Area awal misi kali ini—lagi-lagi dan lagi—adalah hutan.
Penjelajahan area hutan tidak pernah lebih baik dari: medan yang tidak rata, pohon yang tata letaknya sungguh tak karuan, lumut hijau yang menutup batu dan membuat pijakan tergelincir, embun pagi padahal sudah tidak pagi, hewan-hewan melata mulai dari kecil sampai berbahaya, monyet-monyet yang menyeberangi satu dahan ke dahan lain seolah tidak takut manusia, rumput-rumput liar yang membuat kulit gatal-gatal—tetapi aku sudah kebal, jadi Lavi yang kebanyakan mengeluh soal itu—dan masih banyak lagi pola-pola alam liar yang selalu sama. Satu-satunya hal baik yang kualami, dan mungkin akan kualami sampai kapan pun: Lavi di sisiku.
Lavi selalu seperti ini: membicarakan hal-hal remeh seolah kami tak pernah dua puluh empat jam bersama di Padang Anushka—seolah aku tidak pernah tahu apa yang dia lakukan selama jam kosongnya—tetapi sebenarnya dengan cara paling aneh terkadang aku juga tid
Aku bangun lebih dulu dari Lavi, mencubit pipinya sampai Lavi terganggu dan berhasil mengumpulkan kesadaran. Aku sudah bersiap dia akan marah-marah dan bangkit melampiaskan kekesalan, tetapi saat akhirnya bangun, dia tersenyum. “Menikmati melihat wajahku?”“Kau harus membantuku berburu,” kataku. “Perutku keroncongan.”“Aromanya enak.”“Jangan tidur lagi,” aku menjewer pipinya sampai dia bangun.Dia menggerutu banyak hal ketika kami keluar lubang istirahat. Kami tidak berniat meninggalkan tempat itu—hanya berburu lalu kembali dan memasak semua bahan—tetapi Lavi sudah mengeluh habis-habisan. Dia mengerucutkan bibir, jelas cemberut. “Ini bahkan belum pagi.” Dan dia benar. Ketika kami keluar, matahari baru mau terbit, tetapi ini waktu tepat untuk berburu.“Tidak ada riwayat hewan keluar di awal pagi,” gerutunya.“Itu menurutmu. Menurutku, riwaya
Ada beberapa hal yang berhasil kuingat tentang Leo yang namanya jarang terucap di kalangan penghuni. Pertama, Isha pernah membicarakannya. Kedua, dia putra kedua Dokter Gelda. Ketiga, dia pacar Mika sampai dinyatakan hilang.Kuakui aku juga terkejut dan tiba-tiba kepalaku bekerja jauh lebih cepat dari yang biasanya terjadi. Kupikirkan Mika, Haswin, Dokter Gelda—momen saat Leo hilang adalah momen yang membuat mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Dia hilang, tidak kembali lagi, Haswin merasa bersalah atas kehilangannya, Mika semakin pendiam, Dokter Gelda semakin dipenuhi nuansa berduka setelah kembali gagal melindungi putra terakhirnya—dan ternyata, dia di sini, masih hidup.Setidaknya, untuk beberapa lama lagi.Aku langsung ikut berjongkok bersama Lavi, membuat Lavi sadar dan bisa kembali fokus dari keterkejutannya. Kuanggap aku kurang ajar, tetapi aku menepuk dua pipinya, memaksanya menatap mataku.“Dengar, dia sudah sekarat. Ki
Kondisi Zafar ketika ditemukan sudah tidak memungkinkan lagi untuk kami bawa ke Padang Anushka. Salah satu lengannya putus dan dilihat dari kemungkinan mana pun, setelah membawa Leo di punggungku, aku tidak bisa membiarkan kami terjerumus ke kondisi yang lebih berbahaya karena membawa jasad manusia. Darah Zafar mungkin sudah beku dan hanya jasad tidak bernyawa, tetapi mengingat alam liar yang beberapa hari terakhir bergejolak dan adanya kemungkinan ancaman dari monster, dengan berat hati, aku membuat Lavi memutuskan, “Makamkan di sini.”Kami membuatkannya makam di dekat air terjun.Lavi memberinya setangkai bunga dan batu nisan berukiran namanya. Dia berhasil mengambil pedangnya, yang sudah tumpul—bergerigi di mata pedangnya. Dari semua yang bisa kami identifikasi dari barang bawaannya yang membuktikan betapa dia sudah berjuang di alam liar—kami hanya menemukan pedangnya.Setelah Lavi berdiam cukup lama bersimpuh di depan batu nisan dan s
Perjalanan kembali kami cukup aman untuk beberapa lama—Leo berada di punggungku, masih tidak sadarkan diri dan tak akan terjaga sampai setidaknya kami tiba di Padang Anushhka—Lavi di sebelahku, kami agak berlari melintasi alam liar. Cukup sulit menjaga ritme lari sembari terus mengawasi sekitar, jadi aku meminta Lavi ikut merasakan sekitar. Sebenarnya aku bisa melakukannya sendirian, tetapi selagi ada yang bisa mengonfirmasi yang kurasakan—sekaligus untuk menghindari bermain pahlawan—aku meminta Lavi.Semua berjalan mulus sampai kami kembali bertemu hutan lembap.Hawa membunuh mendadak terasa.Aku dan Lavi sedang dalam kecepatan tinggi, tidak bicara apa pun, dan bila memang ada suara, langkah kaki kami jelas terdengar. Jadi, ketika kecepatan kami tidak lagi di kondisi yang bisa mengerem mendadak, satu-satunya yang dilakukan kami untuk merespons nuansa pekat itu hanya satu: menyerang.Dan datang: gerakan pertama Lavi, plus
Pertempuran kami hanya sekejap, tetapi daya hancurnya begitu luar biasa. Lavi memang cocok untuk pertempuran skala luas.Aku baru menyadari betapa hancur area sekitar kami setelah serangan kilat raksasa dari Lavi. Tanah hancur pecah belah di lokasi jatuhnya petir. Pohon-pohon ada yang terbakar meski tidak merambat. Tanahnya gosong. Sungguh, kerusakan yang ditimbulkan serangan Lavi punya skala lebih besar dari yang kubayangkan.Dua blasteran di dekat musuh sudah tidak bernyawa.Kabar baik dan kabar buruknya, sang musuh ini masih hidup.Kami bisa saja menghabisinya saat itu juga, tetapi Lavi punya ide yang lebih bagus. “Aku mau cari tahu sedikit.”Kami melilit tubuh pria itu dengan sulur, lalu menggantungnya seperti akar gantung. Kata Lavi, “Mirip sarang lebah.” Ya. Sarang lebah yang punya wajah agak hancur. Hidungnya bengkok ke arah salah, tampaknya sudah sulit bernapas. Kalau dibiarkan, dia bisa mati. Jadi, aku meninjunya.
Kami berhenti di pohon Leo. Akal sehat Lavi kembali dengan cepat. Dalam detik berikutnya, dia memintaku menumbuhkan sulur agar bisa menjadi tali untuk mengikat lengan kiriku. Aku melakukannya dan menyaksikan Lavi menghentikan pendarahan dengan cekatan. Mau tak mau aku melihat wajahnya dari dekat dan dia masih bernuansa kaku seolah seberkas dirinya masih terguncang mendapati dirinya bisa melukaiku cukup dalam. Ketika lenganku sudah dililit sulur sangat kuat, Lavi juga meminta, “Dinginkan suhu di lenganmu, buat luka ini membeku.”Aku bahkan tidak memikirkan itu jika tidak dia katakan. Aku membuat suhu dingin di lenganku. Lengan kiriku mati rasa, entah karena beku atau luka.Kurang lebih, suasananya langsung hening. Tidak ada serangan lain. Semua berhenti. Aku juga berhasil bernapas panjang, menyandar ke batang pohon. Kalau pohon ini masih ada, kemampuanku berarti masih bekerja. Lavi di sisiku, membisu, menatap luka di lenganku yang mulai membeku. Sorotnya pen
Dalam waktu sekejap, ratusan monster datang ke tempat kami.Lavi berhasil selamat. Dia menurunkan level tanah, lalu menjerit dipenuhi emosi. Teriakannya memancarkan tombak listrik, yang secara insidental langsung memecahkan kepala monster raksasa yang menimpanya. Dia bangkit, hanya untuk menemukan aku sudah diserang ratusan monster cebol dan puluhan beruang.Aku bisa menumbuhkan pohon raksasa yang mencambuk mereka semua, tetapi mendadak Lavi muncul di belakangku, memeluk punggungku—tiba-tiba dia melilitkan dirinya padaku. Aku hampir protes sampai Lavi bilang, “Berlindung.”Aku mengerti, lalu menurunkan level tanah tempat kami berpijak.Kami meluncur ke bawah seperti sumur. Puluhan meter. Aku mendongak—ada monster cebol yang melompat dan kusaksikan langit mulai mendung. Percikan listrik mengumpul di awan.Aku menutup tanah, membuat sekitar kami gelap.Lalu menaikkan level penutup tanah kami mendorong monster cebol.
Di tengah situasi mengharukan bukit perbatasan, hanya Isha yang bereaksi menghampiriku, lalu memegang lenganku, membuatku bergidik dan dia menatapku sangat mengerikan. Di titik itu, lenganku terasa perih lagi.“Oh tidak,” gumam Isha.Sebenarnya aku ingin merangkul Bongsor dan mengatakan kalau kini semua bebannya sudah terangkat, tetapi ketika Isha memegang lenganku, kurasakan suatu sensasi yang sudah lama tidak kurasakan sejak rangkaian misi: kelelahan.Kakiku mendadak lemas. Aku ambruk begitu saja, membuat Lavi dan Reila kaget. Mereka langsung menghampiriku. Kubilang, aku tidak apa, dan Isha segera mengucap untaian kata yang tidak kupercaya: “Keringatmu dingin.”Semua langsung bergerak cepat. Dokter Gelda juga bangkit lagi, meski juga dibantu Profesor Merla. Isha meminta bantuan Reila agar aku diangkut ke klinik—bersama Lavi dan Leo. Lavi protes, mengatakan kalau dia bisa jalan, tetapi Isha tak lagi menerima protes. Jadi, ka
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan