Mata Daniel menatap Emily dengan cemas dan marah. Kenangan tentang perkataan ayah kandung Emily tentang takdir kematian Emily jika bersamanya terus menghantuinya. Tindakan Emily menghalangi jalan mobilnya yang sedang melaju membuat rasa takutnya semakin menjadi-jadi."Kenapa kamu selalu menghindariku? Bisakah kita berbicara sebentar saja?" tanya Emily dengan nada serius. Matanya menatap tajam dan dingin mata Emily. "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," jawabnya, suaranya datar. "Pergilah, jangan halangi jalanku lagi."Daniel berbalik, memasuki mobilnya dengan cepat. Emily mencoba meraih pintu mobil, mengetuk kaca jendela mobil Daniel. "Daniel! Tunggu!" teriaknya, suaranya tertelan oleh deru mesin yang mulai menyala. Mobil Daniel melaju, meninggalkan Emily yang berdiri di tengah jalan. "Bagaimana aku bisa menjelaskan tentang proposal ini padanya jika dia terus menghindar seperti ini?" gumam Emily, suaranya tertekan, mencerminkan kekesalan yang menggerogoti hatinya. Emily menat
Emily berputar-putar di dalam rumah, kebingungan saat mendapati kamar tidur Daniel kosong. "Ke mana dia?" gumam Emily kesal, suaranya berbisik pelan. Saat Emily memasuki sebuah ruangan yang tidak terkunci, ruangan itu terlihat gelap. Pintu jendela terbuka lebar, suara rintikan hujan yang deras terdengar dari luar dan di balik jendela terlihat seseorang berdiri di balkon, siluetnya samar-samar dalam ruangan redup yang hanya disinari cahaya bulan yang masuk. Emily mendekati orang itu, jantungnya berdetak kencang. Seiring langkahnya mendekat, siluet itu semakin jelas. Orang itu tengah berdiri di balkon, tampak termenung, menatap kosong ke arah langit yang gelap. "Daniel," panggil Emily. Daniel menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Emily. Tatapannya dingin, tanpa sedikitpun kelembutan. Asap rokok mengepul keluar dari bibirnya, terbawa angin malam yang dingin. Emily terkejut melihat perubahan mantan suaminya. Dia yakin Daniel tidak pernah merokok sebelumnya. Tetapi saat ini, jari pri
Pertanyaan Emily membuat Sean terdiam. Beberapa menit yang lalu, Daniel meneleponnya dan memintanya untuk menjemput Emily pulang. Daniel khawatir karena Emily harus pulang dalam keadaan hujan deras seperti ini. Sean yang baru menyadari bahwa Emily sedang berada di rumah Daniel, langsung menginjak pedal gas, melaju kencang menuju rumah Daniel. Rasa cemburu menggerogoti hatinya. "Sean," panggil Emily, membuyarkan lamunannya. "Iya, ada apa?" tanya Sean. "Bagaimana kamu bisa tahu aku berada di rumah Daniel?" Emily kembali mengulang pertanyaannya. "Ah, kebetulan aku sedang ada urusan penting untuk membahas pekerjaan dengan Daniel. Tetapi asisten rumah tangga Daniel mengatakan kebetulan kamu juga berada di sini," jawab Sean, berbohong pada Emily. "Oh begitu," jawab Emily dengan nada datar. 'Maafkan aku yang berbohong padamu, Emily. Aku merasa sedikit bersalah karena memanfaatkan situasi tentang takdir kalian yang tidak bisa bersama. Tapi aku juga merasa lega karena dengan takdir itu,
Insting Emily seketika terpicu saat kecelakaan hampir terjadi. Dengan refleks yang cepat, dia menginjak rem untuk menghindari tabrakan dengan mobil di sampingnya yang melaju kencang. Namun, mobil di belakangnya tidak memiliki waktu untuk bereaksi dan dengan suara dentuman keras, mobil tersebut menabrak bagian belakang mobil Emily. Suara klakson mulai terdengar di mana-mana saat mobil Emily berhenti di tengah jalan. Ekspresi terkejut yang mendalam terpancar jelas dari wajah Daniel saat dia menyaksikan bahaya yang mengintai Emily. Matanya membulat, dan dalam sekejap, gelombang kepanikan dan kekhawatiran mendalam melanda dirinya. "Hentikan mobilnya, Richard!" desis Daniel dalam keadaan panik, suaranya terdengar tenang namun terselip ketakutan yang tak tersembunyi di tengah keadaan genting itu. Seorang pria turun dari mobilnya dengan wajah penuh kejutan karena Emily menghentikan mobilnya mendadak, menyebabkan bagian depan mobilnya rusak. "Turun kamu!" teriak pria itu sambil mengetuk k
Mendengar perkataan asisten rumah itu membuat Emily kembali terhanyut dalam kenangan malam itu, di mana bayangan tentang Daniel yang merokok di hadapannya untuk pertama kali. Emily meraih napas dalam-dalam, bibirnya melengkung dalam senyum pahit saat dia berkata, "Kami tidak mungkin bisa bersatu kembali." Akhirnya, langkah mereka membawa mereka ke ruang makan yang mewah di dalam kediaman Daniel. "Nyonya, mohon tunggu sebentar. Kami akan segera mempersiapkan makanan untuk Nyonya," ucap asisten rumah tangga dengan suara lembut, matanya mencerminkan kerendahan hati dan dedikasi yang tak tergoyahkan. "Baiklah," jawab Emily dengan suara lembut sambil duduk di ruang makan yang megah, menunggu dengan sabar. Tidak butuh waktu lama, beberapa asisten rumah tangga dengan cermat menghidangkan hidangan-hidangan lezat di atas meja, menciptakan harmoni aroma yang menggoda di ruangan yang elegan itu. "Silahkan dimakan, Nyonya," ucap asisten rumah tangga kepercayaan kakek Daniel sebelum pamit da
"Baiklah, biar aku yang mengemudi saja," usul Richard.Emily memberikan kunci mobilnya pada Richard sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Richard sambil menyetir mobil Emily."Aku ingin bertanya tentang kakek," ucap Emily pelan, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tersembunyi."Ketua? Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Richard penasaran.Emily menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Apakah pembunuh kakek sudah ditemukan?"Sejenak keheningan menyelimuti, tak ada suara yang terdengar hingga akhirnya Richard memecah keheningan dengan jawaban singkat, "Belum.""Pihak kepolisian berhasil mendapatkan keberadaan pembunuh itu dan menangkap anak buahnya, namun sayangnya pembunuh itu berhasil melarikan diri. Beberapa tahun kemudian, keberadaannya akhirnya terungkap, tim kepolisian pun kembali berhasil menemukannya, tapi.. " Richard terdiam sejenak, ekspresi wajahnya mence
Grace dengan penuh keberanian mengirimkan pesan kepada Daniel, namun cemas melihat pesannya tidak dibalas. Akhirnya, dia memutuskan untuk memanggil Daniel sebelum Emily kembali. Setelah beberapa nada panggilan, suara berat terdengar dari ujung sambungan telepon. "Halo," terdengar suara Daniel dari ujung sambungan, membuat Grace merasa lega. "Paman, ini aku," ucap Grace dengan suara kecil dan penuh kepolosan, membuat sebuah senyum tipis terukir di bibir Daniel. Meskipun dia sangat ingin dekat dengan putrinya, Daniel tetap berusaha untuk menahan diri dan tidak menemuinya."Aku tahu. Ada apa?" tanya Daniel dengan suara hangat namun berusaha tetap tenang. "Aku mengirim pesan tapi tidak dibalas," ucap Grace. "Maafkan aku. Aku belum melihat pesanmu," ucap Daniel dengan lembut."Bisakah kita bertemu hari ini?" tanya Grace dengan penuh harapan.Tidak mendengar jawaban dari ujung telepon, Grace akhirnya kembali berkata. "Apakah Paman ingin membuat seorang anak kecil menunggu terlalu lama d
Emily menekan tombol pengatur waktu. Lampu kilat menyala, menangkap momen kebahagiaan itu di dalam photo booth. Grace langsung berteriak, "Lihat, Mom! Foto kita!" Dia menunjuk ke foto mereka yang sudah tercetak dan keluar dari mesin. Grace memiringkan kepalanya, dahinya berkerut dengan rasa ingin tahu. "Paman, mengapa wajah Paman sangat kaku dan tidak tersenyum sama sekali di sini?" tanyanya dengan suara polos dan manis. Emily tak kuasa menahan tawanya. Wajah Daniel, yang tertangkap dalam foto-foto itu, membeku dalam ekspresi datar."Maaf," bisik Emily, suaranya hampir tak terdengar saat matanya tidak sengaja bertemu dengan tatapan tajam Daniel yang menusuk padanya. Setelah selesai dari permainan arkade, mereka memasuki toko mainan untuk membeli beberapa mainan untuk Grace. Mata Grace berbinar-binar melihat beberapa mainan di sana.Saat mereka sampai di kasir, Daniel sekali lagi mengeluarkan dompetnya. "Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu membayar ini," protes Emily. "Kamu sudah m