Raja yang hampir mengatakan sesuatu pun urung ikut melihat siapa gerangan yang melakukan panggilan di handphonenya. Dia terdiam tanpa berani mengatakan apa pun. Hak Ruma sepenuhnya untuk mrngabari suaminya dan Raja harus menyadari itu. Pria itu mengamati Ruma yang diam saja menatap layar ponselnya sampai panggilan itu berakhir. Ruma sengaja mengecilkan volume deringnya agar tidak berisik. "Kenapa tidak diangkat, bukankah Rasya yang menelpon?" Ruma langsung melirik dingin. Seolah tidak suka dengan ucapannya. "Dokter mengintip? Dia lebih suka kalau aku tidak mengangkatnya," jawab Ruma benar-benar kesal. Bagaimana bisa Rasya setega itu menurunkan dirinya di jalan tanpa tanggung jawab. Hampir saja dia mengalami pelecehan dari pria asing lagi. Apakah dirinya tak seberharga ini menjadi perempuan, sampai harus terdampar dengan keadaan yang lagi-lagi hampir membuat kehormatannya koyak. Rasanya dada itu sesak sendiri mengingat tadi. "Jangan terlalu dipikirkan, beberapa hari ke depan kam
"Ruma!" pekik Raja mendekat."Kamu tuh masih lemes, jangan bikin orang khawatir," omel pria itu nampak khawatir."Hehe ... iya, sepertinya aku butuh suster," ucap Ruma sadar betul tidak mungkin meminta tolong dengan pria di depannya yang jelas peduli, tetapi cukup jaga jarak."Duduk dulu, masih tahan kan?""Tahan apa? Maksudku, aku hanya perlu berjalan pelan, insya Allah akan sampai.""Bisa nggak bikin orang khawatir, aku panggil suster sebentar," ujar pria itu berjalan cepat keluar. Tak berselang lama, suster datang membantunya. Sementara Raja menunggu di ruangan yang sama."Mari biar kubantu," kata suster tersebut memapahnya sampai di depan pintu masuk kamar mandi. "Terima kasih, sampai di sini saja Sus," ucap Ruma merasa tak enak hati. Kenapa dia merasa jadi payah dan cukup menyusahkan.Suster itu mengangguk dengan ramah, lalu keluar dengan hati bertanya-tanya. Mungkin tengah menilai seseorang di ruangan itu kenapa sampai memanggilnya. Kenapa tidak pria itu saja yang membantunya.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Rasya langsung masuk mendorong pintunya lebih lebar. Menerabas Raja di depannya. Pria itu langsung bertemu tatap dengan istrinya yang sekarang tengah terbaring lemah di rumah sakit. "Aku menemukan Ruma pingsan di jalan, lalu aku bawa ke rumah sakit. Kenapa dia bisa berjalan sendirian di luar malam-malam.""Bukan urusanmu, Raja. Dan seharusnya kamu memberitahuku tentang keberadaan Ruma semalam. Apakah kamu sengaja menutupi ini semua dariku? Apakah semalaman kamu ada di sini?" "Bukankah dia pulang bersamamu? Istrimu sedang hamil, seharusnya kamu menjaganya dengan baik." Raja tidak menjawab perihal keberadaannya semalam, melainkan dia memberikan pertanyaan mematikan lain. Dia juga gregetan sendiri dan kepingin tahu kenapa Ruma bisa terlunta-lunta di jalanan. "Untuk apa kamu ke sini?" tanya Ruma dingin. Merutuki pertemuan hari ini yang begitu mengusik hatinya. Ruma benar malas dan kesal luar biasa dengan Rasya. "Tentu saja aku mengkhawatirkanmu, ke mana s
"Rum, malam ini mami temani kamu di sini ya. Kata dokter kandungan kamu lemah, jadi harus bedrest." Mami Maria tak beranjak sedikit pun dari ruangan. Rasya juga ada di sana. Membuat Ruma tidak leluasa bergerak dan merasa semakin tertekan. Pikirannya terus mencari cara agar bisa keluar dari rumah sakit itu. Sementara Raja diam-diam kembali ke rumah sakit di mana Ruma masih dirawat. Dia tidak bisa masuk mengingat di ruangan itu ada Rasya dan juga ibunya. Dia tidak mempunyai cukup kuat alasan hanya sekedar menjenguknya. Walaupun hatinya sangat ingin melihat keadaan Ruma. Dia menahan diri untuk itu semua. Setelah Berkutat dengan pikirannya sendiri dan menunggu waktu yang cukup lama. Pria itu pun memutuskan pulang untuk mencari solusi. Raja pulang ke rumah kedua orang tuanya. "Raja, apa yang terjadi? Kenapa kamu begitu sedih Nak?" tanya Ummi Marsya melihat putranya pulang dengan wajah mendung. Tidak biasanya putra sulungnya demikian. Masalah seberat apa pun, dia selalu akan berkata, 'R
Ruma gelisah di tempat tidur. Kepikiran tentang perkataan Rasya yang ingin melenyapkan Kehamilannya. "Kenapa belum tidur, ini kan sudah cukup larut?" tanya Rasya mendekati ranjang. Mami Maria sendiri terlihat sudah lelap di sofa tunggu. "Ini mau tidur," jawab Ruma sembari mengalihkan pandangan. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah yang rumit ini. Lama-lama Ruma benar-benar bisa stress banyak tekanan begini. "Duh ... perutku sakit," batin Ruma memeluk dirinya sendiri. Dia mencoba terlelap sebisa mungkin walau diselimuti rasa tidak nyaman. Wanita itu baru menemukan ide yang cukup beresiko dan akan merealisasikan besok pagi. Dia tidak bisa membiarkan Rasya membawanya dalam keadaan tubuhnya tak berdaya begini. Ruma benar-benar takut kalau Rasya nekat menyakiti calon anaknya. Keesokan paginya, tepat detik-detik dokter akan menjalani visit pagi ke ruangannya. Ruma menjerit kesakitan. Perempuan itu membuat Rasya dan ibu mertuanya kaget. "Ruma, kamu kenapa?" ta
Raja bergegas ke rumah sakit. Dia menenangkan dirinya sepanjang perjalanan ke sana. Tak lupa membawakan buah tangan sebagai pengantar menjenguk orang.Pria itu tak langsung masuk. Tidak ingin membuatnya kaget karena terlalu tiba-tiba. Terlebih tengah dalam suasana duka. "Maaf Bu, bolehkah saya menjenguk Ruma. Saya Raja, sahabat Rasya sekaligus Dokter pembimbing Ruma, di rumah sakit," kata Raja mendekati Nyonya Maria. Dia tidak ingin kedatangannya membuat orang salah paham. "Dokter Raja, ya, Ruma sedang berduka. Tolong jangan bahas apa pun tentang kehamilannya.""Baik Bu, Raja paham. Terima kasih," ucap pria itu lalu masuk dengan salam. Ruma yang tengah tidur di bed langsung menoleh ke arah pintu begitu ada yang membukanya. Agak kaget ketika melihat Dokter Raja yang datang. "Rum, bagaimana keadaanmu?" tanya Raja sembari menaruh keranjang buah di makassar. "Lebih baik daripada kemarin, Dok. Dokter kenapa ke sini?" tanya Ruma takut pertemuan mereka membuat keadaan makin rumit. "Aku
Setelah Mami Maria pamit, Ruma langsung pindah ke kamarnya. Beruntung mertuanya itu tidak jadi menginap. Ruma sudah waswas sendiri menyiapkan alasan apalagi. Dia capek harus pura-pura bahagia setiap hari."Rum, pindah ke kamar, kamu masih perlu pantauan. Bagaimana kalau butuh sesuatu." Rasya mendatangi kamarnya."Tidak usah khawatir Mas, aku bisa sendiri kok," jawab Ruma tenang. Kondisinya jauh lebih baik walaupun kemarin calon anaknya sempat rewel. Namun, dia tidak bisa menjamin jika dekat dengan pria itu.Diam-diam Ruma tengah menyiapkan rencana untuk hidupnya sendiri. Dia tidak ingin terjebak lagi dengan pernikahan toxic ini. Terlebih, Rasya memang tidak pernah mencintainya."Aku mengkhawatirkanmu, kenapa kamu bisa sesantai ini. Kamu itu baru saja keguguran. Harus banyak istirahat yang tenang.""Terima kasih perhatiannya, Mas, bisa kah tolong tinggalkan kamar ini. Aku mau istirahat," pinta Ruma diam-diam mengusir secara halus."Oke, baiklah ... selama kamu masih masa pemulihan, aku
Ruma sadar akan kesalahannya, dia mencoba menahan diri, tetapi namanya juga mual mana bisa dicegah. "Dokter jangan dekat-dekat, aku ... huek! Huek!" Ruma beranjak dari kursi menuju wasbak di ruangan itu. Dia tidak bisa menahan gejolak "Ruma!" Pria itu tertegun sejenak. Dia mendapati sesuatu yang aneh pada diri perempuan itu. Bukankah itu sebuah pertanda kehamilan? Walau tidak bisa dipastikan juga. "Ruma masih mual-mual, apa jangan-jangan dia hamil kembar, satu gugur tapi satu masih bertahan," batin Raja menduga-duga. "Rum!" Pria itu mendekatinya pelan. Takut praduganya benar dan membuatnya sensitif. "Dokter sana! Ya Allah ... jangan dekat-dekat!" katanya tak wajar. Semakin membuat Raja kebingungan. Namun, insting sebagai seorang dokter tidak bisa diakali. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. "Kamu mual karena parfum aku?" tanya pria itu lagi memastikan. Dia mundur lebih memberi jarak. Berharap kondisi Ruma lebih tenang sekarang. Pria itu menyodorkan beberapa lembar tisu ke ara