Seminggu berlalu dengan cepat, para siswa-siswi yang dikumpulkan Matari telah dipanggil satu per satu ke ruang BK dan dicarikan solusi terbaik oleh para guru BK. Ada yang merasa puas, ada pula yang kecewa dengan keputusan akhir.
Namun, mereka tak bisa menyalahkan Matari. Meskipun gagal berpindah kelas, paling tidak, alasan yang cukup masuk akal telah dijelaskan oleh para guru BK.
“Lo udah ngumpulin formulir karyawisata sama ekskul belum?” tanya Yana, yang sikapnya sudah berubah sejak beberapa hari yang lalu. “Maksimal besok ya, pesennya si Dafa buat lo. Lo dikasih tenggat waktu karena kelompok lo kemarin.”
Matari mendengus. Karyawisata? Ekskul? Ya Tuhan...
“Karyawisata bisa dicicil dari sekarang. Berangkat sebelum akhir tahun kelas 11. Jadi nggak berat-berat amat. Ke Bali lho!” kata Yana.
Matari tak menanggapi perihal ke Bali itu. Dia tahu Ayahnya bisa saja menolak pergi. Biayanya sangat mahal pasti.
&ldqu
Malam Minggu itu, keluarganya lengkap. Namun, Arai sama sekali tak gentar untuk tetap datang ke rumah Matari. Sandra meledek habis-habisan sebelum dia pergi kencan bersama Chakra. Bahkan, Arai menyapa Ayah Matari, Tante Dina, Kak Bulan dengan sikap ramah yang berlebihan.“Kalo sekarang kan status kita temen, jadinya gue pede aja,” kata Arai sambil tertawa saat Matari ikut meledek kedatangan Arai.“Lo nggak ngapel Mbak Erlin?” tanya Matari.“Enggak. Erlin kalo malem minggu suka pergi sama temen-temennya.”“Kapan lo mau nembak? Kata Choki udah lama PDKT kan?”“Hmmm. Belum tahu. Gue masih maju mundur. Btw, menurut lo cewek ngerokok gimana?”“Gimana apanya nih maksudnya?”“Ya pandangan lo soal itu.”“Nggak tahu, Rai. Sekitar gue nggak ada.”“Ya misal kalo ada, gitu.”“Ya nggak gimana-gimana, Rai. Hak orang
Matari mampir ke kelas 11 IPS 1, tempat Ayla, Three Musketeers hingga Adeline sedang duduk-duduk santai di depan kelas. Mereka sedang membahas karyawisata ke Bali, yang masih sangat lama itu. Di antara mereka ternyata ada Kian. Gadis itu selalu saja mengikuti Adeline, padahal dia selalu bilang tak mau ikut geng manapun.“Gimanaaa, lo ikut nggak ke Bali?” tanya Ayla kepo. “Ikut dooong, biar seru!”Ayla tampaknya tahu Matari sedang membawa-bawa formulir karyawisata dan ekskul ke mana-mana, makanya dia langsung bertanya pada intinya.“Elo belum kumpulin emang? Bukannya terakhir minggu lalu ya?” celetuk Praja.“Belum, gue dapet dispensasi. Lo tahu sendiri kan, gue ngurusin temen-temen yang mau pindah kelas,” jawab Matari. "Sayangnya, gue gagal."“Udahlah, Riiii, semua sia-sia aja usaha sesuatu di sekolah tuh. Guru-guru males ribet bantuin murid adaptasi, sementara murid sendiri keteteran. Tahu sendi
Matari akhirnya mengumpulkan formulir karyawisata dan ekskul ke ruang BK. Ruangan itu sekarang menjadi ruangan yang sangat familiar untuknya. Dulu, dia takut pergi ke ruang BK, karena takut diinterogasi.Apalagi diinterogasi soal keluarganya. Dia sama sekali tak suka. Keluarganya tak cukup normal untuk diberitahukan kisahnya ke para guru BK itu.Saat keluar dari ruang BK, Zacky menghampirinya. Ada Memey di sebelahnya. Matari bisa menebak, pasti mereka ingin mengajak Matari bergabung sesuai dengan informasi yang didapatkannya dari Bu Raras sebelumnya.Ruang OSIS memang dekat dengan ruang BK. Penghuni-penghuninya juga sering keluar masuk ke dua ruangan itu bergantian. Maka tak heran, Bu Raras bisa tahu kalau Zacky mengincar Matari untuk masuk ke dalam “kabinet” buatannya.“Hai, Ri. Dari ruang BK ya?” sapa Zacky ramah.“Iya, Zack, ngasih formulir karyawisata sama ekskul. Gue baru sempet. Untungnya dapet dispensasi,”
Matari baru saja menyelesaikan ekskul karatenya, saat di kejauhan alunan musik Jump Around milik House of Pain terdengar membahana di gedung serbaguna dengan volume maksimal.“Anak-anak cheerleader,” kata Sandra seakan membaca pikiran Matari, kenapa musik itu terdengar kencang tiba-tiba. “Ekskul baru, yang ngebentuk anak-anak kelas 10. Tapi anak kelas 11 banyak yang gabung juga. Nggak cowok, nggak cewek. Yang cewek nge-cheers, yang cowok nge-breakdance.”“Oh, iya, gue sempet liat pamfletnya kemarin. Banyak juga ya, yang gabung,” timpal Matari.“Anak-anak Bahasa pada join tuh, gengnya Marsha ambil ekskul itu semua. Sebenernya, ini tuh pecahannya ekskul dance, yang pada nggak suka sama gaya lead-nya Santi, temen sekelas lo waktu kelas 1 dulu. Sekarang kan dia lead-nya tuh.”Matari melihat kerumunan murid perempuan dan laki-laki yang bercampur baur di sana. Pom-pom dengan warna mentereng khas
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga