"Baiklah, biar aku yang mengemudi saja," usul Richard.
Emily memberikan kunci mobilnya pada Richard sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Richard sambil menyetir mobil Emily.
"Aku ingin bertanya tentang kakek," ucap Emily pelan, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tersembunyi.
"Ketua? Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Richard penasaran.
Emily menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Apakah pembunuh kakek sudah ditemukan?"
Sejenak keheningan menyelimuti, tak ada suara yang terdengar hingga akhirnya Richard memecah keheningan dengan jawaban singkat, "Belum."
"Pihak kepolisian berhasil mendapatkan keberadaan pembunuh itu dan menangkap anak buahnya, namun sayangnya pembunuh itu berhasil melarikan diri. Beberapa tahun kemudian, keberadaannya akhirnya terungkap, tim kepolisian pun kembali berhasil menemukannya, tapi.. " Richard terdiam sejenak, ekspresi wajahnya mence
Grace dengan penuh keberanian mengirimkan pesan kepada Daniel, namun cemas melihat pesannya tidak dibalas. Akhirnya, dia memutuskan untuk memanggil Daniel sebelum Emily kembali. Setelah beberapa nada panggilan, suara berat terdengar dari ujung sambungan telepon. "Halo," terdengar suara Daniel dari ujung sambungan, membuat Grace merasa lega. "Paman, ini aku," ucap Grace dengan suara kecil dan penuh kepolosan, membuat sebuah senyum tipis terukir di bibir Daniel. Meskipun dia sangat ingin dekat dengan putrinya, Daniel tetap berusaha untuk menahan diri dan tidak menemuinya."Aku tahu. Ada apa?" tanya Daniel dengan suara hangat namun berusaha tetap tenang. "Aku mengirim pesan tapi tidak dibalas," ucap Grace. "Maafkan aku. Aku belum melihat pesanmu," ucap Daniel dengan lembut."Bisakah kita bertemu hari ini?" tanya Grace dengan penuh harapan.Tidak mendengar jawaban dari ujung telepon, Grace akhirnya kembali berkata. "Apakah Paman ingin membuat seorang anak kecil menunggu terlalu lama d
Emily menekan tombol pengatur waktu. Lampu kilat menyala, menangkap momen kebahagiaan itu di dalam photo booth. Grace langsung berteriak, "Lihat, Mom! Foto kita!" Dia menunjuk ke foto mereka yang sudah tercetak dan keluar dari mesin. Grace memiringkan kepalanya, dahinya berkerut dengan rasa ingin tahu. "Paman, mengapa wajah Paman sangat kaku dan tidak tersenyum sama sekali di sini?" tanyanya dengan suara polos dan manis. Emily tak kuasa menahan tawanya. Wajah Daniel, yang tertangkap dalam foto-foto itu, membeku dalam ekspresi datar."Maaf," bisik Emily, suaranya hampir tak terdengar saat matanya tidak sengaja bertemu dengan tatapan tajam Daniel yang menusuk padanya. Setelah selesai dari permainan arkade, mereka memasuki toko mainan untuk membeli beberapa mainan untuk Grace. Mata Grace berbinar-binar melihat beberapa mainan di sana.Saat mereka sampai di kasir, Daniel sekali lagi mengeluarkan dompetnya. "Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu membayar ini," protes Emily. "Kamu sudah m
Ketegangan seketika terasa di udara saat mereka bertiga berhadapan. Daniel memilih untuk tidak berlama-lama di sana. "Aku pulang dulu," ucapnya singkat , suaranya terdengar datar. Emily hanya mengangguk memberikan jawaban. Saat Emily berhadapan dengan Sean, dia tersenyum sambil berusaha untuk bersikap tenang. "Apakah kamu sudah lama menunggu di sini?" tanyanya. "Ayo masuk ke dalam."Sean hanya menggeleng pelan, matanya tertuju pada Grace yang tertidur lelap di pelukan Emily. "Tidak perlu. Lebih baik kamu meletakkan Grace dulu ke dalam."Emily mengangguk sambil berjalan menuju pintu. "Aku akan segera kembali," bisiknya. Sean mengangguk sambil tersenyum pada Emily. Senyumnya tampak sedikit kaku, seolah-olah sedang menahan sesuatu untuk dikatakan. Tidak berapa lama, Emily kembali keluar dan menemui Sean di luar. "Sudah lama kita tidak bertemu, Em," ucap Sean."Beberapa hari ini aku pergi mengurusi urusan di luar kota. Aku memberitahumu tapi kamu tidak membaca pesanku," ucap Sean deng
Mendengar pertanyaan Emily, pria itu tidak menjawab hingga kembali terdengar suara pembawa acara yang menggema, "Tiga, dua, satu!" menariknya kembali ke kenyataan."Baiklah, aku rasa aku akan mencari orang lain saja," ucap Emily. Emily hendak berbalik, melangkah pergi meninggalkan pria tadi, tetapi suara pembawa acara menghentikannya. "Aku akan turun dari podium untuk memilih beberapa pasangan yang akan mendapatkan kesempatan untuk berdansa di lantai dansa ini." Jantung Emily berdetak kencang saat pembawa acara turun, harapan berkobar di dadanya, berharap dia akan terpilih. Tiba-tiba, suara seorang wanita memecah keheningan. "Aku boleh ikut?" Emily menoleh ke arah sumber suara. Di sana berdiri Alice, dengan senyum lebar, menggandeng seorang pria bertopeng di sampingnya. Sementara, Alice sendiri tidak mengenakan topeng karena dia adalah tuan rumah dalam acara ini. 'Apakah pria di sampingnya itu adalah Daniel?' pertanyaan itu terngiang di benak Emily, menelan kepahitan yang dirasak
Waktu seakan berhenti sejenak. Emily terpaku, matanya terbelalak menatap pria yang masih memakai topeng itu. Dia merasakan jantungnya yang berdetak kencang. Di sekeliling mereka, kekacauan masih berlanjut. Para tamu undangan berteriak panik. Namun, dalam momen itu, dunia seakan hanya milik mereka berdua. "Maaf... Aku minta maaf," bisik Emily, suaranya hampir tak terdengar di tengah keributan. "Bisakah kamu berdiri sekarang?" tanya pria itu, suaranya bergema rendah. "Ah iya, baik," ucap Emily segera memperbaiki posisinya untuk kembali berdiri. Seiring dengan Emily yang kembali berdiri, hembusan napas lega terdengar dari para tamu yang sebelumnya terpaku dalam ketakutan. "Apakah kalian baik-baik saja?" tanya pembawa acara dengan suara penuh kepedulian. "Iya, kami baik-baik saja," jawab Emily, matanya masih tertuju pada pria bertopeng di sampingnya. Setelah memastikan keadaan keduanya, pembawa acara melangkah mantap menuju podium kecil, matanya fokus menatap pasangan yang b
"Daniel? Emily?" suara Alice, meskipun tertahan, mengandung kekecewaan yang tak terselubung. Daniel dan Emily menoleh, pandangan mereka bertemu dengan tatapan Alice yang tajam. Emily merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia langsung menyadari betapa bodohnya dia karena Daniel telah memiliki Alice sebagai kekasihnya. "Apa kalian sudah saling mengenal?" tanya Alice."Maafkan aku, Alice. Sepertinya aku harus pulang dulu," jawab Emily, suaranya bergetar menahan emosi, matanya menatap Alice dengan penuh rasa bersalah sebelum akhirnya meninggalkan mereka yang masih terdiam di tempat. Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut, perkataan Emily tadi sempat membuat pertahanan dirinya terganggu. Sepertinya dia harus berterima kasih kepada Alice karena jika tidak, dia mungkin akan berlari, memeluk, dan mencium Emily. Kerinduannya pada Emily benar-benar terasa menyesakkan. Daniel berbalik, hendak menghindar dari Alice. Namun, tangan Alice dengan cepat meraih lengannya, menahannya. "D
Beberapa asisten rumah tangga itu menuruti perintah Daniel, meninggalkan mereka berdua. Fred yang masih belum bisa meredakan amarah di dadanya, segera menarik kerah Daniel, tangannya mengepal erat, siap untuk melancarkan pukulan lagi. Namun saat matanya bertemu dengan tatapan tenang Daniel dan tanpa perlawanan, amarahnya seolah memudar. Dia melepaskan kerah Daniel, tangannya sedikit menghempaskannya. "Sebaiknya kita membicarakan ini di dalam ruanganku saja," ucap Daniel, berusaha berdiri dan membawa Fred menuju ruang kerjanya. "Aku membesarkan Emily dengan penuh cinta," kata Fred saat berada dalam ruang kerja Daniel, suaranya bergetar menahan emosi, matanya menatap Daniel dengan penuh kesedihan. "Meskipun aku bukanlah ayah kandungnya, Emily tetap putriku. Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti dan melukainya." "Aku sudah mengetahui dari Emily tentang kematian orang tuamu," ucap Fred, suaranya berat, "Aku tidak tahu jika Thomas benar-benar mampu melakukan hal keji
Hujan air mata membasahi pipi Alice. Gelasnya kosong, tergeletak di meja bar, sama kosongnya dengan hatinya. Setiap tetes alkohol yang ditelannya tak mampu meredakan rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Sudah bertahun-tahun ia menyimpan rasa kepada Daniel, namun hanya kehampaan yang ia dapatkan selama ini. "Daniel, kenapa kamu begitu kejam?" bisiknya, suaranya teredam oleh isak tangis. Kepalanya terasa berat, kesadarannya perlahan memudar, hingga akhirnya terkulai lemas di atas meja.Seorang pria yang sedari tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam, akhirnya bangkit dari duduknya. Dia mendekat, wajahnya dihiasi senyum yang penuh kemenangan. "Nona, apakah kau baik-baik saja? Perlukah aku mengantarmu pulang?"Alice tak mendengarnya. Nama Daniel terus terngiang di kepalanya, menyayat hatinya. Pria itu dengan lembut membantu Alice berdiri. "Ayo, kita pulang," ucapnya, suaranya lembut, namun ada sesuatu yang dingin di balik senyumnya. Tatapan matanya menyeramkan, seperti ular yang b