Acara memancing dengan geng Dalton batal karena aku tidak bangun. Hal idiotnya: kami tidak ada yang bangun, kecuali Elka. Jadi, begitu malam tiba, Reila mengetuk pintu Gerha—bukan pintu depan, tetapi pintu belakang—yang itu artinya dia melompati pagar baru mengetuk pintu, membawa Fal di tangannya yang bilang, “Fal tidak bisa tidur. Temani main.”
Aku menatap Reila. Dia bilang, “Jujur saja, aku ngantuk berat.”
“Layla?”
“Sudah mimpi.”
Sejujurnya aku mau mencoba berkomunikasi dengan Lavi, tetapi menemani Fal tampaknya bukan sesuatu yang bisa kutolak, jadi kubawa dia ke Balai Dewan, satu-satunya tempat yang masih bersinar terang. Nuel sedang duduk di resepsionis. Kujelaskan apa yang terjadi, dia bilang, “Tempati ini saja. Aku juga mau kembali.”
Aku lupa sudah berapa lama di Padang Anushka, tetapi itu pertama kalinya aku duduk di meja resepsionis. Mejanya tipe bangku yang punya penut
Fal sungguhan tidur, jadi meja resepsionis kelewat sunyi.“Tampaknya pilihan bagus tidak keluar saat momennya begitu.”Aku langsung menoleh, melihat Jesse keluar ruangan.Dia mengangkat alis. “Bukan hanya aku yang menguping. Nuel, Asva juga. Tadinya mau main dengan Fal. Melepas penat atau apa pun. Terlalu banyak hal mengerikan yang kami dapat. Tapi momennya buruk—kau keberatan aku duduk di sini?” Dia menunjuk meja—seberapa kagetnya aku, itu pertama kali dia minta izin untuk hal berbau kurang ajar—tetapi aku mengangguk.“Dia tidak cocok di sini,” katanya, duduk.“Fal?”“Melihatnya di sini membuatku ingin kedamaian. Mungkin kalau aku bisa lihat seperti apa wujudku saat enam tahun, aku pasti bersyukur. Seburuk-buruknya masa laluku, rasanya masih tidak sebanding dengannya.”Dia melempar camilan kecil ke mulutnya, membuatku termenung. Aku tahu Jesse di malam hari
Gagasan pertama yang kulakukan: duduk senyaman mungkin, memejamkan mata, tetap memeluk erat Fal, membayangkan segala hal yang kuingat tentang Lavi: wajahnya yang tidak tertandingi, menghipnotis sampai terkesan membekukan, atau senyum lebarnya dengan cara memandang yang unik—aku tahu ini cara keterlaluan untuk terhubung, tetapi sejauh kami melakukannya, gagasan ini tidak pernah gagal membuat suara Lavi terdengar di kepalaku.Sayangnya, cara ini kerjanya satu arah. Kami hanya bisa bergantung pada keberuntungan. Jadi, ketika suaranya terdengar, beberapa detik awal biasanya agak membuatku merona. Itu artinya kami terhubung—saat aku memikirkannya, dia juga memikirkanku, dan rasanya cukup idiot karena isi kepalaku—yang hampir sebagian isinya berupa Lavi—seperti terbuka terang-terangan pada orangnya. Rasanya idiot karena hanya dengan tahu kami saling memikirkan dalam momen yang sama sudah cukup membuatku terbang tinggi. Jesse pernah bilang komunikasi ini sepe
Dua kano berjejer di danau Pulau Pendiri.Aku, Dalton, Elka dalam satu kano. Haswin dan Yasha kano yang lain. Lima pancingan terlempar ke danau. Dua ember penuh. Tiga ember terisi setengah. Dua ember lagi kosong. Mereka berempat sama sekali tidak berkedip ketika kuceritakan semua yang terjadi pada Layla. Dan hanya itu yang bisa kujelaskan. Aku semata-mata tidak bisa menceritakan tentang Fal.“Jujur, aku baru tahu semua itu,” kata Yasha. “Mars bukan tipe asrama yang membuatmu tahu segala hal yang dilakukan penghuni. Kebanyakan dari kami agak tertutup. Ruangan juga hampir satu orang satu kamar.”“Atau kau yang terlalu tertutup,” komentar Haswin.“Memangnya kau tahu semua kejadian itu?”“Tahu gosipnya, tapi tidak tahu soal Layla.”“Venus punya sistem bagi kamar,” jelas Elka. “Yang punya ide itu Layla. Mereka bebas sekamar dengan siapa pun. Kamar kosong juga dimanfaatk
Aku berjanji pada Jesse akan memberitahunya setiap mendapatkan info—yang menurut Jesse perlu dilakukan sebagai ganti Lavi di sisiku. Dia bilang, “Lavi memperingatiku kau butuh orang yang memberimu saran.” Dan aku tidak tahu lagi seberapa hebat Lavi dalam memperkirakan gerakanku. Aku bisa saja marah karena dia seperti mendikte. Namun, Lavi yang kukenal pasti hanya akan nyengir, berkata, “Siapa yang mendiktemu? Jangan ge-er, deh.”Jesse memang pihak paling netral. Tim peneliti selalu di area paling putih. Tidak ada alasan mencurigai mereka. Dan aku paham betul suasana yang kurasakan dari Jesse sudah jauh beda dari saat kami pertama bertemu. Setelah Lavi, dia satu-satunya yang paling kupercaya dalam urusan ini.Jadi, ketika tidak ada siapa pun di ruangan peneliti, hanya aku dan dia, aku menceritakan apa yang kubicarakan dengan geng Dalton. Rasanya mengerikan saat dia memerhatikan semua yang kukatakan. Biasanya dia sambil melakukan sesuatu. Ku
Ini ide Tara.Aku tidak mau kami berakhir menunggu waktu hingga Fal menginjak usia delapan tahun. Lagi pula, kami tidak tahu hari lahirnya—atau ralat, Jesse pasti tahu, tetapi aku tidak mau tahu. Aku tidak mau berakhir semakin muram, merenungkan detik-detik waktu yang semakin habis. Aku tidak mau kembali ke momen kepergian Aza dan Nenek. Masih lebih baik menjadi orang yang tidak tahu. Itu membuatku bisa menikmati waktu bersama Fal seolah-olah ini hari terakhirnya.Jadi, di tengah hari-hari itu, aku juga ingin melakukan sesuatu yang punya potensi mengubah takdir Fal. Dan beruntungnya, Tara punya ide miring.“Pertama, temui pemilik kemampuan roh. Hal bagusnya, dia tahu masa lalu. Hal buruknya, tidak mengubah kematian.”“Kedua?”“Hancurkan bom waktu. Hal bagusnya, tidak pernah punya dua kemampuan khusus, hidup. Hal buruknya, cari kemampuan roh untuk ingatannya, dan cari cara menghentikan kepemilikan dua kemampuan kh
Gagasan yang kupikirkan tentang patroli: aku duduk di pondok perbatasan, menemani Mister dalam kesunyian malam perbatasan Padang Anushka.Namun, di pondok perbatasan yang berukuran kecil—seperti saung tengah sawah, sudah ada Mister, Kara, dan Aaron yang bermain kartu.“Oh, Forlan!” seru Kara menyambutku. “Patroli?”Aku tidak menjawab, hanya mengangguk.Aku tidak masalah dengan Kara. Justru masuk akal kalau Kara terus terjaga sepanjang hari. Sebagai satu-satunya dewan pemilik kemampuan yang berinteraksi tanpa henti dengan penghuni, dia harus paling waspada dari dewan yang tersisa. Itu cukup terlihat dari kelelahan yang berusaha disembunyikan Kara. Hanya saja, sosok Aaron di sisinya, membuat aura waspadaku memancar lebih dari yang kupikirkan.Tampaknya Kara menyadari itu.“Duduk di sampingku, Nak.”“Aku tidak pernah lihat Aaron sejak misi pertamaku,” kataku.Namun, Aaron tidak
Rasanya cukup berlebihan memikirkan jalan menuju Anggara akan mulus.Maksudku, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat masuk Joglo. Yang itu artinya, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat berkeliaran di area Joglo sebelum masuk, mendorong rak buku, dan menuruni tangga Anggara.Jadi, bagaimana kalau Kara, secara teknis, meminta seseorang mengawasi Gerha secara khusus, yang juga berpatroli kompleks Padang Anushka—dan secara kebetulan yang bodoh, dia orang yang tidak boleh tahu soal Anggara?Jelas aku langsung berhenti saat bertemu Aaron.Kehadiran Aaron mengingatkanku akan kehadiran Jenderal. Mungkin kami hanya tidak sengaja berpapasan di jalan berpaving, tetapi kehadirannya terasa jauh lebih menekan dibanding saat kami di pondok perbatasan. Aku cukup heran dengan darah murni di Padang Anushka. Reila, ketika pertama bertemu dengannya, rasanya ada bongkahan rindu seolah kerinduannya meresap ke setiap jengkal diriku. Lavi, auranya terkesan cerah, pe
Tiba-tiba aku sudah berhadapan dengan Aaron lagi. Dia jelas-jelas berdiri di depan mataku, menutup seluruh area pandangku, dan tiba-tiba keringatku sudah mengalir di pipi. Gejolak panas membara di benakku. Aku segera mundur.“Apa itu?” tuntutku, berhasil bicara.“Keistimewaan darah murni.”Mana mungkin aku tidak menggeleng. “Keistimewaan?”“Belum pernah ada lagi darah murni sejak sepuluh tahun lalu. Belum pernah ada sampai kau tiba di sini. Tidak ada yang menyangka darah murni pertama sejak perang terakhir itu kau.”Nadanya terdengar kecewa, jadi aku lumayan tersinggung. “Maksudmu?”“Ada gagasan darah murni pertama yang datang setelah perang terakhir bisa merusak alur perang.”“Siapa yang bilang begitu? Ratu Arwah?”“Erick.”Aku langsung memutar bola mata. “Dia bukan siapa-siapa.”“Tidak ada yang tahu