“Gue mau main aja,” kata Arai.
Matari mengernyitkan dahi. “Main?”
Arai mengangguk. “Geng gue lagi pada sibuk. Choki, doi lagi sibuk belajar tobat.”
“Kaya aneh aja lo tiba-tiba dateng ke sini. Dulu aja lo susah bener disuruh ke sini buat apel.”
“Iya, gue tahu. Tapi kan kita sekarang jadi temen sekelas.”
Matari terdiam. Tampang Arai terlihat sedih dan mungkin menyesal. Entah menyesal karena kita satu kelas atau bagaimana, Matari tak yakin. Namun, ucapan Arai berikutnya, cukup mengagetkan Matari.
“Gue nggak sadar, kalo lo ngerasa dibully sama kata-kata yang sering gue ucapin di kelas. Jujur aja, gue nggak ada niat ngebully elo. Tapi pas gue share sama Choki, kata dia emang itu udah bisa ke arah sana sih. Pas lo kemarin ngomong di depan semua orang, meskipun ya emang nggak nyebut nama gue, temen-temen gue langsung pada ngasih nasehat yang kurang lebih sama. Gue harusnya minta maaf
Matari hendak membayar roti yang dibelinya ketika dia melihat Choki dan petugas kantin sedikit bersitegang.“Duit kamu nih sobek! Kamu jangan-jangan emang sengaja ya, Mas?” sahut si petugas kantin yang biasa dipanggil Bude Utami.“Sumpah, Bu, enggak,” jawab Choki.“Aku udah hapalin kamu, Mas. Kamu suka bayar nggak sesuai sama yang dipesan. Kalo nggak punya duit mah nggak usah banyak gaya, Mas,” tandas Bude Utami tegas.Saat itu, cuma ada murid dari kelas Matari yang duduk di kantin, karena mapel Olahraga yang selesai lebih awal. Itupun rata-rata siswi perempuan yang ada. Siswa lain banyak yang masih main bola menghabiskan waktu sebelum jam pelajaran berakhir.“Bude, biar dia sama saya, habis berapa dia?” tanya Matari menengahi pembicaraan itu.“Kurang 10 ribu, Mbak,” kata Bude Utami.Matari menyerahkan selembar 10ribuan, sisa uang saku satu-satunya hari itu.“Mak
Matari selesai bercerita bagaimana dia tahu soal Erlin. Arai tak bisa mengelak. Apalagi cerita itu keluar dari mulut seorang Choki. Namun, Arai tak bisa marah pada siapapun. Dialah yang memulai semua ini.“Nggak papa Rai, gue udah ikhlas lama,” kata Matari sedikit berbohong, menyadari wajah Arai yang berubah.Bagaimana bisa ikhlas sepenuhnya, entah Davi, entah Arai, berpaling karena cewek lain.Awalnya, Matari merasa, mungkin dia yang banyak kekurangan di sana-sini. Dia yang tak bisa seenaknya pergi ke mana saja dengan pacarnya dan membanggakannya di depan keluarganya. Dia yang punya keluarga straight.Namun, dia tahu, dia tak pernah sepenuhnya salah. Dia saja yang belum menemukan orang yang tepat. Hanya Rocky, mantan pacarnya yang baik-baik saja. Sayangnya hubungan itu juga kandas setelah satu bulan lamanya. Itu pun karena Matari sama sekali tak ada rasa.“Gue ngerasa nggak enak sama lo,” kata Arai. “Maafin g
Setelah laporan Matari mencuat, guru-guru bertindak cepat. Mungkin karena tahun ajaran baru masih berlangsung belum genap 2 bulan. Tentu saja, yang dipanggil pertama, adalah Matari.Saat Matari datang, hanya tampak guru-guru BK yang duduk di hadapannya. Tak ada tanda-tanda Kepala Sekolah sampai wali kelas mereka sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Dari situ Matari bisa menilai, bahwa laporannya hanya akan diselesaikan oleh mereka, tanpa campur tangan petinggi-petinggi sekolah satupun.Bu Karlina, duduk paling tengah, diapit oleh Bu Dian dan Bu Raras. Ruang BK telah diatur sedemikian rupa, sehingga, di hadapan mereka, sekarang ada beberapa baris kursi. Tak banyak, Matari pikir, karena banyaknya siswa yang protes, akan dibagi dalam beberapa kloter.Sebagai awalan, Matari saja yang dipanggil. Dia duduk sendirian, seperti disidang oleh tiga guru senior bersama-sama. Mata-mata mereka tajam, seperti siap mengadili Matari.“Langsung kita mulai saja ya, Mata
Matari kembali ke kelas dengan perasaan campur aduk. Di kelas, teman-temannya sudah penasaran, bagaimana kelanjutan dari permintaan siswa-siswi yang dipimpin oleh Matari itu. Namun, melihat raut wajah Matari yang tak terlalu bahagia, membuat para siswa di kelasnya bisa menebak-nebak.Arai semakin merasa tak enak. Kemungkinan besar semuanya gagal disetujui. Namun karena dia sudah tak pernah mengganggu Matari, semuanya terasa sedikit melegakan. Tetap di kelas ini juga sepertinya bukan masalah besar.Matari mengirimkan SMS pada Arai.Matari: Rai, nanti kita bakalan dipanggil berdua, karena kasus celotehanlo tempo hari. Siap aja ya.Arai membaca SMS itu berulang kali. Namun dia tak banyak bertanya dan hanya mengacungkan jempol pada Matari dari jauh.*************************Meskipun berita penolakan dari pihak sekolah sudah tersebar dari mulut ke mulut dengan cepat, para murid tampaknya hanya bisa pasrah. Terlebih guru BK sudah bersiap
Seminggu berlalu dengan cepat, para siswa-siswi yang dikumpulkan Matari telah dipanggil satu per satu ke ruang BK dan dicarikan solusi terbaik oleh para guru BK. Ada yang merasa puas, ada pula yang kecewa dengan keputusan akhir.Namun, mereka tak bisa menyalahkan Matari. Meskipun gagal berpindah kelas, paling tidak, alasan yang cukup masuk akal telah dijelaskan oleh para guru BK.“Lo udah ngumpulin formulir karyawisata sama ekskul belum?” tanya Yana, yang sikapnya sudah berubah sejak beberapa hari yang lalu. “Maksimal besok ya, pesennya si Dafa buat lo. Lo dikasih tenggat waktu karena kelompok lo kemarin.”Matari mendengus. Karyawisata? Ekskul? Ya Tuhan...“Karyawisata bisa dicicil dari sekarang. Berangkat sebelum akhir tahun kelas 11. Jadi nggak berat-berat amat. Ke Bali lho!” kata Yana.Matari tak menanggapi perihal ke Bali itu. Dia tahu Ayahnya bisa saja menolak pergi. Biayanya sangat mahal pasti.&ldqu
Malam Minggu itu, keluarganya lengkap. Namun, Arai sama sekali tak gentar untuk tetap datang ke rumah Matari. Sandra meledek habis-habisan sebelum dia pergi kencan bersama Chakra. Bahkan, Arai menyapa Ayah Matari, Tante Dina, Kak Bulan dengan sikap ramah yang berlebihan.“Kalo sekarang kan status kita temen, jadinya gue pede aja,” kata Arai sambil tertawa saat Matari ikut meledek kedatangan Arai.“Lo nggak ngapel Mbak Erlin?” tanya Matari.“Enggak. Erlin kalo malem minggu suka pergi sama temen-temennya.”“Kapan lo mau nembak? Kata Choki udah lama PDKT kan?”“Hmmm. Belum tahu. Gue masih maju mundur. Btw, menurut lo cewek ngerokok gimana?”“Gimana apanya nih maksudnya?”“Ya pandangan lo soal itu.”“Nggak tahu, Rai. Sekitar gue nggak ada.”“Ya misal kalo ada, gitu.”“Ya nggak gimana-gimana, Rai. Hak orang
Matari mampir ke kelas 11 IPS 1, tempat Ayla, Three Musketeers hingga Adeline sedang duduk-duduk santai di depan kelas. Mereka sedang membahas karyawisata ke Bali, yang masih sangat lama itu. Di antara mereka ternyata ada Kian. Gadis itu selalu saja mengikuti Adeline, padahal dia selalu bilang tak mau ikut geng manapun.“Gimanaaa, lo ikut nggak ke Bali?” tanya Ayla kepo. “Ikut dooong, biar seru!”Ayla tampaknya tahu Matari sedang membawa-bawa formulir karyawisata dan ekskul ke mana-mana, makanya dia langsung bertanya pada intinya.“Elo belum kumpulin emang? Bukannya terakhir minggu lalu ya?” celetuk Praja.“Belum, gue dapet dispensasi. Lo tahu sendiri kan, gue ngurusin temen-temen yang mau pindah kelas,” jawab Matari. "Sayangnya, gue gagal."“Udahlah, Riiii, semua sia-sia aja usaha sesuatu di sekolah tuh. Guru-guru males ribet bantuin murid adaptasi, sementara murid sendiri keteteran. Tahu sendi
Matari akhirnya mengumpulkan formulir karyawisata dan ekskul ke ruang BK. Ruangan itu sekarang menjadi ruangan yang sangat familiar untuknya. Dulu, dia takut pergi ke ruang BK, karena takut diinterogasi.Apalagi diinterogasi soal keluarganya. Dia sama sekali tak suka. Keluarganya tak cukup normal untuk diberitahukan kisahnya ke para guru BK itu.Saat keluar dari ruang BK, Zacky menghampirinya. Ada Memey di sebelahnya. Matari bisa menebak, pasti mereka ingin mengajak Matari bergabung sesuai dengan informasi yang didapatkannya dari Bu Raras sebelumnya.Ruang OSIS memang dekat dengan ruang BK. Penghuni-penghuninya juga sering keluar masuk ke dua ruangan itu bergantian. Maka tak heran, Bu Raras bisa tahu kalau Zacky mengincar Matari untuk masuk ke dalam “kabinet” buatannya.“Hai, Ri. Dari ruang BK ya?” sapa Zacky ramah.“Iya, Zack, ngasih formulir karyawisata sama ekskul. Gue baru sempet. Untungnya dapet dispensasi,”