Rencana pagi ini: aku mengobrol dengan Layla saat sarapan—Fal pasti ada bersamanya—tetapi di depan dapur, aku bertemu Haswin. Kupikir dia tidur, seperti Dalton, tetapi dia di sini, mengangkat alis, dan wajahnya segar seolah selama kami berpisah, dia sudah hibernasi selama bertahun-tahun. Rencana B: aku putar balik, memilih jam sarapan telat—Layla mungkin mengomel, tetapi setidaknya aku bisa mengobrol dengan nyaman. Sayangnya, Haswin bisa mengendus rencana B, hingga menyeretku masuk, mengambil makanan, memaksaku satu meja.
Yang perlu kuberitahu: metode makan di sini bukan disuguhkan pelayan tim tungku, tetapi prasmanan. Hampir kebanyakan jam sarapanku selalu telat, sehingga Layla perlu menyisakan makanan, yang terkadang jauh lebih banyak dari rata-rata porsi. Di jam sarapan normal, biasanya Layla sibuk berdiri di dekat pintu ruangan tim tungku, memastikan makanan yang tersisa. Namun, saat ini, ketika aku duduk di meja makan berisi dua piring penuh daging pang
Agaknya aku merasa bersalah tidak benar-benar bersama Layla selama ini.Sejak mendapat informasi target musuh berikutnya Lembah Palapa, selama dua bulan terakhir, Profesor Merla tidak pernah kembali ke Padang Ansuhka. Aku agak cemas, tetapi di misi menjaga terakhir—yang secara teknis mengirim Dalton, Profesor Merla masih di sana, berpatroli setiap malam. Rencananya, Profesor Merla kembali dalam waktu dekat, tetapi dua minggu berlalu, dan entah bagaimana masih belum ada tanda-tanda kembali. Dalton tidak berani bilang ke Layla sejak interaksi terakhir mereka, jadi aku yang mengatakannya, dan Layla kelihatan menerimanya. Dia pasti tidak bisa melawan keadaan. Jadi, aku tidak bisa menyangka kalau Layla ternyata sudah cukup menanggung banyak hal.Aku ingat Profesor Merla bilang Layla sebenarnya hanya ingin didengar—Layla juga terang-terangan mengakui itu padaku. Rasanya agak keterlaluan karena selama dua bulan terakhir, Layla kehilangan orang yang biasa mendengar
Layla dan Tara ternyata berhasil menyembunyikan rahasia sangat baik. Dua orang itu berjanji tidak akan mengatakan pada siapa-siapa, bahwa selama dua bulan terakhir: Fal sudah berulang kali lepas kendali—aku tidak percaya, dan Layla sudah cukup tenang sampai hampir memutar bola mata mengatakan itu. “Oh ya, hampir lima puluh kali. Kau tahu berapa? Satu? Oh, tidak. Aku kecewa padamu.”Dan paradoks terbesar saat kupikirkan semua bermula dari Lukas, ternyata salah. Semua bermula dari satu orang: Troy.Troy punya kebencian tulen pada Layla. Berlaku dua arah. Layla juga. Satu alasan terbaik: Troy benci darah campuran. Mengganggu pemandangan. Gagasan itu membuat segalanya berkobar kembali. Layla, yang membiarkan Fal tinggal di Venus justru memberi jalan baru untuk situasi panas seperti dua tahun lalu. Itu agak penuh kontradiksi. Maksudku, soal Troy. Dia putra Profesor Neil, yang jelas satu-satunya dewan berdarah campuran di Padang Anushka. Dia terlahir dari o
Acara memancing dengan geng Dalton batal karena aku tidak bangun. Hal idiotnya: kami tidak ada yang bangun, kecuali Elka. Jadi, begitu malam tiba, Reila mengetuk pintu Gerha—bukan pintu depan, tetapi pintu belakang—yang itu artinya dia melompati pagar baru mengetuk pintu, membawa Fal di tangannya yang bilang, “Fal tidak bisa tidur. Temani main.”Aku menatap Reila. Dia bilang, “Jujur saja, aku ngantuk berat.”“Layla?”“Sudah mimpi.”Sejujurnya aku mau mencoba berkomunikasi dengan Lavi, tetapi menemani Fal tampaknya bukan sesuatu yang bisa kutolak, jadi kubawa dia ke Balai Dewan, satu-satunya tempat yang masih bersinar terang. Nuel sedang duduk di resepsionis. Kujelaskan apa yang terjadi, dia bilang, “Tempati ini saja. Aku juga mau kembali.”Aku lupa sudah berapa lama di Padang Anushka, tetapi itu pertama kalinya aku duduk di meja resepsionis. Mejanya tipe bangku yang punya penut
Fal sungguhan tidur, jadi meja resepsionis kelewat sunyi.“Tampaknya pilihan bagus tidak keluar saat momennya begitu.”Aku langsung menoleh, melihat Jesse keluar ruangan.Dia mengangkat alis. “Bukan hanya aku yang menguping. Nuel, Asva juga. Tadinya mau main dengan Fal. Melepas penat atau apa pun. Terlalu banyak hal mengerikan yang kami dapat. Tapi momennya buruk—kau keberatan aku duduk di sini?” Dia menunjuk meja—seberapa kagetnya aku, itu pertama kali dia minta izin untuk hal berbau kurang ajar—tetapi aku mengangguk.“Dia tidak cocok di sini,” katanya, duduk.“Fal?”“Melihatnya di sini membuatku ingin kedamaian. Mungkin kalau aku bisa lihat seperti apa wujudku saat enam tahun, aku pasti bersyukur. Seburuk-buruknya masa laluku, rasanya masih tidak sebanding dengannya.”Dia melempar camilan kecil ke mulutnya, membuatku termenung. Aku tahu Jesse di malam hari
Gagasan pertama yang kulakukan: duduk senyaman mungkin, memejamkan mata, tetap memeluk erat Fal, membayangkan segala hal yang kuingat tentang Lavi: wajahnya yang tidak tertandingi, menghipnotis sampai terkesan membekukan, atau senyum lebarnya dengan cara memandang yang unik—aku tahu ini cara keterlaluan untuk terhubung, tetapi sejauh kami melakukannya, gagasan ini tidak pernah gagal membuat suara Lavi terdengar di kepalaku.Sayangnya, cara ini kerjanya satu arah. Kami hanya bisa bergantung pada keberuntungan. Jadi, ketika suaranya terdengar, beberapa detik awal biasanya agak membuatku merona. Itu artinya kami terhubung—saat aku memikirkannya, dia juga memikirkanku, dan rasanya cukup idiot karena isi kepalaku—yang hampir sebagian isinya berupa Lavi—seperti terbuka terang-terangan pada orangnya. Rasanya idiot karena hanya dengan tahu kami saling memikirkan dalam momen yang sama sudah cukup membuatku terbang tinggi. Jesse pernah bilang komunikasi ini sepe
Dua kano berjejer di danau Pulau Pendiri.Aku, Dalton, Elka dalam satu kano. Haswin dan Yasha kano yang lain. Lima pancingan terlempar ke danau. Dua ember penuh. Tiga ember terisi setengah. Dua ember lagi kosong. Mereka berempat sama sekali tidak berkedip ketika kuceritakan semua yang terjadi pada Layla. Dan hanya itu yang bisa kujelaskan. Aku semata-mata tidak bisa menceritakan tentang Fal.“Jujur, aku baru tahu semua itu,” kata Yasha. “Mars bukan tipe asrama yang membuatmu tahu segala hal yang dilakukan penghuni. Kebanyakan dari kami agak tertutup. Ruangan juga hampir satu orang satu kamar.”“Atau kau yang terlalu tertutup,” komentar Haswin.“Memangnya kau tahu semua kejadian itu?”“Tahu gosipnya, tapi tidak tahu soal Layla.”“Venus punya sistem bagi kamar,” jelas Elka. “Yang punya ide itu Layla. Mereka bebas sekamar dengan siapa pun. Kamar kosong juga dimanfaatk
Aku berjanji pada Jesse akan memberitahunya setiap mendapatkan info—yang menurut Jesse perlu dilakukan sebagai ganti Lavi di sisiku. Dia bilang, “Lavi memperingatiku kau butuh orang yang memberimu saran.” Dan aku tidak tahu lagi seberapa hebat Lavi dalam memperkirakan gerakanku. Aku bisa saja marah karena dia seperti mendikte. Namun, Lavi yang kukenal pasti hanya akan nyengir, berkata, “Siapa yang mendiktemu? Jangan ge-er, deh.”Jesse memang pihak paling netral. Tim peneliti selalu di area paling putih. Tidak ada alasan mencurigai mereka. Dan aku paham betul suasana yang kurasakan dari Jesse sudah jauh beda dari saat kami pertama bertemu. Setelah Lavi, dia satu-satunya yang paling kupercaya dalam urusan ini.Jadi, ketika tidak ada siapa pun di ruangan peneliti, hanya aku dan dia, aku menceritakan apa yang kubicarakan dengan geng Dalton. Rasanya mengerikan saat dia memerhatikan semua yang kukatakan. Biasanya dia sambil melakukan sesuatu. Ku
Ini ide Tara.Aku tidak mau kami berakhir menunggu waktu hingga Fal menginjak usia delapan tahun. Lagi pula, kami tidak tahu hari lahirnya—atau ralat, Jesse pasti tahu, tetapi aku tidak mau tahu. Aku tidak mau berakhir semakin muram, merenungkan detik-detik waktu yang semakin habis. Aku tidak mau kembali ke momen kepergian Aza dan Nenek. Masih lebih baik menjadi orang yang tidak tahu. Itu membuatku bisa menikmati waktu bersama Fal seolah-olah ini hari terakhirnya.Jadi, di tengah hari-hari itu, aku juga ingin melakukan sesuatu yang punya potensi mengubah takdir Fal. Dan beruntungnya, Tara punya ide miring.“Pertama, temui pemilik kemampuan roh. Hal bagusnya, dia tahu masa lalu. Hal buruknya, tidak mengubah kematian.”“Kedua?”“Hancurkan bom waktu. Hal bagusnya, tidak pernah punya dua kemampuan khusus, hidup. Hal buruknya, cari kemampuan roh untuk ingatannya, dan cari cara menghentikan kepemilikan dua kemampuan kh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak
Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei