“KENAPA dulu kamu nggak percaya, Anna?”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Haruskah aku jujur mengatakan apa adanya? Jujur sampai begitu detail yang bisa menyakitinya lebih lagi.
“Kamu murid aku, Vlad. Aku nggak pernah mikir sejauh itu.”
“Kenapa memang kalau aku murid? Banyak cerita guru menikahi muridnya.”
“Iya. Guru cowok dengan murid cewek. Kita dulu terbalik.” Aku menjawab singkat. Itu faktanya.
“Lalu kenapa?”
“Umur, Vlad.”
Dia terkekeh lalu terbatuk.
“Kamu cuma tiga tahun lebih tua dari aku. Aku bukan Emmanuel Macron yang selisih lima belas tahun lalu ngambil istri orang. Waktu itu kamu masih gadis.”
“Tetap aku nggak mikir sejauh itu. Memang kedekatan kita aku anggap spesial, bukan cuma kedekatan guru dan murid. Tapi aku pikir kita teman.”
Dia terkekeh sinis. Terdengar menyakitkan di telinga.
“Cuma teman, Rite?”
Aku diam tak mau menjawab. Aku sadar ucapanku itu menyakiti Vlad
Ancamannya kena banget ye. Beneran kena apa Anna aja yang nggak enakan? Nggak enakan apa memang mau?
SEJAK itu Vlad memang nyaris tidak pernah terlambat lagi. Dia pun begitu tenang, hampir tidak membuat ulah. Tapi dia terlalu banyak diam dan melamun di kelas. Nilai pelajarannya kembali hancur padahal ujian nasional makin mendekat. Tapi tidak ada yang bisa guru lakukan selain menasehatinya untuk memperbaiki nilai. Vlad begitu tenang, begitu penurut. Terlebih ketika Bowo sudah kembali sekolah. Dia mundur dari tim perayu Bowo rehab. Baginya, rehab sekarang atau bersekolah dulu adalah pilihan yang sulit. Hatinya pun sekarang mengalami masa sulit. Dia berusaha menjauh dari Anna. Tak pernah lagi duduk menunggu jam mata pelajaran berikutnya di meja piket. Lagi-lagi Anna mendapat tugas tambahan mencari tahu tentang keanehan Vlad. Tapi kesempatan berbincang dengan Vlad nyaris tak ada kecuali dia memanggil Vlad. Dan Anna tidak mau seperti itu. Seminggu ini dia menunggu kesempatan yang tidak kunjung datang. Sharing Your Happiness bisa dianggap telah selesai. Seluruh da
BELAINYA… begitu lembut. Aku merasa dia tidak menyentuh kulitku. Jarinya hanya mengambang bergerak di atas punggung tanganku. Jika ada getar yang kurasa, mungkin itu dari medan magnet tubuhnya saja. Medan magnet yang mengalirkan listrik statis yang membuatku bergidik. Ingin melepaskan diri dari sengatan listrik itu tapi sekaligus terpaku pada sensasi rasa yang dia timbulkan. Sampai suara batuk lemah terdengar darinya dan aku tersadar dari gerak menghipnotis jarinya di area kecil kulitku. Perlahan kugerakkan tanganku. Mengerti kode gerakan itu, Vlad yang memang tidak menggenggam membuka lebih lebar tangannya. Melepaskan tanganku. “Kamu sering ke sini?” tanyaku ketika dia masih tetap tak bergerak dari posisi telentang dengan tangan terentang ke tengah ranjang. “Nggak juga. Sesekali aja.” “Kamu memang bagusnya ke tempat kayak gini. Kalau nggak ke pantai. Bagus buat paru-paru kamu.” “Ya tinggal ke villa Opa aja. Ada Pak Burhan, tapi aku lebih suka
ANNA merasakan mobil bergerak agak kasar. Gerakan yang membuatnya tersadar dari tidur lelapnya. Kenapa ranjangnya bergerak-gerak? Gempa? Mengingat itu matanya yang tadi berat terbuka mendadak terbuka lebar. Musik yang lembut dan embusan penyejuk ruangan ditambah pemandangan gelap yang ternyata bergerak masih membutuhkan waktu beberapa detik untuknya sadar. Tidurnya memang sangat lelap. “Sudah bangun, Bu?” Bowo menoleh untuk memastikan. “Sudah mau sampai kok.” Anna duduk dan menggeliatkan tubuh berusaha menyadari posisi. “Astaga!” Dia sudah sadar. “Maaf ya, Vlad, saya beneran sibuk banget sebulan ini. Kurang tidur, jadi kalau ada kesempatan tidur pasti langsung pelor deh.” Sungguh, dia sangat tidak enak hati. “Nggak apa-apa.” Anna memang tidak bisa melihat senyum di bibir Vlad, tapi ya… Vlad tersenyum. “Ibu kamu sudah sampai mana, Wo?” tanya Anna. “Sudah di TKP, Bu,” jawabnya singkat. “Eh, pelan-pelan, Vlad.” Bowo tiba-tiba menu
“KITA mau ke mana ini, Vlad?” tanyaku ketika Vlad tidak mengarahkan kemudi ke arah rumahku. Vlad menjawab dengan kedikan bahu. “Kok gitu?” “Nanggung banget. Sudah jam segini. Mending sekalian pulang siang. Sore sekalian juga nggak apa-apa.” “Astaga, Vlad! Kebiasaan banget deh kamu tuh.” Vlad terkekeh. “Ke Pak Burhan yuk,” ajaknya tanpa merasa bersalah. “Nggak mau. Aku ngantuk ah.” “Aku siapin tempat tidur lagi di belakang oke?” “Nggak mau.” Aku langsung teringat tumpukan bed cover empuk dan boneka sapi. “Sh*t!” Dia memaki tanpa meminta maaf lagi seperti dulu. “Reseh memang tuh bonyok. Coba mereka nggak ada. Enakan di sana kan.” “Kamu kenapa sampai mereka seperti itu?” Aku kembali ke topik semula. “Nggak bakalan orangtua sampai pasang muka cemas seperti itu kalau kamu baik-baik aja. Sudahlah nggak sama baby sitter, nggak bawa HP pula. Beneran kabur itu sih namanya.” Dia menghela
DI awal hari, lepas shalat subuh—Anna lagi-lagi berhasil membuat Vlad ikut shalat—Vlad memilih menikmati mi instan cup di pinggir jalan. Anna memilih menikmati teh manis panas dan gorengan. Uap panas dari gelas menghangatkan wajahnya. Harum teh melati membuatnya sangat santai. Dia melihat Vlad memasukkan potongan bakwan ke dalam cup. “Ih, baunya menggoda amat tu mi,” ujar Anna ketika Vlad membuka penutup cup. Bau kuah mi menggoda Anna yang ketika ditawarkan menolak. Santai, Vlad mengaduk-aduk mi. Dia bahkan mendekatkan cup ke wajah Anna. Membuat Anna terkekeh sambil menghidu uap mi. Tapi suapan pertama Vlad berikan untuk Anna. Ketika Anna benar memakan isi garpunya, tersenyum, Vlad langsung memesankan yang baru untuk Anna. “Makanya kalau orang makan mi mending pesan aja juga. Cuma malaikat yang diciptakan nggak punya nafsu yang bisa tahan godaan mi.” Akhirnya mereka menganggap makan kali ini sebagai makan pagi. Mereka duduk di balai-balai membelakangi
“WAKTU dia dapat kabar kamu nikah, dia kayak gini.” Satu kalimat yang membuatku terhenyak. “Anna, tolong maafkan kami. Kami meminta terlalu banyak.” Wanita cantik itu jelas menampakkan aura gelisah. Aku diam, tak tahu harus berkata apa. “Tolong temani Vlad dulu sementara kami menyiapkan mentalnya.” Aku tak bisa berkata-kata, bibirku bergerak membuka dan menutup tapi tak mengeluarkan suara. “Tapi Vlad yang saya kenal tidak selemah itu.” Akhirnya aku bisa bersuara. “Ini nggak melulu cuma soal kamu, Anna. Kamu nggak di sana waktu Vlad terpuruk. Dia merasa semua hal di hidupnya terjungkal. Semua yang dia yakini salah. Bukan cuma kamu yang dia sayang yang dia pikir mengkhianati dia. Dan semua terjadi bersamaan. Termasuk bersamaan dia juga harus menerima bahwa saya tidak seperti yang selama ini dia pikir.” “Saya nggak ngerti, Ibu….” Aku putus asa dengan masalah yang harus membelitku. “Maafkan saya, Anna. Ini semua salah saya.
“SEDEKAT apa kamu sama Mama?” Vlad tidak bisa langsung menjawab. Anna menunggu jawaban sambil memperhatikan ekspresi berpikir Vlad. Pertanyaan itu seharusnya dijawab tanpa berpikir kan? “Bisa nggak sih kita nggak bahas yang dulu-dulu?” “Loh, itu kan Mama kandung kamu. Kok dulu? Ya sekarang gimana kan bisa jadi jawabannya.” “Siapa bilang? Bisa aja dulu dekat sekarang jauh kan? Atau sebaliknya, dulu jauh sekarang dekat. Semua bisa berubah.” Anna mengedikkan bahu, membenarkan ucapan Vlad. “Iya sih, manusia bisa berubah. Bisa aja kamu dulu dekat sama mama kamu, tapi karena mereka bercerai kamu jadi nggak dekat. Apalagi secara fisik kalian memang tinggal berjauhan banget.” “Kedekatan itu nggak harus berasosiasi dengan fisik kan, Bu. Banyak orang tanpa sentuhan fisik bisa merasa dekat. Berjauhan tapi tetap merasa dekat. Istilahnya jauh di mata dekat di hati. Tapi ada juga yang tiap hari ketemu malah nggak merasa dekat. Nggak
“AKU mau tau siapa orang yang ambil kamu dari aku.” Aku mendesah. “Anna, aku nggak akan lupa ucapan kamu waktu kita habis antar Bowo ke Lido,” lanjut Vlad lagi. Aku makin pasrah. “Kamu nggak mau LDR-an.” “Kamu lupa bab compromising.” “Jadi kalian berpisah seperti ini artinya berkompromi?” “Iya.” “Lalu apa hasil kompromi kalian sekarang?” “Ya kami tetap LDR.” “Kompromi kalian harus diperbaharui karena kamu sekarang nggak mau LDR sementara Bhaga nggak mau pindah kerja dan kamu nggak mau ke sana.” “Sok tau.” “Loh, itu kan yang kamu minta yang Bhaga nggak bisa kasih? Kanu lupa dulu bilang apa di mal?” Bahuku melorot. Tentu saja Vlad ingat. Dan sejak dulu dia menghubungkan ceritaku tentang Bhaga dengan keinginanku dulu. “Dulu pilihannya banyak. Aku seleksi sampai sisa Singapura dan Australia. Akhirnya aku pilih Singapura karena itu paling dekat dan Singapura lebih enak untuk mu
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika