Meski masih canggung, Yana sedikit melunak pada Matari. Wajahnya sudah lebih ramah sekarang. Tapi, dia masih tak banyak bicara, karena dia sendiri juga bingung harus bersikap seperti apa. Saat istirahat, Matari sudah menggelandang pergi ke kelas IPS 1.
Yana sempat melihat buku tulis tipis yang dibawa-bawa Matari itu sudah hampir terisi penuh, seperti buku kas kelasnya setahun mendatang. Dia sedikit paham, banyak yang merasa tak adil seperti Matari. Mengumpulkan orang sebanyak itu untuk kompak dan membujuk mereka melakukan tanda tangan persetujuan adalah hal yang tak mudah.
“Tuh cewek udah pergi aja, nggak senyaman itu duduk sama kita ya?” tanya Anya sedikit mengompori.
“Ya biasalah, Nya. Dia kan lebih seneng main sama temen-temen dia yang gaul itu,” kata Priscilla.
“Hei, kayanya kita harus mikirin ulang semua ini bener atau nggak deh,” kata Yana tiba-tiba.
“Hah? Maksud lo, Yan? Bukannya elo yang lebih seman
Sebenarnya H-7 hari sebelumnya, 3 foto kandidat yang berasal dari kelas 11 sudah tersebar di setiap sudut papan pengumuman. Semua calon berasal dari jurusan IPA. Dari jurusan IPS dan Bahasa sama sekali tidak ada.Sebenarnya, kedua jurusan itu tak terlalu berminat memilih dan menonton. Hanya saja, karena wajib, mau tak mau mereka hadir di gedung serbaguna yang sudah disiapkan sedemikian rupa untuk hari itu. Apalagi, Matari akan menyampaikan pendapatnya tentang perpindahan kelas, hal yang lebih ditunggu-tunggu bagi sebagian orang.Pengkaderan sudah dilakukan para calon sejak mereka duduk di kelas 1 atau 10. Saat naik ke kelas 11, ternyata semua calon adalah penghuni jurusan IPA. Jadi memang terkesan para calon dari jurusan lain tidak ada.Ada satu calon kuat, yang bernama Memey, cewek ambisius yang memang sudah terkenal ingin jadi Ketua Osis sejak duduk di kelas 1. Dia banyak memenangkan lomba debat antar sekolah, meskipun lomba berkelompok. Matari yakin, Memey ak
Setiap kandidat memiliki waktu kurang lebih 15 menit untuk menyampaikan visi misi mereka jika berhasil menduduki Ketua Osis kelak. Menurut Matari, visi misi mereka terdengar standar, hanya berbeda cara penyampaian saja.Dari semua kandidat, orasi adalah salah satu bentuk keefektifan mereka untuk mendekatkan diri kepada para pemungut suara. Tapi bagi Matari, setelah ketiganya berpidato, cuma orasi Farah yang cukup mengena di hatinya.“Baik, terimakasih adik-adik calon ketua Osis masa bakti 2004-2005, sebelum ke acara inti, yaitu pemungutan suara, saya memberi kesempatan bagi siswa-siswi di sini yang ingin memberikan pertanyaan terkait visi misi ketiganya. Saya berikan 3 kesempatan ya. Siapapun boleh,” kata Kak Ikhsan, ketua Osis lama sambil menatap seluruh audience.Sesuai yang direncanakan dan kesepakatan sebelumnya, hampir seluruh siswa-siswi yang masuk di dalam daftar yang Matari buat, harus mau mengacungkan jari. Siapapun di antara mereka
Karena beratnya pertanyaan yang diajukan Matari, Kak Ikhsan sepakat untuk memberikan waktu bagi 2 penanya lain yang akan bertanya di luar konteks kasus yang Matari kemukakan. Setelah semua pertanyaan diajukan, baru para calon kandidat akan menjawab sesuai dengan versi masing-masing.Matari dan teman-temannya tak masalah, yang penting, keluh kesahnya selama di kelas barunya bisa terselesaikan dengan baik.Setelah menunggu 15 menit, para kandidat mulai memberikan saran mereka masing-masing. Namun, untuk kasus Matari, karena sangat pelik, mereka sepakat akan menjelaskannya di sesi terakhir dengan didampingi guru mapel dan guru BK kelas 11 yang sudah siap memberikan informasi yang relevan.Dua pertanyaan dari penanya lain telah dijawab dengan baik oleh masing-masing kandidat. Bagi Matari, melihat mereka menjelaskan masing-masing pertanyaan, membuat dia tahu, semua kandidat sama baiknya.Memey yang selalu terlihat lebih arogan, semangatnya kuat. Matari yakin,
Matari sedang tidur-tiduran di kamarnya saat Malam Minggu datang. Sandra sudah bersiap pergi bersama Chakra untuk ke rumah breeder kucing ras. Entah dapat ide darimana, mereka memutuskan untuk memelihara kucing bersama.Di tempat Matari sendiri kucing lokal liar sering datang dan pergi. Karena rumahnya ada di daerah perumahan, kucing-kucing itu selalu tampak bersih. Mereka bisa minta makan ke rumah manapun yang mereka mau. Di rumah Eyang ini, mereka pun disambut dengan tangan terbuka.Mbok Kalis, ART rumah mereka, akan selalu memberikan sisa makanan yang ada di rumah untuk mereka makan. Jadi, kucing bukan hal yang dilarang di rumah Matari.Rumah akan semakin terasa sepi dengan kepergian Sandra. Tante Dina sedang ada pelatihan ke luar kota dan baru pulang besok. Ayahnya, juga sama, tak datang hari ini. Ada lemburan pekerjaan yang harus dikerjakan bersama-sama dengan karyawan lain untuk dipresentasikan di hari Senin berikutnya.Bulan sedang sibuk dengan keg
“Gue mau main aja,” kata Arai.Matari mengernyitkan dahi. “Main?”Arai mengangguk. “Geng gue lagi pada sibuk. Choki, doi lagi sibuk belajar tobat.”“Kaya aneh aja lo tiba-tiba dateng ke sini. Dulu aja lo susah bener disuruh ke sini buat apel.”“Iya, gue tahu. Tapi kan kita sekarang jadi temen sekelas.”Matari terdiam. Tampang Arai terlihat sedih dan mungkin menyesal. Entah menyesal karena kita satu kelas atau bagaimana, Matari tak yakin. Namun, ucapan Arai berikutnya, cukup mengagetkan Matari.“Gue nggak sadar, kalo lo ngerasa dibully sama kata-kata yang sering gue ucapin di kelas. Jujur aja, gue nggak ada niat ngebully elo. Tapi pas gue share sama Choki, kata dia emang itu udah bisa ke arah sana sih. Pas lo kemarin ngomong di depan semua orang, meskipun ya emang nggak nyebut nama gue, temen-temen gue langsung pada ngasih nasehat yang kurang lebih sama. Gue harusnya minta maaf
Matari hendak membayar roti yang dibelinya ketika dia melihat Choki dan petugas kantin sedikit bersitegang.“Duit kamu nih sobek! Kamu jangan-jangan emang sengaja ya, Mas?” sahut si petugas kantin yang biasa dipanggil Bude Utami.“Sumpah, Bu, enggak,” jawab Choki.“Aku udah hapalin kamu, Mas. Kamu suka bayar nggak sesuai sama yang dipesan. Kalo nggak punya duit mah nggak usah banyak gaya, Mas,” tandas Bude Utami tegas.Saat itu, cuma ada murid dari kelas Matari yang duduk di kantin, karena mapel Olahraga yang selesai lebih awal. Itupun rata-rata siswi perempuan yang ada. Siswa lain banyak yang masih main bola menghabiskan waktu sebelum jam pelajaran berakhir.“Bude, biar dia sama saya, habis berapa dia?” tanya Matari menengahi pembicaraan itu.“Kurang 10 ribu, Mbak,” kata Bude Utami.Matari menyerahkan selembar 10ribuan, sisa uang saku satu-satunya hari itu.“Mak
Matari selesai bercerita bagaimana dia tahu soal Erlin. Arai tak bisa mengelak. Apalagi cerita itu keluar dari mulut seorang Choki. Namun, Arai tak bisa marah pada siapapun. Dialah yang memulai semua ini.“Nggak papa Rai, gue udah ikhlas lama,” kata Matari sedikit berbohong, menyadari wajah Arai yang berubah.Bagaimana bisa ikhlas sepenuhnya, entah Davi, entah Arai, berpaling karena cewek lain.Awalnya, Matari merasa, mungkin dia yang banyak kekurangan di sana-sini. Dia yang tak bisa seenaknya pergi ke mana saja dengan pacarnya dan membanggakannya di depan keluarganya. Dia yang punya keluarga straight.Namun, dia tahu, dia tak pernah sepenuhnya salah. Dia saja yang belum menemukan orang yang tepat. Hanya Rocky, mantan pacarnya yang baik-baik saja. Sayangnya hubungan itu juga kandas setelah satu bulan lamanya. Itu pun karena Matari sama sekali tak ada rasa.“Gue ngerasa nggak enak sama lo,” kata Arai. “Maafin g
Setelah laporan Matari mencuat, guru-guru bertindak cepat. Mungkin karena tahun ajaran baru masih berlangsung belum genap 2 bulan. Tentu saja, yang dipanggil pertama, adalah Matari.Saat Matari datang, hanya tampak guru-guru BK yang duduk di hadapannya. Tak ada tanda-tanda Kepala Sekolah sampai wali kelas mereka sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Dari situ Matari bisa menilai, bahwa laporannya hanya akan diselesaikan oleh mereka, tanpa campur tangan petinggi-petinggi sekolah satupun.Bu Karlina, duduk paling tengah, diapit oleh Bu Dian dan Bu Raras. Ruang BK telah diatur sedemikian rupa, sehingga, di hadapan mereka, sekarang ada beberapa baris kursi. Tak banyak, Matari pikir, karena banyaknya siswa yang protes, akan dibagi dalam beberapa kloter.Sebagai awalan, Matari saja yang dipanggil. Dia duduk sendirian, seperti disidang oleh tiga guru senior bersama-sama. Mata-mata mereka tajam, seperti siap mengadili Matari.“Langsung kita mulai saja ya, Mata