? Apakah semalaman kamu ada di sini?" "Bukankah dia pulang bersamamu? Istrimu sedang hamil, seharusnya kamu menjaganya dengan baik." Raja tidak menjawab perihal keberadaannya semalam, melainkan dia memberikan pertanyaan mematikan lain. Dia juga gregetan sendiri dan kepingin tahu kenapa Ruma bisa terlunta-lunta di jalanan. "Untuk apa kamu ke sini?" tanya Ruma dingin. Merutuki pertemuan hari ini yang begitu mengusik hatinya. Ruma benar malas dan kesal luar biasa dengan Rasya. "Tentu saja aku mengkhawatirkanmu, ke mana s
"Rum, malam ini mami temani kamu di sini ya. Kata dokter kandungan kamu lemah, jadi harus bedrest." Mami Maria tak beranjak sedikit pun dari ruangan. Rasya juga ada di sana. Membuat Ruma tidak leluasa bergerak dan merasa semakin tertekan. Pikirannya terus mencari cara agar bisa keluar dari rumah sakit itu. Sementara Raja diam-diam kembali ke rumah sakit di mana Ruma masih dirawat. Dia tidak bisa masuk mengingat di ruangan itu ada Rasya dan juga ibunya. Dia tidak mempunyai cukup kuat alasan hanya sekedar menjenguknya. Walaupun hatinya sangat ingin melihat keadaan Ruma. Dia menahan diri untuk itu semua. Setelah Berkutat dengan pikirannya sendiri dan menunggu waktu yang cukup lama. Pria itu pun memutuskan pulang untuk mencari solusi. Raja pulang ke rumah kedua orang tuanya. "Raja, apa yang terjadi? Kenapa kamu begitu sedih Nak?" tanya Ummi Marsya melihat putranya pulang dengan wajah mendung. Tidak biasanya putra sulungnya demikian. Masalah seberat apa pun, dia selalu akan berkata, 'R
Ruma gelisah di tempat tidur. Kepikiran tentang perkataan Rasya yang ingin melenyapkan Kehamilannya. "Kenapa belum tidur, ini kan sudah cukup larut?" tanya Rasya mendekati ranjang. Mami Maria sendiri terlihat sudah lelap di sofa tunggu. "Ini mau tidur," jawab Ruma sembari mengalihkan pandangan. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah yang rumit ini. Lama-lama Ruma benar-benar bisa stress banyak tekanan begini. "Duh ... perutku sakit," batin Ruma memeluk dirinya sendiri. Dia mencoba terlelap sebisa mungkin walau diselimuti rasa tidak nyaman. Wanita itu baru menemukan ide yang cukup beresiko dan akan merealisasikan besok pagi. Dia tidak bisa membiarkan Rasya membawanya dalam keadaan tubuhnya tak berdaya begini. Ruma benar-benar takut kalau Rasya nekat menyakiti calon anaknya. Keesokan paginya, tepat detik-detik dokter akan menjalani visit pagi ke ruangannya. Ruma menjerit kesakitan. Perempuan itu membuat Rasya dan ibu mertuanya kaget. "Ruma, kamu kenapa?" ta