Setiap kandidat memiliki waktu kurang lebih 15 menit untuk menyampaikan visi misi mereka jika berhasil menduduki Ketua Osis kelak. Menurut Matari, visi misi mereka terdengar standar, hanya berbeda cara penyampaian saja.
Dari semua kandidat, orasi adalah salah satu bentuk keefektifan mereka untuk mendekatkan diri kepada para pemungut suara. Tapi bagi Matari, setelah ketiganya berpidato, cuma orasi Farah yang cukup mengena di hatinya.
“Baik, terimakasih adik-adik calon ketua Osis masa bakti 2004-2005, sebelum ke acara inti, yaitu pemungutan suara, saya memberi kesempatan bagi siswa-siswi di sini yang ingin memberikan pertanyaan terkait visi misi ketiganya. Saya berikan 3 kesempatan ya. Siapapun boleh,” kata Kak Ikhsan, ketua Osis lama sambil menatap seluruh audience.
Sesuai yang direncanakan dan kesepakatan sebelumnya, hampir seluruh siswa-siswi yang masuk di dalam daftar yang Matari buat, harus mau mengacungkan jari. Siapapun di antara mereka
Karena beratnya pertanyaan yang diajukan Matari, Kak Ikhsan sepakat untuk memberikan waktu bagi 2 penanya lain yang akan bertanya di luar konteks kasus yang Matari kemukakan. Setelah semua pertanyaan diajukan, baru para calon kandidat akan menjawab sesuai dengan versi masing-masing.Matari dan teman-temannya tak masalah, yang penting, keluh kesahnya selama di kelas barunya bisa terselesaikan dengan baik.Setelah menunggu 15 menit, para kandidat mulai memberikan saran mereka masing-masing. Namun, untuk kasus Matari, karena sangat pelik, mereka sepakat akan menjelaskannya di sesi terakhir dengan didampingi guru mapel dan guru BK kelas 11 yang sudah siap memberikan informasi yang relevan.Dua pertanyaan dari penanya lain telah dijawab dengan baik oleh masing-masing kandidat. Bagi Matari, melihat mereka menjelaskan masing-masing pertanyaan, membuat dia tahu, semua kandidat sama baiknya.Memey yang selalu terlihat lebih arogan, semangatnya kuat. Matari yakin,
Matari sedang tidur-tiduran di kamarnya saat Malam Minggu datang. Sandra sudah bersiap pergi bersama Chakra untuk ke rumah breeder kucing ras. Entah dapat ide darimana, mereka memutuskan untuk memelihara kucing bersama.Di tempat Matari sendiri kucing lokal liar sering datang dan pergi. Karena rumahnya ada di daerah perumahan, kucing-kucing itu selalu tampak bersih. Mereka bisa minta makan ke rumah manapun yang mereka mau. Di rumah Eyang ini, mereka pun disambut dengan tangan terbuka.Mbok Kalis, ART rumah mereka, akan selalu memberikan sisa makanan yang ada di rumah untuk mereka makan. Jadi, kucing bukan hal yang dilarang di rumah Matari.Rumah akan semakin terasa sepi dengan kepergian Sandra. Tante Dina sedang ada pelatihan ke luar kota dan baru pulang besok. Ayahnya, juga sama, tak datang hari ini. Ada lemburan pekerjaan yang harus dikerjakan bersama-sama dengan karyawan lain untuk dipresentasikan di hari Senin berikutnya.Bulan sedang sibuk dengan keg
“Gue mau main aja,” kata Arai.Matari mengernyitkan dahi. “Main?”Arai mengangguk. “Geng gue lagi pada sibuk. Choki, doi lagi sibuk belajar tobat.”“Kaya aneh aja lo tiba-tiba dateng ke sini. Dulu aja lo susah bener disuruh ke sini buat apel.”“Iya, gue tahu. Tapi kan kita sekarang jadi temen sekelas.”Matari terdiam. Tampang Arai terlihat sedih dan mungkin menyesal. Entah menyesal karena kita satu kelas atau bagaimana, Matari tak yakin. Namun, ucapan Arai berikutnya, cukup mengagetkan Matari.“Gue nggak sadar, kalo lo ngerasa dibully sama kata-kata yang sering gue ucapin di kelas. Jujur aja, gue nggak ada niat ngebully elo. Tapi pas gue share sama Choki, kata dia emang itu udah bisa ke arah sana sih. Pas lo kemarin ngomong di depan semua orang, meskipun ya emang nggak nyebut nama gue, temen-temen gue langsung pada ngasih nasehat yang kurang lebih sama. Gue harusnya minta maaf
Matari hendak membayar roti yang dibelinya ketika dia melihat Choki dan petugas kantin sedikit bersitegang.“Duit kamu nih sobek! Kamu jangan-jangan emang sengaja ya, Mas?” sahut si petugas kantin yang biasa dipanggil Bude Utami.“Sumpah, Bu, enggak,” jawab Choki.“Aku udah hapalin kamu, Mas. Kamu suka bayar nggak sesuai sama yang dipesan. Kalo nggak punya duit mah nggak usah banyak gaya, Mas,” tandas Bude Utami tegas.Saat itu, cuma ada murid dari kelas Matari yang duduk di kantin, karena mapel Olahraga yang selesai lebih awal. Itupun rata-rata siswi perempuan yang ada. Siswa lain banyak yang masih main bola menghabiskan waktu sebelum jam pelajaran berakhir.“Bude, biar dia sama saya, habis berapa dia?” tanya Matari menengahi pembicaraan itu.“Kurang 10 ribu, Mbak,” kata Bude Utami.Matari menyerahkan selembar 10ribuan, sisa uang saku satu-satunya hari itu.“Mak
Matari selesai bercerita bagaimana dia tahu soal Erlin. Arai tak bisa mengelak. Apalagi cerita itu keluar dari mulut seorang Choki. Namun, Arai tak bisa marah pada siapapun. Dialah yang memulai semua ini.“Nggak papa Rai, gue udah ikhlas lama,” kata Matari sedikit berbohong, menyadari wajah Arai yang berubah.Bagaimana bisa ikhlas sepenuhnya, entah Davi, entah Arai, berpaling karena cewek lain.Awalnya, Matari merasa, mungkin dia yang banyak kekurangan di sana-sini. Dia yang tak bisa seenaknya pergi ke mana saja dengan pacarnya dan membanggakannya di depan keluarganya. Dia yang punya keluarga straight.Namun, dia tahu, dia tak pernah sepenuhnya salah. Dia saja yang belum menemukan orang yang tepat. Hanya Rocky, mantan pacarnya yang baik-baik saja. Sayangnya hubungan itu juga kandas setelah satu bulan lamanya. Itu pun karena Matari sama sekali tak ada rasa.“Gue ngerasa nggak enak sama lo,” kata Arai. “Maafin g
Setelah laporan Matari mencuat, guru-guru bertindak cepat. Mungkin karena tahun ajaran baru masih berlangsung belum genap 2 bulan. Tentu saja, yang dipanggil pertama, adalah Matari.Saat Matari datang, hanya tampak guru-guru BK yang duduk di hadapannya. Tak ada tanda-tanda Kepala Sekolah sampai wali kelas mereka sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Dari situ Matari bisa menilai, bahwa laporannya hanya akan diselesaikan oleh mereka, tanpa campur tangan petinggi-petinggi sekolah satupun.Bu Karlina, duduk paling tengah, diapit oleh Bu Dian dan Bu Raras. Ruang BK telah diatur sedemikian rupa, sehingga, di hadapan mereka, sekarang ada beberapa baris kursi. Tak banyak, Matari pikir, karena banyaknya siswa yang protes, akan dibagi dalam beberapa kloter.Sebagai awalan, Matari saja yang dipanggil. Dia duduk sendirian, seperti disidang oleh tiga guru senior bersama-sama. Mata-mata mereka tajam, seperti siap mengadili Matari.“Langsung kita mulai saja ya, Mata
Matari kembali ke kelas dengan perasaan campur aduk. Di kelas, teman-temannya sudah penasaran, bagaimana kelanjutan dari permintaan siswa-siswi yang dipimpin oleh Matari itu. Namun, melihat raut wajah Matari yang tak terlalu bahagia, membuat para siswa di kelasnya bisa menebak-nebak.Arai semakin merasa tak enak. Kemungkinan besar semuanya gagal disetujui. Namun karena dia sudah tak pernah mengganggu Matari, semuanya terasa sedikit melegakan. Tetap di kelas ini juga sepertinya bukan masalah besar.Matari mengirimkan SMS pada Arai.Matari: Rai, nanti kita bakalan dipanggil berdua, karena kasus celotehanlo tempo hari. Siap aja ya.Arai membaca SMS itu berulang kali. Namun dia tak banyak bertanya dan hanya mengacungkan jempol pada Matari dari jauh.*************************Meskipun berita penolakan dari pihak sekolah sudah tersebar dari mulut ke mulut dengan cepat, para murid tampaknya hanya bisa pasrah. Terlebih guru BK sudah bersiap
Seminggu berlalu dengan cepat, para siswa-siswi yang dikumpulkan Matari telah dipanggil satu per satu ke ruang BK dan dicarikan solusi terbaik oleh para guru BK. Ada yang merasa puas, ada pula yang kecewa dengan keputusan akhir.Namun, mereka tak bisa menyalahkan Matari. Meskipun gagal berpindah kelas, paling tidak, alasan yang cukup masuk akal telah dijelaskan oleh para guru BK.“Lo udah ngumpulin formulir karyawisata sama ekskul belum?” tanya Yana, yang sikapnya sudah berubah sejak beberapa hari yang lalu. “Maksimal besok ya, pesennya si Dafa buat lo. Lo dikasih tenggat waktu karena kelompok lo kemarin.”Matari mendengus. Karyawisata? Ekskul? Ya Tuhan...“Karyawisata bisa dicicil dari sekarang. Berangkat sebelum akhir tahun kelas 11. Jadi nggak berat-berat amat. Ke Bali lho!” kata Yana.Matari tak menanggapi perihal ke Bali itu. Dia tahu Ayahnya bisa saja menolak pergi. Biayanya sangat mahal pasti.&ldqu
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”