Ketegangan seketika terasa di udara saat mereka bertiga berhadapan. Daniel memilih untuk tidak berlama-lama di sana. "Aku pulang dulu," ucapnya singkat , suaranya terdengar datar. Emily hanya mengangguk memberikan jawaban. Saat Emily berhadapan dengan Sean, dia tersenyum sambil berusaha untuk bersikap tenang. "Apakah kamu sudah lama menunggu di sini?" tanyanya. "Ayo masuk ke dalam."Sean hanya menggeleng pelan, matanya tertuju pada Grace yang tertidur lelap di pelukan Emily. "Tidak perlu. Lebih baik kamu meletakkan Grace dulu ke dalam."Emily mengangguk sambil berjalan menuju pintu. "Aku akan segera kembali," bisiknya. Sean mengangguk sambil tersenyum pada Emily. Senyumnya tampak sedikit kaku, seolah-olah sedang menahan sesuatu untuk dikatakan. Tidak berapa lama, Emily kembali keluar dan menemui Sean di luar. "Sudah lama kita tidak bertemu, Em," ucap Sean."Beberapa hari ini aku pergi mengurusi urusan di luar kota. Aku memberitahumu tapi kamu tidak membaca pesanku," ucap Sean deng
Mendengar pertanyaan Emily, pria itu tidak menjawab hingga kembali terdengar suara pembawa acara yang menggema, "Tiga, dua, satu!" menariknya kembali ke kenyataan."Baiklah, aku rasa aku akan mencari orang lain saja," ucap Emily. Emily hendak berbalik, melangkah pergi meninggalkan pria tadi, tetapi suara pembawa acara menghentikannya. "Aku akan turun dari podium untuk memilih beberapa pasangan yang akan mendapatkan kesempatan untuk berdansa di lantai dansa ini." Jantung Emily berdetak kencang saat pembawa acara turun, harapan berkobar di dadanya, berharap dia akan terpilih. Tiba-tiba, suara seorang wanita memecah keheningan. "Aku boleh ikut?" Emily menoleh ke arah sumber suara. Di sana berdiri Alice, dengan senyum lebar, menggandeng seorang pria bertopeng di sampingnya. Sementara, Alice sendiri tidak mengenakan topeng karena dia adalah tuan rumah dalam acara ini. 'Apakah pria di sampingnya itu adalah Daniel?' pertanyaan itu terngiang di benak Emily, menelan kepahitan yang dirasak
Waktu seakan berhenti sejenak. Emily terpaku, matanya terbelalak menatap pria yang masih memakai topeng itu. Dia merasakan jantungnya yang berdetak kencang. Di sekeliling mereka, kekacauan masih berlanjut. Para tamu undangan berteriak panik. Namun, dalam momen itu, dunia seakan hanya milik mereka berdua. "Maaf... Aku minta maaf," bisik Emily, suaranya hampir tak terdengar di tengah keributan. "Bisakah kamu berdiri sekarang?" tanya pria itu, suaranya bergema rendah. "Ah iya, baik," ucap Emily segera memperbaiki posisinya untuk kembali berdiri. Seiring dengan Emily yang kembali berdiri, hembusan napas lega terdengar dari para tamu yang sebelumnya terpaku dalam ketakutan. "Apakah kalian baik-baik saja?" tanya pembawa acara dengan suara penuh kepedulian. "Iya, kami baik-baik saja," jawab Emily, matanya masih tertuju pada pria bertopeng di sampingnya. Setelah memastikan keadaan keduanya, pembawa acara melangkah mantap menuju podium kecil, matanya fokus menatap pasangan yang b
"Daniel? Emily?" suara Alice, meskipun tertahan, mengandung kekecewaan yang tak terselubung. Daniel dan Emily menoleh, pandangan mereka bertemu dengan tatapan Alice yang tajam. Emily merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia langsung menyadari betapa bodohnya dia karena Daniel telah memiliki Alice sebagai kekasihnya. "Apa kalian sudah saling mengenal?" tanya Alice."Maafkan aku, Alice. Sepertinya aku harus pulang dulu," jawab Emily, suaranya bergetar menahan emosi, matanya menatap Alice dengan penuh rasa bersalah sebelum akhirnya meninggalkan mereka yang masih terdiam di tempat. Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut, perkataan Emily tadi sempat membuat pertahanan dirinya terganggu. Sepertinya dia harus berterima kasih kepada Alice karena jika tidak, dia mungkin akan berlari, memeluk, dan mencium Emily. Kerinduannya pada Emily benar-benar terasa menyesakkan. Daniel berbalik, hendak menghindar dari Alice. Namun, tangan Alice dengan cepat meraih lengannya, menahannya. "D
Beberapa asisten rumah tangga itu menuruti perintah Daniel, meninggalkan mereka berdua. Fred yang masih belum bisa meredakan amarah di dadanya, segera menarik kerah Daniel, tangannya mengepal erat, siap untuk melancarkan pukulan lagi. Namun saat matanya bertemu dengan tatapan tenang Daniel dan tanpa perlawanan, amarahnya seolah memudar. Dia melepaskan kerah Daniel, tangannya sedikit menghempaskannya. "Sebaiknya kita membicarakan ini di dalam ruanganku saja," ucap Daniel, berusaha berdiri dan membawa Fred menuju ruang kerjanya. "Aku membesarkan Emily dengan penuh cinta," kata Fred saat berada dalam ruang kerja Daniel, suaranya bergetar menahan emosi, matanya menatap Daniel dengan penuh kesedihan. "Meskipun aku bukanlah ayah kandungnya, Emily tetap putriku. Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti dan melukainya." "Aku sudah mengetahui dari Emily tentang kematian orang tuamu," ucap Fred, suaranya berat, "Aku tidak tahu jika Thomas benar-benar mampu melakukan hal keji
Hujan air mata membasahi pipi Alice. Gelasnya kosong, tergeletak di meja bar, sama kosongnya dengan hatinya. Setiap tetes alkohol yang ditelannya tak mampu meredakan rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Sudah bertahun-tahun ia menyimpan rasa kepada Daniel, namun hanya kehampaan yang ia dapatkan selama ini. "Daniel, kenapa kamu begitu kejam?" bisiknya, suaranya teredam oleh isak tangis. Kepalanya terasa berat, kesadarannya perlahan memudar, hingga akhirnya terkulai lemas di atas meja.Seorang pria yang sedari tadi memperhatikannya dengan tatapan tajam, akhirnya bangkit dari duduknya. Dia mendekat, wajahnya dihiasi senyum yang penuh kemenangan. "Nona, apakah kau baik-baik saja? Perlukah aku mengantarmu pulang?"Alice tak mendengarnya. Nama Daniel terus terngiang di kepalanya, menyayat hatinya. Pria itu dengan lembut membantu Alice berdiri. "Ayo, kita pulang," ucapnya, suaranya lembut, namun ada sesuatu yang dingin di balik senyumnya. Tatapan matanya menyeramkan, seperti ular yang b
Alice merasa tidak nyaman ketika dia mengingat kembali kejadian semalam. Kenangan akan muntahnya yang mengotori baju Richard begitu jelas, menjadi pengingat nyata dari kegilaan yang dia lakukan dalam keadaan tidak sadar. Namun, yang lebih menakutkan untuknya adalah kenangan akan ciuman itu, bagaimana dia salah mengira Richard sebagai Daniel."Apa yang telah aku lakukan?" bisik Alice sambil menutup seluruh wajah dengan kedua tangannya. Rasa malu yang terasa begitu nyata menekan dadanya dengan berat. Ingatan tentang ciuman itu, tentang bibir mereka yang bertemu, berputar kembali di pikirannya seperti film yang terus berulang. "Aku ingin menghilang saja," desis Alice, suaranya tersendat oleh rasa jijik pada dirinya sendiri. "Pasti dia akan menganggapku sebagai wanita aneh dan penuh gairah. Bisa-bisanya kamu mempermalukan dirimu sendiri, Alice."***Sementara itu, Emily dengan lembut menyisir rambut Grace, jari-jarinya bergerak dengan penuh kasih sayang. Rambut Grace yang lembut terurai,
"Sean..." suara Emily nyaris tak terdengar, matanya tertunduk. "Maaf kalau aku terkesan sangat memaksa," kata Sean, suaranya bercampur dengan sedikit keputuasaan. "Aku akan menunggumu, sampai kamu bisa membuka hatimu untukku. Ini adalah terakhir kalinya aku bertanya. Maafkan aku." Emily menggigit bibirnya, rasa bersalah menggerogoti hatinya. Dia ingin mengatakan pada Sean bahwa dia akan mencoba, memberinya kesempatan. Tapi, Sean telah memotong ucapannya, membuatnya ragu untuk mengutarakan kata-kata yang berputar-putar di pikirannya. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Saat mobil Sean berhenti di depan rumah Emily, dia membantu Emily keluar dari mobil. "Biar aku bantu gendong Grace," tawar Sean, tatapannya tertuju pada wajah Emily. Emily keluar dari mobil dan membuka pintu rumahnya. Setelah itu, dia menerima Grace dari pelukan Sean. Gadis kecil itu tertidur lelap, dadanya naik turun dengan teratur. "Terima kasih untuk hari