Hati Emily berdebar kencang. Dia merasakan hawa canggung yang menyelimuti ruangan itu. Seolah-olah waktu telah menjebaknya dalam situasi yang salah. Dengan kilatan gugup, Emily berbalik, menghindari tatapan Daniel. "Maafkan aku," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku akan menunggu di luar."Emily meraih gagang pintu, jari-jarinya gemetar. Namun, sebelum tangannya menyentuh dinginnya logam, sebuah tangan kekar mencengkeram pergelangan tangannya. Emily tersentak, jantungnya berdebar semakin kencang.Ketika dia berbalik, tatapannya langsung bertemu dengan sepasang mata biru tajam yang dingin. Sesaat, Emily terpaku, terpesona oleh intensitas tatapan itu. Tubuh kekar Daniel mendekat, tangannya menariknya mendekat, hingga tubuhnya terhimpit di dinding, terkurung dalam pelukannya. Napasnya terengah-engah, terjebak dalam tatapan yang begitu intens, seolah-olah waktu berhenti berdetak."Bukankah sudah ku katakan dengan jelas bahwa aku tidak mau menemuimu?" ucap Daniel secara perlahan, suaranya be
"Mom," panggil Grace. Emily menghentikan dongengnya, matanya bertemu dengan mata Grace yang mulai mengantuk. "Hmm, ada apa, sayang?" tanyanya lembut, jari-jarinya mengelus pipi Grace. "Apakah Mom cinta dengan Paman Sean?" tanya Grace. Emily terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Grace. "Sudah kubilang, fokus saja dengan pelajaranmu di sekolah," katanya."Mom, jangan bersama Paman Sean. Aku lebih menyukai Paman Daniel," ujar Grace.Emily merasakan dadanya sesak. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin antara seorang ayah dan anak? Meskipun Grace tidak tahu siapa ayahnya sebenarnya, namun ketertarikannya pada Daniel begitu kuat."Grace, sayang," kata Emily, suaranya bergetar, berusaha menahan air matanya sendiri. "Mom mencintaimu, dan akan selalu ada untukmu. Tapi, cinta itu rumit, dan terkadang kita tidak bisa memilih ingin bersama dengan siapa.""Aku tidak mengerti," bisik Grace, matanya tertuju pada boneka beruang kesayangannya. "Sayang, suatu hari nanti kamu akan mengerti,"
Setelah puas larut dalam segala kesedihan di hatinya, Emily melepaskan dirinya dari pelukan Sean. Air matanya meninggalkan jejak yang masih terlihat di pipinya. "Maafkan aku," bisiknya. "Tidak apa-apa," jawab Sean penuh pengertian. Selama ini Emily tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada Grace maupun ayahnya. Dia selalu berusaha tegar karena dia tidak ingin membuat kedua orang yang disayanginya itu khawatir padanya. Tetapi hari ini dia merasa emosinya cukup terluapkan. "Terima kasih, Sean," ucap Emily sebelum turun dari mobil.Sean ikut mengantar kepergian Emily untuk masuk ke dalam rumahnya sambil melambaikan tangannya dan tersenyum. Emily membalas senyuman Sean dan melambaikan tangannya kembali. Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Daniel. Dia mengamati dari kaca jendela mobil, raut wajahnya dingin. Saat Sean akan kembali masuk ke dalam mobilnya, dia melihat sebuah mobil hitam yang berada tidak jauh dari mobilnya. Ketika Sean berjalan mendekati mobil tersebut, Daniel me
"Besok, saat kamu resmi bekerja, saya akan memberikan informasi lebih lanjut tentang investor tersebut. Bersiaplah dengan baik," ucap Pak Ryan, suaranya tenang namun penuh makna."Baik, Pak," jawab Emily, nada hormat tersirat dalam suaranya. "Tapi bagaimana jika saya tidak berhasil mendapatkan kepercayaan investor itu?" tanyanya. "Kalau begitu, kamu tidak akan bisa mendapatkan jabatan manajer investasi di perusahaan kami," jawab Pak Ryan. Emily terdiam, matanya terpaku pada meja. Jika dia ingin mendapatkan posisi itu, dia harus mendapatkan kepercayaan investor itu. Tidak ada pilihan lain. Tekanan yang dirasakannya semakin kuat, bagaikan tangan tak kasat mata mencekiknya. Dia harus berhasil.Seolah membaca pikiran Emily, Pak Ryan tersenyum hangat, matanya berbinar dengan keyakinan. "Saya yakin kamu akan mampu menghadapi tugas ini dengan baik. Saya yakin kepercayaan investor ini akan menjadi milikmu," ucapnya dengan penuh keyakinan, membuat hati Emily berdesir dengan campuran rasa gug
Daniel juga sama terkejutnya dengan Emily. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Emily dalam keadaan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, dan dia berusaha bersikap normal, seperti tidak mengenalnya. Namun, di dalam hatinya, dia merasa sedikit bingung bagaimana Emily dan Alice bisa saling mengenal."Apakah kamu sudah lama menunggu?" tanya Daniel pada Alice, suaranya terdengar datar. Matanya menghindari kontak mata dengan Emily, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa terkejutnya."Aku sudah lama menunggu. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Alice berbohong padahal dia juga baru saja keluar dari butik. Matanya melirik ke arah Emily kemudian tersenyum kecil padanya, mengisyatkan kebohongan yang dilontarkannya pada Daniel. "Alice, aku pergi dulu ya," pamit Emily dengan suara pelan. "Aku masih harus menjemput putriku," suaranya terdengar sedikit gemetar. "Eh, tunggu sebentar," ujar Alice sambil menahan lengan Emily."Ada apa?" tanya Emily. Alice tersenyum ceria dan berkata, "O
Emily terdiam, matanya terlihat gelisah saat dia mencerna informasi yang diberikan Pak Ryan. Keraguannya semakin dalam sebelum akhirnya dia bisa melanjutkan, "Apakah Investor yang harus saya yakinkan itu..." Suaranya terputus sejenak, mencerminkan kebingungan yang terus menghantui pikirannya.Pak Ryan mengangguk, "Dia pernah menjabat sebagai CEO di W Company." Jawaban singkat itu tidak hanya menghilangkan keraguan Emily, tapi juga menambah kepercayaan akan tebakannya. "'Pak Daniel Winston?' tanya Emily dengan nada ragu, berusaha memastikan tebakannya lagi. Pak Ryan memberikan anggukan sebelum menjawab pertanyaan Emily. "Tim HR perusahaan menemukan bahwa kamu sebelumnya pernah bekerja sebagai sekretaris yang bekerja langsung dengan Pak Daniel Winston. Hal ini membuat kami yakin bahwa posisi ini sangat cocok untukmu. Kami sangat berharap kamu dapat meyakinkan Pak Winston untuk berinvestasi di perusahaan ini."Emily merasa seolah dunianya runtuh tiba-tiba. Meskipun ia sangat berusaha m
Mata Daniel menatap Emily dengan cemas dan marah. Kenangan tentang perkataan ayah kandung Emily tentang takdir kematian Emily jika bersamanya terus menghantuinya. Tindakan Emily menghalangi jalan mobilnya yang sedang melaju membuat rasa takutnya semakin menjadi-jadi."Kenapa kamu selalu menghindariku? Bisakah kita berbicara sebentar saja?" tanya Emily dengan nada serius. Matanya menatap tajam dan dingin mata Emily. "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," jawabnya, suaranya datar. "Pergilah, jangan halangi jalanku lagi."Daniel berbalik, memasuki mobilnya dengan cepat. Emily mencoba meraih pintu mobil, mengetuk kaca jendela mobil Daniel. "Daniel! Tunggu!" teriaknya, suaranya tertelan oleh deru mesin yang mulai menyala. Mobil Daniel melaju, meninggalkan Emily yang berdiri di tengah jalan. "Bagaimana aku bisa menjelaskan tentang proposal ini padanya jika dia terus menghindar seperti ini?" gumam Emily, suaranya tertekan, mencerminkan kekesalan yang menggerogoti hatinya. Emily menat
Emily berputar-putar di dalam rumah, kebingungan saat mendapati kamar tidur Daniel kosong. "Ke mana dia?" gumam Emily kesal, suaranya berbisik pelan. Saat Emily memasuki sebuah ruangan yang tidak terkunci, ruangan itu terlihat gelap. Pintu jendela terbuka lebar, suara rintikan hujan yang deras terdengar dari luar dan di balik jendela terlihat seseorang berdiri di balkon, siluetnya samar-samar dalam ruangan redup yang hanya disinari cahaya bulan yang masuk. Emily mendekati orang itu, jantungnya berdetak kencang. Seiring langkahnya mendekat, siluet itu semakin jelas. Orang itu tengah berdiri di balkon, tampak termenung, menatap kosong ke arah langit yang gelap. "Daniel," panggil Emily. Daniel menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Emily. Tatapannya dingin, tanpa sedikitpun kelembutan. Asap rokok mengepul keluar dari bibirnya, terbawa angin malam yang dingin. Emily terkejut melihat perubahan mantan suaminya. Dia yakin Daniel tidak pernah merokok sebelumnya. Tetapi saat ini, jari pri