Mencintai dan dicintai adalah keinginan semua insan.~
π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°
David kembali ke rumah. Ia tinggal bersama paman dan bibinya di jakarta. Kebetulan Adik perempuannya pun tinggal di sini. Larisa, itulah nama anak remaja yang duduk di bangku kelas 3 SMA.
Larisa memang tidak mau sekolah di Semarang. Ia ingin pergi ke Ibu Kota dan melanjutkan pendidikannya di Kota Metropolitan tersebut. Maka dari itu, setelah lulus SMP, ia langsung pindah ke Jakarta.
Sejujurnya, David dan sang Bunda merasa berat. Mengingat Ibu kota adalah tempat yang sangat keras untuk anak seumuran Larisa. Hanya saja mereka bisa sedikit tenang karena Larisa tinggal bersama paman dan bibinya.
Bu Yuni adalah adik kandung dari bundanya David juga Larisa. Sedangkan, suaminya bernama Pak Deni adalah paman mereka. Keduanya tidak dikarunia anak satu pun. Oleh karena itu, ketika Larisa menginginkan sekolah di Jakarta, mereka dengan senang menyambutnya.
Hari ini adalah paling melelahkan untuk David. Ia yang langsung bekerja begitu sampai di Jakarta, harus juga mengantar sang Adik berbelanja baju. Sungguh β¦. ini menguras tenaganya.
Begitu sampai kamar, hal yang paling David rindukan adalah kasur. Ia langsung membanting badan ke atas ranjang, seluruh ototnya terasa kaku. Karena tuntunan pekerjaan juga membiayai pendidikan adiknya, ia tidak boleh mengenal kata lelah.
"Sebentar lagi waktunya sholat Magrib. Tapi, badanku rasanya remuk," gumam David.
Alih-alih bersantai, David memaksakan diri ke kamar mandi. Ia harus membersihkan badan, lalu bersiap salat Magrib. Sebagai warga baru, ia belum mengenal betul lingkungan sekitar. Tepatnya, ia belum tahu letak masjid di daerah sini. Pamannya pun belum pulang. Mungkin terjebak macet atau memang sedang lembur.
Tak berapa azan berkumandang, David segera keluar. Menghamparkan sajadah, memakai peci, sarung juga baju Koko. Begitu azan selesai, ia bergegas melaksanakan kewajibannya sebagai muslim.
Di kamar yang tak begitu luas, tetapi rapih. David khusu dalam salat. Ia menikmati waktu untuk menghadap pada Sang Ilahi Rabbi. Dentingan detik terus berjalan sulit dihentikan. Ia tengah berburu dengan waktu, hingga ada masanya ia harus pulang ke kampung halaman yang sebenarnya.
Salat selesai. David berdoa lebih dahulu, selanjutnya melantunkan kalimat dzikir sebagai rutinitas selama ini. Entah rasanya waktu seperti ini sangat menenangkan. Jiwanya begitu damai. Seketika semua rasa lelah hilang tanpa jejak. Ternyata benar, Allah-lah sebaik-baik tempat terindah untuk mengadu.
Tiba-tiba ketukan di pintu menghentikan kegiatan David, ia bangkit, membawa langkah ke arah pintu, dan membukanya. Sebuah senyuman menyambut David, wanita cantik paruh baya yang hanya beda 3 tahun dari bundanya tersebut berdiri di hadapannya saat ini. Setiap melihat wajah wanita itu, David merasa tengah menatap sang Bunda yang jauh di sana.
"Kamu baru sholat, Nak?" tanya Bu Yuni masih dengan senyuman manis.
"Baru beres, Bi," sahut David.
"Ayo, turun. Pamanmu juga baru pulang. Kita makan bareng."
"Baik, Bi."
Usai mengatakan itu Bu Yuni kembali ke dapur. Rumah ini tidak begitu luas. Hanya ada satu lantai terdiri dari satu dapur, tiga kamar tidur dengan kamar mandi masing-masing di dalamnya, satu ruangan tamu, satu ruangan keluarga, juga satu toilet yang berada di dapur.
Meskipun terbilang kecil, tetapi bagi Bu Yuni dan Pak Deni ini sangatlah luas. Sebelum kedatangan Larisa, rumah ini terasa sunyi. Hanya ada mereka berdua setiap harinya. Begitu Larisa datang, suasana rumah berbeda. Apa lagi saat ini David pun ikut tinggal. Tentu ini menambah kehangatan rumah.
David merapihkan sajadah ke tempat semula. Ia pun mengganti pakaian dengan celana traning juga kaos berwarna abu-abu. Otot-ototnya bisa terlihat jelas. Ini adalah hasil dirinya yang sering pergi ke GYM seminggu sekali saat berada di kotanya dahulu.
David keluar kamar, langkahnya teratur menuju dapur. Terdengar suara tawa Larisa menggema. Ia tebak, mungkin gadis itu sedang menceritakan hal konyol yang terjadi di mall beberapa waktu ke belakang.
"Aku aja sampai pengen ketawa, Bi. Kak David, konyol banget." Larisa begitu menikmati jalan ceritanya.
"Jadi, beneran kakakmu itu salah orang?" tanya Pak Deni.
"Beneran, Paman," sahut Larisa.
"Terus orangnya bagaimana? Enggak marah?" Bu Yuni ikut penasaran.
"Awalnya marah, tapi begitu lihat kegantengan Kakak. Langsung kelepek-kelepek," kata Larisa.
David sampai, ia menggelengkan kepala melihat kelakuan adik kandungnya. Ia menarik kursi, duduk di samping Larisa. David berkata, "Kalau makan jangan sambil bicara. Nanti kamu keselek!"
"Ya, maaf, Kak," ujar Larisa.
"Jangan terlalu percaya sama Larisa, Paman, Bibi. Kadang anak ini suka nambah-nambahin," kata David pada Bu Yuni dan Pak Deni.
"Ih, Kakak!" Larisa memonyongkan bibirnya. "Lagian ceritaku ini beneran. Kakak aja yang konyol main pegang tangan orang enggak liat-liat dulu!"
"Mana Kakak tau kalau itu bukan kamu," bantah David.
"Gini, nih, kalau kelamaan ngejomblo!" ledek Larisa.
David mengembuskan nafas kasar. Menoleh ke samping, menatap tajam pada Larisa.
"Apa?" Larisa kesal.
"Mau uang jajannya dikurangin?" tanya David.
"Ih, Kakak nyebelin! Iya, deh, enggak bakalan ngomong lagi!" ketus Larisa.
Bu Yuni dan Pak Deni hanya saling melempar pandangan. Kedua ponakannya sudah tumbuh dengan baik, meskipun masih sering bertengkar. Larisa dan David terpaut 10 tahun. Larisa berusia 17 tahun, sedangkan David kini berusia 27 tahun.
"Paman, cariin Kakakku yang ganteng ini calon istri. Biar dia enggak suka berantem sama adiknya yang cantik ini," adu Larisa yang masih kesal.
Pak Deni tersenyum. "Iya, nanti Paman jodohkan Kak David sama tetangga sebelah."
"Loh, bukannya tetangga sebelah kita itu janda, ya, Mas? Janda tua sekitar 50 tahunan," sela Bu Yuni.
Mendengar itu Larisa kembali tertawa, sementara David yang sedang minum lansung tersedak.
"Bagus itu, Paman," imbuh Larisa.
David lagi-lagi memberikan tatapan tajam pada adiknya.
"Iya, Kakak." Kali ini Larisa diam. Ia tidak mau membangunkan singa yang sedang tidur.
"Kalau enggak sama tetangga depan rumah kita aja," usul Pak Deni yang tampaknya menahan tawa.
"Mas, ini bercandanya kelewatan. Depan rumah kita, kan, Pak Raffi. Preman pasar." Bu Yuni menggelengkan kepala.
"Habisnya Mas bingung mau jodohin David sama siapa." Pak Deni tertawa mengikuti Larisa.
"Enggak usah dijodohin, Paman. Nanti juga David ketemu jodohnya sendiri. Lagian, David masih mau kerja. Larisa harus kuliah. Bunda sama Ayah juga tanggung jawab David," kata David dengan nada rendah. Ia memang sangat menghormati Paman dan bibinya. Maka dari itu, ia selalu menjaga cara bicaranya saat berinteraksi dengan keduanya.
Semua orang diam. Mereka mengenal bagaimana David. Lelaki ini terkenal teguh jika sudah memiliki prinsip. Bagaikan karang di lautan, David memang sulit tergoyahkan.
"Enggak usah kelamaan sendiri, Nak. Kamu juga manusia normal yang butuh pendamping. Kalau ada Istri, setidaknya kamu punya tempat buat berkeluh kesah selain Gusti Allah. Tapi, Paman sama Bibi juga enggak bakal maksa. Toh, yang jalanin kamu sendiri," kata Pak Deni.
"Benar itu, Nak. Kalau nanti ada wanita yang kamu sukai, bilang sama kami dulu," tambah Bu Yuni.
David mengangguk. Perbincangan malam ini sedikit berat baginya. Istri. Lelaki mana yang tidak ingin menikah. Hanya saja ia merasa belum siap sepenuhnya. Entah mengapa hatinya tidak begitu tergerak untuk melakukan interaksi dengan lawan jenis tentang masalah ini. Bahkan saat kuliah dahulu, ia banyak menolak para gadis yang berterus terang menyukainya. Oleh karena itu, ia sering diejek sebagai penyuka sesama jenis.
David lebih suka berkumpul dengan teman-teman ketika anak sebayanya gencar mencari kekasih. Ia juga begitu risih saat harus berhadapan dengan para wanita. Entah ini semacam penyakit atau apa? Akan tetapi, David memang merasakan demikian.
Ayah dan bundanya sering mengenalkan pada David banyak gadis dari anak teman semasa sekolah mereka. Namun, reaksi David biasa saja. Ia tak terlalu menanggapi, apa lagi sampai ke tahap pacaran.
Meskipun ia bukanlah seorang ustad ataupun lelaki keluaran pesantren. Ia memegang teguh untuk tidak berpacaran. Sekalipun nanti Allah mempertemukannya dengan seorang wanita yang menurutnya cocok, ia berencana langsung menikahinya. Tentu setelah ia melewati masa perkenalan yang cukup kuat untuk keduanya.
Makan selesai. David dan Larisa membantu Bu Yuni di dapur. Ia mungkin seorang lelaki, tetapi ia sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Tingkat kebersihannya pun lebih baik daripada adiknya. Ia paling benci dengan ruangan yang tidak rapih. Berserakan sedikit saja tangannya langsung bergerak. Bagus memang. Bukankah kebersihan itu sebagian dari Iman.
Selesai cuci piring, David menyusul pamannya di teras. Ada dua gelas kopi yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Bu Yuni. Kopi hitam adalah minuman paling nikmat bagi David, ia adalah salah satu dari milyaran orang pecinta kopi tersebut.
David duduk di kursi, pandangannya lurus menatap langit malam yang indah penuh bintang. Udara malam ini tak begitu dingin. Hawa panas terasa dan memang sudah makanan sehari-hari di Ibu Kota.
"Nak, Paman harap kamu betah tinggal di sini," kata Pak Deni yang sama memandangi angkasa.
"In syaa Allah, Paman," sahut David.
"Bagaimana pekerjaanmu?"
"Semuanya baik."
"Kantor barumu di daerah Jakarta Timur?"
David mengangguk. "Iya."
Hening. Mereka mengunci mulut masing-masing.
"Paman, apa menikah itu menyenangkan?" Entah mengapa sejak perbincangan di meja makan tadi David merasa tertarik dengan topik ini.
Pak Deni menoleh, mengurai senyum sebentar, lalu berujar, "Kenapa? Kamu beriat menikah?"
"Ya, mungkin nanti."
Embusan napas kasar terlihat Pak Deni lakukan, ia memejamkan mata sejenak. Merasakan suasana kota yang belum sunyi sampai malam tiba. "Menikah itu bisa dikatakan menyenangkan juga menegangkan."
Dahi David mengerut. "Kenapa bisa begitu?"
"Begini, menikah itu seperti kita masuk ke ruangan yang baru. Lalu, di dalam ruangan itu ada tangga yang tinggi, suka tidak suka kita harus menaikinya agar bisa sampai ke ruangan atas. Menyenangkannya, kita bisa melewati bersama dengan pasangan. Menegangkannya, bisa jadi saat lantai tangga itu licin justru kita terpelesat dan jatuh ke bawah sampai mendapatkan luka."
~Senyapkan keluhmu, keraskan syukurmu.~ π₯³π₯³π₯³π₯³π₯³π₯³π₯³π₯³ "Benarkah?" David meraih gelas berisi kopi, menyeruput pelan, lalu menyimpannya kembali. "Semoga pernikahan Paman dan Bibi langgeng terus." "Aamiin," ujar Pak Deni. Percakapan mereka selanjutnya membahas tentang sekolah Larisa. Anak perempuan itu menginginkan masuk kuliah di salah satu universitas ternama di Ibu Kota. Dimas sudah mempersiapkan dananya, ia juga telah mewanti-wanti Larisa untuk belajar dengan baik tanpa harus mengkhawatirkan tentang biaya. "Paman bangga sama kamu, Nak," ungkap Pak Deni.
~Kamu akan selau istimewa di depan orang yang benar-benar mencintaimu.~ π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯° David dan Aisyah sampai di parkiran rumah sakit. David lebih dahulu keluar, bergegas mengambil kursi roda yang ada tak jauh dari parkiran, selanjutnya mendorong ke dekat mobil. Asiyah membuka pintu mobil, matanya melotot melihat apa yang ia lihat. "Maaf, Pak, kursi rodanya buat apa?" "Buat dimakan," jawab David ketus. Kening Aisyah mengerut. "Sudah tau kakimu sakit. Ya, pasti buat kamu duduk atau kamu memang ketagihan digendong
~Kamu boleh istirahat saat lelah. Setelah itu kembalilah bersemangat memulai perjalananmu.~π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°Semua orang bersiap. Aisyah duduk di mejanya, begitu pun dengan yang lain. Tiba-tiba Erka mendekat, menepuk bahu Aisyah, lalu berbisik, "Kamu ada main, ya, sama SPV baru kita?"Sontak Aisyah kaget. Ia menoleh, keningnya mengerut. "Kata siapa?""Anak-anak pada ngomongin kalian. Mereka liat kamu turun dari mobilnya Pak David."Sudah Aisyah duga, jika hal ini akan menjadi pembicaraan empuk untuk semua orang.
Jagalah mentalmu sebaik mungkin, karena orang lain tidak akan membantumu saat down.~πππππππππKejadian tak disangka pun telah terlewati. Orang yang datang dan menolong Aisyah itu rupanya David. Aisyah merasa malu sekaligus berterima kasih.Setelah kejadian itu Aisyah langsung melaksanakan salat dan segera pergi keluar setelah selesai. Ia tak ingin berurusan dengan David. Tepatnya, ia tidak mau orang-orang kantor semakin menjadikannya topik hangat untuk bergosip hari ini.Aisyah kembali. Etika masih berada di luar. Wanita itu dengan setia menunggu. Ketika Aisyah mendekatinya, Erka langsung sadar."Kamu
Sesuatu yang diam terkadang justru lebih menghanyutkan.~ππππππππDunia seperti berhenti berputar untuk sekejap. Aisyah terus memandangi sosok lelaki di depannya itu. Semuanya mirip. Apa ini?Erka memperhatikan Aisyah, ia duduk di kursinya kembali, menoleh ke belakang, lalu berkata, "Maaf, Mas, teman saya sepertinya tertarik sama, Mas."Aisyah tersadar. Ia melirik pada Erka, sedangkan lelaki yang sedang bermain ponsel itu seketika mengangkat kepala. "Saya?"Erka mengangguk. "Iya, Mas. Dari tadi teman saya ini liatin Mas terus."
Sesuatu yang ditakdirkan untukmu tak akan mungkin bisa pergi begitu saja.~πππππππππππππππHari berlalu begitu cepat. Jam pulang telah tiba. Erka dan karyawan lainnya telah lebih dahulu pulang. Erka sendiri ada janji kencan dengan tunangannya.Rasa nyeri di dengkul Aisyah memang masih terasa. Akan tetapi, ia tetap harus pulang. Ada seorang Ibu menunggu di rumah dengan perasaan cemas.Motornya sudah berada di parkiran. Ia mendekat, mencari kunci motor dan lupa memintanya kembali pada David. Haruskah ia pergi ke ruangan lelaki itu? Tapi, orang-orang sudah tidak ada. Ini hanya akan menimbulkan fitnah. Aisyah bimbang. Berdiam diri dengan otak terus berputar mencari solusi yang terbaik.
~Kamu adalah mood booster untuk dirimu sendiri.~π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°Jalanan sore macet seperti biasa. Memang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pengguna jalanan saat jam pulang kerja. Motor Aisyah berhenti di lampu merah. Hari ini ia harus mampir ke pasar untuk membeli beberapa sayuran untuk dimasak besok pagi.Tadi siang ibunya sudah mengirimkan list yang harus ia beli. List ini akan memudahkannya dalam berbelanja, termasuk mempersingkat waktu. Lampu masih belum berpindah pada warna hijau. Semua pengendara mobil dan motor menunggunya dengan sabar. Adapula yang terus membunyikan klakson beberapa kali.Mobil merah di samping Aisyah pun sama. Pengendara itu menyembunyikan klakson dua kali, hingga Aisyah men
Ruangan ini memang diperuntukkan untuk satu orang. Aisyah datang dengan menangis tak karuan. Kecelakaan itu membuat ibunya terbaring lemah tak sadarkan diri. Untung saja ada tetangga yang menyaksikan serta membawa ke rumah sakit. "Ibu," panggil Aisyah dengan deraian air mata. Ia tidak menyangka hal ini akan terjadi. "Bangun, Bu, ini Aisyah!" teriak gadis manis itu. Aisyah tak lagi punya siapa pun selain sang Ibu. Kepergian Ayah serta calon suaminya itulah yang membuat rasa trauma begitu dalam. Seorang wanita paruh baya yang tadi menghubunginya pun datang. Wanita itu baru saja pulang dari toilet. "Aisyah, kamu udah datang?" tanyanya sembari m
Sehari setelah itu, Aisyah bekerja seperti biasanya. Ia menemani sang Ibu semalam di rumah sakit, menjaganya dengan sepenuh hati.Di tengah malam, ada satu pertanyaan dari ibunya tentang David. Sebab, lelaki itu tak ada bersama mereka. Aisyah bingung, hingga kebohongan pun kembali ia lakukan. Ia mengatakan jika David harus bekerja lembur.Aisyah pulang hanya sekadar mandi dan berganti pakaian. Ia pun menitipkan ibunya pada suster. Sebab, ia tak bisa cuti.Aisyah sampai di kantor, bekerja samana mestinya. Hanya saja, hari ini ia tak membawa bekal. Makan siang pun rasanya tak ingin ia lakukan.Denting waktu berlalu sampai jam makan siang pun datang. Aisyah yang tengah haid pun tak pergi ke masjid ketika azan Dzuhur be
Aisyah memberi kode pada David --orang yang ditunjuk ibunya-- lelaki itu pun menurut. Masuk dengan sopan sembari berucap, "Assalamualaikum." David mendekat, sedikit memberi jarak dengan Aisyah. "Selamat malam, Bu.""Wa'alaikum salam," jawab Aisyah pelan. Pandangan gadis itu kembali terpokus pada ibunya."Malam." Bu Fatimah menatap lekat David. "Nak, kenapa diam di pintu dan tidak ikut masuk sama istrimu?" Lagi-lagi ingatan Bu Fatimah hanya Aisyah dan David menikah.David sempat diam, Aisyah pun bimbang. Sampai akhirnya perempuan itu pun merogoh tas yang dibawanya, mengambil ponsel, lalu mengetik sesuatu, dan memberikannya pada David.Tolong, berpura-pura jadi suami saya hari ini saja, Pak.
Ruangan ini memang diperuntukkan untuk satu orang. Aisyah datang dengan menangis tak karuan. Kecelakaan itu membuat ibunya terbaring lemah tak sadarkan diri. Untung saja ada tetangga yang menyaksikan serta membawa ke rumah sakit. "Ibu," panggil Aisyah dengan deraian air mata. Ia tidak menyangka hal ini akan terjadi. "Bangun, Bu, ini Aisyah!" teriak gadis manis itu. Aisyah tak lagi punya siapa pun selain sang Ibu. Kepergian Ayah serta calon suaminya itulah yang membuat rasa trauma begitu dalam. Seorang wanita paruh baya yang tadi menghubunginya pun datang. Wanita itu baru saja pulang dari toilet. "Aisyah, kamu udah datang?" tanyanya sembari m
~Kamu adalah mood booster untuk dirimu sendiri.~π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°Jalanan sore macet seperti biasa. Memang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pengguna jalanan saat jam pulang kerja. Motor Aisyah berhenti di lampu merah. Hari ini ia harus mampir ke pasar untuk membeli beberapa sayuran untuk dimasak besok pagi.Tadi siang ibunya sudah mengirimkan list yang harus ia beli. List ini akan memudahkannya dalam berbelanja, termasuk mempersingkat waktu. Lampu masih belum berpindah pada warna hijau. Semua pengendara mobil dan motor menunggunya dengan sabar. Adapula yang terus membunyikan klakson beberapa kali.Mobil merah di samping Aisyah pun sama. Pengendara itu menyembunyikan klakson dua kali, hingga Aisyah men
Sesuatu yang ditakdirkan untukmu tak akan mungkin bisa pergi begitu saja.~πππππππππππππππHari berlalu begitu cepat. Jam pulang telah tiba. Erka dan karyawan lainnya telah lebih dahulu pulang. Erka sendiri ada janji kencan dengan tunangannya.Rasa nyeri di dengkul Aisyah memang masih terasa. Akan tetapi, ia tetap harus pulang. Ada seorang Ibu menunggu di rumah dengan perasaan cemas.Motornya sudah berada di parkiran. Ia mendekat, mencari kunci motor dan lupa memintanya kembali pada David. Haruskah ia pergi ke ruangan lelaki itu? Tapi, orang-orang sudah tidak ada. Ini hanya akan menimbulkan fitnah. Aisyah bimbang. Berdiam diri dengan otak terus berputar mencari solusi yang terbaik.
Sesuatu yang diam terkadang justru lebih menghanyutkan.~ππππππππDunia seperti berhenti berputar untuk sekejap. Aisyah terus memandangi sosok lelaki di depannya itu. Semuanya mirip. Apa ini?Erka memperhatikan Aisyah, ia duduk di kursinya kembali, menoleh ke belakang, lalu berkata, "Maaf, Mas, teman saya sepertinya tertarik sama, Mas."Aisyah tersadar. Ia melirik pada Erka, sedangkan lelaki yang sedang bermain ponsel itu seketika mengangkat kepala. "Saya?"Erka mengangguk. "Iya, Mas. Dari tadi teman saya ini liatin Mas terus."
Jagalah mentalmu sebaik mungkin, karena orang lain tidak akan membantumu saat down.~πππππππππKejadian tak disangka pun telah terlewati. Orang yang datang dan menolong Aisyah itu rupanya David. Aisyah merasa malu sekaligus berterima kasih.Setelah kejadian itu Aisyah langsung melaksanakan salat dan segera pergi keluar setelah selesai. Ia tak ingin berurusan dengan David. Tepatnya, ia tidak mau orang-orang kantor semakin menjadikannya topik hangat untuk bergosip hari ini.Aisyah kembali. Etika masih berada di luar. Wanita itu dengan setia menunggu. Ketika Aisyah mendekatinya, Erka langsung sadar."Kamu
~Kamu boleh istirahat saat lelah. Setelah itu kembalilah bersemangat memulai perjalananmu.~π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°Semua orang bersiap. Aisyah duduk di mejanya, begitu pun dengan yang lain. Tiba-tiba Erka mendekat, menepuk bahu Aisyah, lalu berbisik, "Kamu ada main, ya, sama SPV baru kita?"Sontak Aisyah kaget. Ia menoleh, keningnya mengerut. "Kata siapa?""Anak-anak pada ngomongin kalian. Mereka liat kamu turun dari mobilnya Pak David."Sudah Aisyah duga, jika hal ini akan menjadi pembicaraan empuk untuk semua orang.
~Kamu akan selau istimewa di depan orang yang benar-benar mencintaimu.~ π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯°π₯° David dan Aisyah sampai di parkiran rumah sakit. David lebih dahulu keluar, bergegas mengambil kursi roda yang ada tak jauh dari parkiran, selanjutnya mendorong ke dekat mobil. Asiyah membuka pintu mobil, matanya melotot melihat apa yang ia lihat. "Maaf, Pak, kursi rodanya buat apa?" "Buat dimakan," jawab David ketus. Kening Aisyah mengerut. "Sudah tau kakimu sakit. Ya, pasti buat kamu duduk atau kamu memang ketagihan digendong