Selepas liburan satu minggu sebagai pergantian semester, sekolah mulai mengadakan penggalangan Dana. Banyak yang ingin menjadi panitia, namun seleksinya tak pernah mudah, karena ketat dan banyak tahapannya.
Matari baru tahu kalau Pipit menjadi salah satu yang lolos menjadi panitia Penggalangan Dana Kemanusiaan di sekolah mereka. Saat itu terjadi banjir di beberapa daerah di Jakarta karena curah hujan yang cukup besar. Bahkan beberapa siswa di sekolah mereka terpaksa tidak masuk karena harus mengungsi.
Sekolah Matari akhirnya memutuskan untuk membentuk Panitia Penggalangan Dana Kemanusiaan yang nantinya akan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, terutama bagi siswa-siswi yang terkena dampak secara langsung.
Matari meletakkan sekotak kardus pakaian pantas pakai ke meja panitia. Di sana, Pipit dan Sora, teman segeng Praja masa SMP dulu, duduk berjaga.
“Eh, Matari, sendirian aja?” tanya Pipit menyapa.
“Iya nih. Ini dari gue dan S
Sebagai petugas jaga hari itu, kepopuleran Pipit dan Sora semakin meluas. Ya siapa sih nggak tertarik sama dua cewek cantik yang sama-sama masih jomblo dan ramah pada siapapun?Praja dan Beno bahkan rela bolak-balik seharian demi bisa bersama mereka entah membelikan makanan, minuman sampai cuma nongkrong menemani. Hal itu karena memang sudah lama Praja suka pada Pipit dan Beno suka pada Sora. Baik Pipit dan Sora sudah lama tahu soal perasaan mereka ini. Namun, keduanya pun kompak menolak mereka dengan alasan persahabatan.Selepas kepergian Praja dan Beno karena ditarik oleh Hafis yang ingin ditemani jajan, Davi dan Pito yang baru saja sampai di meja pengumpulan sumbangan, kaget, mereka telah ada di antrian ke-5. Lebih kaget lagi saat menyadari di belakang mereka, sudah banyak yang mengantri. Semuanya didominasi oleh siswa laki-laki dari berbagai angkatan.Saat gilirannya tiba, Davi memberikan dua mie instan di atas meja dengan hati-hati sambil menyapa mereka.
“Oke, biar cepet, saya bagi langsung ya! Pokoknya baris 1 dan baris 2, baris 3 dan 4, begitu seterusnya. Intinya per 2 meja depan belakang. Mengerti?” seru Bu Cita, guru Bahasa Indonesia dengan tegas. “Langsung duduk dekat dengan kelompok masing-masing, saya pilihkan topik, kalian bahas dalam satu lembar folio.”Ayla melambaikan tangan dengan wajah sedih pada Matari. Kali ini mereka tak sekelompok. Ayla dan Dinda harus bergabung dengan meja di depan mereka. Sedangkan Matari dan Praja, tentu saja bersama Beno dan Hafis.Bu Cita berkeliling membagikan kertas-kertas kecil berisi topik yang akan dibahas masing-masing kelompok. Kelompok Matari mendapatkan topik mengenai wacana busway. Tahun 2003, busway masih menjadi rencana pembangunan, belum tersinkronisasi dan melayani banyak rute seperti sekarang.Saat mengerjakan topik itu, Matari baru menyadari bahwa Hafis adalah anak yang sangat cerdas. Pengetahuannya luar biasa tentang berita dalam neg
Praja seharian banyak diam. Matari tahu, pemandangan antara Davi dan Pipit tadi sebenarnya pasti sedikit mempengaruhi cowok itu. Sebenarnya Matari juga. Tapi dia sama sekali belum ingin percaya bahwa Davi dan Pipit ternyata bisa sedekat itu. Entah sejak kapan.Mengenal Davi, bukan hanya sehari dua hari. Matari tahu, Davi adalah cowok yang mudah tertarik pada cewek yang menurutnya menarik. Yah, rata-rata cowok memang seperti itu kan. Hanya saja, Davi nggak akan tanggung-tanggung, dia akan cari cara untuk mendekat ke si cewek dengan cara apapun. Dan lagi dia mudah terdistraksi dengan mudah. Hal itu pulalah yang membuat mereka putus dulu.Tak berhasil dengan Ayla, rupanya, Davi begitu cepat berpindah ke lain hati. Sifat dan sikap royalnya memang mampu dengan mudah membuat cewek manapun bersimpatik padanya, meskipun cuma sebatas teman. Meskipun Matari yakin, Davi punya tujuan lain selain hanya berteman.Matari merasa dia senasib dengan Praja di beberapa hal. Sayangn
Menjelang ulang tahunnya yang ke-16, Matari tak banyak menginginkan apapun. Dia sempat meminta sepatu baru pada Ayahnya, namun, dia tahu, keinginannya bisa saja baru akan terwujud beberapa saat kemudian.Di keluarganya, Matari sudah terbiasa untuk menunggu jika menginginkan sesuatu. Jika pun terburu-buru, dia harus mengusahakannya sendiri dengan cara yang benar.Ulang tahun Matari akan jatuh di hari Sabtu. Itu tandanya, dia berada di rumah. Dia merasa beruntung, tak harus bertemu dengan teman-temannya. Tak mungkin Matari tak mentraktir mereka sesuatu.Praja saja yang uang sakunya pas-pasan juga beberapa kali membelikannya es milo. Hafis dan Beno jangan ditanya, kadang, mereka membawa sisa makanan pesta di rumah mereka yang melimpah ruah, untuk dibagi-bagikan ke teman sekelas.Dinda? Gadis itu beruntung meskipun mereka sama-sama single parent. Ibunya jago memasak, jadi saat ulangtahun beberapaa saat lalu, Dinda membagikan nasi kuning kotakan ke selur
Dinda dan Ayla muncul dengan kue di tangan mereka di pintu rumah Matari. Setelah berteriak heboh “supriseeee!” mereka menyuruh Matari untuk meniup lilin.“Di teras aja ya, Eyang gue lagi istirahat. Kalian mau minum?” ujar Matari.“Boleh!” sahut Ayla yang merasa kehausan membawa motor dari rumahnya dengan Dinda yang membonceng sambil membawa kue untuk Matari.Matari mempersiapkan teko beirisi air putih dingin dan gelas kosong 3 buah. Tepat saat itu Mbok Kalis muncul. Dengan sigap, dia langsung membantu majikan ciliknya membawakan minuman ke teras rumah.Matari sebenarnya ingin mengobrol dengan Mbok Kalis tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Eyang Putri dan dirinya. Namun, selalu tak pernah sempat atau kelupaan. Bahkan saat itu, Matari akhirnya cuma bisa bilang makasih pada Mbok Kalis saja. Wanita berusia lanjut itu segera masuk ke dalam rumah lagi dan mempersiapkan obat-obatan yang akan diminum oleh Eyang
Di hari Senin, Ayla tak masuk sekolah karena dia harus medical check up. Sebuah rutinitas tahunan yang selalu dijalankan oleh seluruh anggota keluarganya. Nggak tanggung-tanggung, medical check-upnya selalu dilakukan di Singapura. Hal itu diungkapkan oleh Dinda, saat Praja bertanya Ayla alasannya.“Lo nggak bawa boneka dari kita-kita, Ri?” tanya Beno sambil mencolek Matari dari belakang.“Gila lo ya, buat apaan gue bawa-bawa boneka?” ujar Matari.“Yaaa buat nemenin lo waktu upacara tadi juga bisa,” sahut Beno garing.“Apaan sih lo? Betah amat gue duduk depan lo gini?” timpal Matari.“Ya berarti lo udah gila, sama kaya kita bertiga, hehehe,” sahut Hafis sambil tertawa.“Ehhhh, apa nih? Nyala-nyala begini? Kaya anak SD lo!” kata Praja saat melihat HP Matari yang menyala-nyala LED-nya.“Ih, apa sih? Rese lo!” seru Matari sambil mengecek
Keesokan harinya, Ayla masih belum masuk sekolah. Kata Dinda sih, seharusnya dia sudah pulang dari Singapura. Katanya lagi, biasanya kalau medical check up cuma one day trip aja alias pagi pergi, malam hari juga udah sampai di Jakarta. Tapi, mungkin karena masih capek, Ayla memutuskan untuk istirahat di rumah.Pelajaran molekul-molekul kimia, selalu membuat Matari buntu. Dia tak yakin, nilai rapornya akan membaik semester ini. Semester lalu dia tak mendapatkan rangking sama sekali. Berbeda saat SMP, dia selalu mendapat peringkat 3 besar, kali ini saat SMA, mendapat rangking 10 saja susahnya bukan main.Dia harus puas di rangking 13, menyusul Hafis di bawahnya. Beno dan Praja masing-masing ada di rangking 20 dan 21. Sedangkan Dinda, tak lebih baik. Dia berada di rangking 25. Untuk Ayla, dia paling terbawah di antara teman-temannya.Dia berada di peringkat ke 34 dari 40 siswa. Hal yang tak membanggakan memang, tapi nyatanya Ayla tak mempermasalah
Matari melihat-lihat beberapa buku Kimia yang menarik kemudian mengambilnya dari rak. Dibawanya 3 buah buku itu dan kemudian duduk di salah satu sudut terdalam di perpustakaan yang sepi.Bagian lain perpustakaan, terutama bagian tempat baca area depan, ramai oleh siswa-siswi lain yang tampaknya mengisi jam istirahat sekaligus jam kosong mereka seperti Matari.Hera ikut-ikut mengambil buku secara asal dan duduk di depan Matari. Sebenarnya, Matari risih bukan karena Hera pasti akan menanyakan soal Davi padanya.Tapi, selama mengenal Hera, gadis itu selalu bersikap sok imut dan kekanak-kanakan. Sangat kontras dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar. Nggak cocok sama sekali.Dari situ, Matari bisa menilai kalau sikap itu hanya buatan saja. Image yang dibangunnya entah untuk tujuan apa.“Ri, kalau sambil ngobrol boleh nggak?” tanya Hera dengan suara yang dibuat-buat seperti anak kecil merengek sesuatu.“Boleh, tapi gue