Gagasan pertama yang kulakukan: duduk senyaman mungkin, memejamkan mata, tetap memeluk erat Fal, membayangkan segala hal yang kuingat tentang Lavi: wajahnya yang tidak tertandingi, menghipnotis sampai terkesan membekukan, atau senyum lebarnya dengan cara memandang yang unik—aku tahu ini cara keterlaluan untuk terhubung, tetapi sejauh kami melakukannya, gagasan ini tidak pernah gagal membuat suara Lavi terdengar di kepalaku.
Sayangnya, cara ini kerjanya satu arah. Kami hanya bisa bergantung pada keberuntungan. Jadi, ketika suaranya terdengar, beberapa detik awal biasanya agak membuatku merona. Itu artinya kami terhubung—saat aku memikirkannya, dia juga memikirkanku, dan rasanya cukup idiot karena isi kepalaku—yang hampir sebagian isinya berupa Lavi—seperti terbuka terang-terangan pada orangnya. Rasanya idiot karena hanya dengan tahu kami saling memikirkan dalam momen yang sama sudah cukup membuatku terbang tinggi. Jesse pernah bilang komunikasi ini sepe
Dua kano berjejer di danau Pulau Pendiri.Aku, Dalton, Elka dalam satu kano. Haswin dan Yasha kano yang lain. Lima pancingan terlempar ke danau. Dua ember penuh. Tiga ember terisi setengah. Dua ember lagi kosong. Mereka berempat sama sekali tidak berkedip ketika kuceritakan semua yang terjadi pada Layla. Dan hanya itu yang bisa kujelaskan. Aku semata-mata tidak bisa menceritakan tentang Fal.“Jujur, aku baru tahu semua itu,” kata Yasha. “Mars bukan tipe asrama yang membuatmu tahu segala hal yang dilakukan penghuni. Kebanyakan dari kami agak tertutup. Ruangan juga hampir satu orang satu kamar.”“Atau kau yang terlalu tertutup,” komentar Haswin.“Memangnya kau tahu semua kejadian itu?”“Tahu gosipnya, tapi tidak tahu soal Layla.”“Venus punya sistem bagi kamar,” jelas Elka. “Yang punya ide itu Layla. Mereka bebas sekamar dengan siapa pun. Kamar kosong juga dimanfaatk
Aku berjanji pada Jesse akan memberitahunya setiap mendapatkan info—yang menurut Jesse perlu dilakukan sebagai ganti Lavi di sisiku. Dia bilang, “Lavi memperingatiku kau butuh orang yang memberimu saran.” Dan aku tidak tahu lagi seberapa hebat Lavi dalam memperkirakan gerakanku. Aku bisa saja marah karena dia seperti mendikte. Namun, Lavi yang kukenal pasti hanya akan nyengir, berkata, “Siapa yang mendiktemu? Jangan ge-er, deh.”Jesse memang pihak paling netral. Tim peneliti selalu di area paling putih. Tidak ada alasan mencurigai mereka. Dan aku paham betul suasana yang kurasakan dari Jesse sudah jauh beda dari saat kami pertama bertemu. Setelah Lavi, dia satu-satunya yang paling kupercaya dalam urusan ini.Jadi, ketika tidak ada siapa pun di ruangan peneliti, hanya aku dan dia, aku menceritakan apa yang kubicarakan dengan geng Dalton. Rasanya mengerikan saat dia memerhatikan semua yang kukatakan. Biasanya dia sambil melakukan sesuatu. Ku
Ini ide Tara.Aku tidak mau kami berakhir menunggu waktu hingga Fal menginjak usia delapan tahun. Lagi pula, kami tidak tahu hari lahirnya—atau ralat, Jesse pasti tahu, tetapi aku tidak mau tahu. Aku tidak mau berakhir semakin muram, merenungkan detik-detik waktu yang semakin habis. Aku tidak mau kembali ke momen kepergian Aza dan Nenek. Masih lebih baik menjadi orang yang tidak tahu. Itu membuatku bisa menikmati waktu bersama Fal seolah-olah ini hari terakhirnya.Jadi, di tengah hari-hari itu, aku juga ingin melakukan sesuatu yang punya potensi mengubah takdir Fal. Dan beruntungnya, Tara punya ide miring.“Pertama, temui pemilik kemampuan roh. Hal bagusnya, dia tahu masa lalu. Hal buruknya, tidak mengubah kematian.”“Kedua?”“Hancurkan bom waktu. Hal bagusnya, tidak pernah punya dua kemampuan khusus, hidup. Hal buruknya, cari kemampuan roh untuk ingatannya, dan cari cara menghentikan kepemilikan dua kemampuan kh
Gagasan yang kupikirkan tentang patroli: aku duduk di pondok perbatasan, menemani Mister dalam kesunyian malam perbatasan Padang Anushka.Namun, di pondok perbatasan yang berukuran kecil—seperti saung tengah sawah, sudah ada Mister, Kara, dan Aaron yang bermain kartu.“Oh, Forlan!” seru Kara menyambutku. “Patroli?”Aku tidak menjawab, hanya mengangguk.Aku tidak masalah dengan Kara. Justru masuk akal kalau Kara terus terjaga sepanjang hari. Sebagai satu-satunya dewan pemilik kemampuan yang berinteraksi tanpa henti dengan penghuni, dia harus paling waspada dari dewan yang tersisa. Itu cukup terlihat dari kelelahan yang berusaha disembunyikan Kara. Hanya saja, sosok Aaron di sisinya, membuat aura waspadaku memancar lebih dari yang kupikirkan.Tampaknya Kara menyadari itu.“Duduk di sampingku, Nak.”“Aku tidak pernah lihat Aaron sejak misi pertamaku,” kataku.Namun, Aaron tidak
Rasanya cukup berlebihan memikirkan jalan menuju Anggara akan mulus.Maksudku, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat masuk Joglo. Yang itu artinya, kami tidak boleh ketahuan siapa pun saat berkeliaran di area Joglo sebelum masuk, mendorong rak buku, dan menuruni tangga Anggara.Jadi, bagaimana kalau Kara, secara teknis, meminta seseorang mengawasi Gerha secara khusus, yang juga berpatroli kompleks Padang Anushka—dan secara kebetulan yang bodoh, dia orang yang tidak boleh tahu soal Anggara?Jelas aku langsung berhenti saat bertemu Aaron.Kehadiran Aaron mengingatkanku akan kehadiran Jenderal. Mungkin kami hanya tidak sengaja berpapasan di jalan berpaving, tetapi kehadirannya terasa jauh lebih menekan dibanding saat kami di pondok perbatasan. Aku cukup heran dengan darah murni di Padang Anushka. Reila, ketika pertama bertemu dengannya, rasanya ada bongkahan rindu seolah kerinduannya meresap ke setiap jengkal diriku. Lavi, auranya terkesan cerah, pe
Tiba-tiba aku sudah berhadapan dengan Aaron lagi. Dia jelas-jelas berdiri di depan mataku, menutup seluruh area pandangku, dan tiba-tiba keringatku sudah mengalir di pipi. Gejolak panas membara di benakku. Aku segera mundur.“Apa itu?” tuntutku, berhasil bicara.“Keistimewaan darah murni.”Mana mungkin aku tidak menggeleng. “Keistimewaan?”“Belum pernah ada lagi darah murni sejak sepuluh tahun lalu. Belum pernah ada sampai kau tiba di sini. Tidak ada yang menyangka darah murni pertama sejak perang terakhir itu kau.”Nadanya terdengar kecewa, jadi aku lumayan tersinggung. “Maksudmu?”“Ada gagasan darah murni pertama yang datang setelah perang terakhir bisa merusak alur perang.”“Siapa yang bilang begitu? Ratu Arwah?”“Erick.”Aku langsung memutar bola mata. “Dia bukan siapa-siapa.”“Tidak ada yang tahu
Aku tahu apa yang harus kukatakan saat pertama kali masuk Anggara.“Kalian bilang dewan tidak tahu soal Anggara, tapi Kara tahu, dan aku yang di sana saat kita ketahuan, kalian harusnya tahu itu bahaya, kan?”Jesse mengangkat bahu, meneguk habis jus mangga sebelum berkata, “Aku tidak menduga kita ketahuan, tapi itu masuk akal. Dua tahun kita rutin bertemu tiap Selasa, dan mana mungkin dewan tidak curiga saat Gerha pemilik kemampuan sepi di hari tertentu. Mereka pasti tahu pertemuan rahasia. Hanya tidak tahu atau tidak mau tahu. Mereka dewan. Bukan Fal.”Baru kusadari tidak ada Fal di ruang Anggara.Hanya ada Dalton yang fokus pada laptop peneliti sinting, Nuel yang duduk di sampingnya, Reila yang meneguk jus dengan sedotan, dan Isha yang membuat jus lain—kuharap itu untukku. Ruangan ini tanpa Lavi terasa sepi. Bukan maksudku mengatakan tidak ada bedanya ketika Elton ada atau tidak, tetapi kehilangan Lavi berhasil mengubah sua
Waktu tidurku semakin kacau. Kuputuskan ke klinik setelah Anggara.Tidak ada siapa-siapa. Lampu depan klinik selalu menyala—dan terang—jadi klinik tidak diizinkan memiliki suasana mencekam meski pohon-pohon pinus mengelilinginya dengan kelembapan. Ruangan pertama klinik seperti ruang tunggu, dilanjutkan dengan ruang perawatan khusus. Ketika ada yang terluka, Isha biasanya siap menangani, memberi vonis—yang jika cukup parah, akan segera menyarankan istirahat di ruangan dalam. Dan aku, langganan. Pertama, misi selalu membawaku menjadi orang yang punya luka paling banyak. Kedua, tim penyerang punya latihan kelewat brutal—hanya karena Lavi punya perasaan khusus padamu bukan berarti dia melembut. Dia bakal semakin brutal sembari tertawa bahagia.Aku berharap menemukan Fal tidur di klinik, tetapi yang kudapatkan justru orang yang sepemikiran denganku.“Tidak bisa tidur?” sambut Isha, melihatku masuk.“Ada Fal?” ta
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak
Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei