Kami berhenti di pohon Leo. Akal sehat Lavi kembali dengan cepat. Dalam detik berikutnya, dia memintaku menumbuhkan sulur agar bisa menjadi tali untuk mengikat lengan kiriku. Aku melakukannya dan menyaksikan Lavi menghentikan pendarahan dengan cekatan. Mau tak mau aku melihat wajahnya dari dekat dan dia masih bernuansa kaku seolah seberkas dirinya masih terguncang mendapati dirinya bisa melukaiku cukup dalam. Ketika lenganku sudah dililit sulur sangat kuat, Lavi juga meminta, “Dinginkan suhu di lenganmu, buat luka ini membeku.”
Aku bahkan tidak memikirkan itu jika tidak dia katakan. Aku membuat suhu dingin di lenganku. Lengan kiriku mati rasa, entah karena beku atau luka.
Kurang lebih, suasananya langsung hening. Tidak ada serangan lain. Semua berhenti. Aku juga berhasil bernapas panjang, menyandar ke batang pohon. Kalau pohon ini masih ada, kemampuanku berarti masih bekerja. Lavi di sisiku, membisu, menatap luka di lenganku yang mulai membeku. Sorotnya pen
Dalam waktu sekejap, ratusan monster datang ke tempat kami.Lavi berhasil selamat. Dia menurunkan level tanah, lalu menjerit dipenuhi emosi. Teriakannya memancarkan tombak listrik, yang secara insidental langsung memecahkan kepala monster raksasa yang menimpanya. Dia bangkit, hanya untuk menemukan aku sudah diserang ratusan monster cebol dan puluhan beruang.Aku bisa menumbuhkan pohon raksasa yang mencambuk mereka semua, tetapi mendadak Lavi muncul di belakangku, memeluk punggungku—tiba-tiba dia melilitkan dirinya padaku. Aku hampir protes sampai Lavi bilang, “Berlindung.”Aku mengerti, lalu menurunkan level tanah tempat kami berpijak.Kami meluncur ke bawah seperti sumur. Puluhan meter. Aku mendongak—ada monster cebol yang melompat dan kusaksikan langit mulai mendung. Percikan listrik mengumpul di awan.Aku menutup tanah, membuat sekitar kami gelap.Lalu menaikkan level penutup tanah kami mendorong monster cebol.
Di tengah situasi mengharukan bukit perbatasan, hanya Isha yang bereaksi menghampiriku, lalu memegang lenganku, membuatku bergidik dan dia menatapku sangat mengerikan. Di titik itu, lenganku terasa perih lagi.“Oh tidak,” gumam Isha.Sebenarnya aku ingin merangkul Bongsor dan mengatakan kalau kini semua bebannya sudah terangkat, tetapi ketika Isha memegang lenganku, kurasakan suatu sensasi yang sudah lama tidak kurasakan sejak rangkaian misi: kelelahan.Kakiku mendadak lemas. Aku ambruk begitu saja, membuat Lavi dan Reila kaget. Mereka langsung menghampiriku. Kubilang, aku tidak apa, dan Isha segera mengucap untaian kata yang tidak kupercaya: “Keringatmu dingin.”Semua langsung bergerak cepat. Dokter Gelda juga bangkit lagi, meski juga dibantu Profesor Merla. Isha meminta bantuan Reila agar aku diangkut ke klinik—bersama Lavi dan Leo. Lavi protes, mengatakan kalau dia bisa jalan, tetapi Isha tak lagi menerima protes. Jadi, ka
Aku terbangun lagi tengah malam.Ruanganku di klinik gelap. Aku tersadar dengan cara paling normal, dengan alami menoleh ke tempat tidur sebelah. Lavi tidak ada. Tempat tidurnya berantakan. Selimutnya seperti baru menutupi seseorang. Tampaknya Lavi keluar ruangan.Dan benar. Tidak lama kemudian, pintu ruangan terbuka.“Lavi,” panggilku.“Ah? Kau bangun? Maaf, apa aku membangunkanmu?”“Aku baru bangun lagi.”Dia menghampiriku, duduk di kursi ketika aku berusaha bangkit dari tidur. Lavi membantu, menaikkan tempat tidur agar sepertiga bagian menjadi punggung kursi. Aku berhasil duduk. Lengan kiriku rasanya kaku.“Jenderal sudah kembali,” kata Lavi. “Tadi aku mengobrol dengan banyak dewan di lantai dua. Jenderal, Kara, Dokter Gelda, Profesor Merla, Nadir, Haswin. Aku melaporkan semuanya. Apa yang terjadi di misi kita.”“Cara kita menemukan Leo,” kataku.
Aku bangun lebih siang dari yang kuperkirakan.Mataku terbuka saat aku mencium aroma sosis beku. Perutku terusik—yang tampaknya aroma itu berhasil menggugah lapar dan membuka mata. Di penglihatan pertamaku, aku sudah menemukan gadis manis duduk di kursi sebelah tempat tidur, menyantap sosis beku sembari meringis ceria.“Forlan!” seru Fal. “Forlan bangunnya siang!”“Fal,” kataku. “Jam berapa sekarang?”“Sepuluh.”Aku bangkit secara perlahan. Tempat tidur sebelah sudah rapi. Lavi tidak ada. Dia tidak membangunkanku—dia memang tidak janji melakukannya. Jadi, aku memberi sambutan pada Fal berupa tarikan lembut di dua pipinya dan Fal merengek kalau tidak bisa makan sosis saat aku menarik pipinya begitu. Aku juga ingin ikut makan sosis. Kutanya di mana dia mengambilnya, dan dia menuding pakai telunjuk ke wajahku. “Forlan harus mandi pagi dulu! Kalau tidak mandi nanti sakit!&rdq
Fal memberikan satu mangkok es krim pada Dokter Gelda—sebagai tanda kalau Fal ingin menghibur Dokter Gelda, dan Fal berkata, “Es krim ini bisa bikin Dokter Gelda senyum lagi, jadi harus dihabiskan.” Anak itu begitu menggemaskan sampai Dokter Gelda tersenyum meminta Fal duduk di pangkuannya. Jadi, tiba-tiba Fal sudah duduk bersama Dokter Gelda dan disuapi es krim.Aku juga kebagian jatah mangkuk es krim bersama Reila. Kubilang pada Dokter Gelda kalau, “Es krim ini buatan Fal.”“Oya?” sahut Dokter Gelda. “Fal membuat es krim?”“Hm-mm,” angguk Fal, semangat.Dokter Gelda memuji sementara aku dan Reila memutar bola mata. “Yah, itu juga berarti kalau dia bisa makan es krim tanpa kenal waktu lagi,” kataku, dan Reila sepakat dengan menambahkan, “Tidak ada gunanya menyembunyikan semua es krim karena dia bisa bikin kapan pun di markas tim tungku.”“Fal tahu waktu
Yasha dan Dalton punya gagasan mengajakku memancing, tetapi aku tidak berminat. Kubilang aku ingin istirahat dan entah bagaimana mereka tidak mencoba memaksa—barangkali mereka melihat perban dan menyimpulkan itu cukup parah. Jadi, Yasha mengurungkan niat karena, “Membosankan kalau cuma berdua. Lebih baik aku mengurus markasku,” dan Dalton bilang, “Kalau begitu aku bantu Bazz memperbaiki beberapa senjata.” Aku tak mengerti apa poin mereka mengumumkan itu, tetapi mereka memang membubarkan diri.Langit agak gelap. Aroma hujan sudah tercium. Fal menggerutu karena dia tidak bisa bermain. Katanya hujan membuat segalanya tidak asyik. Fal sedikit beda dengan diriku yang justru selalu mencari kesempatan keluar saat hujan. Fal justru tidak suka membasahi diri dengan air yang langsung dari langit.“Kenapa tidak suka?” tanyaku.“Kata Layla bisa bikin sakit. Fal tidak mau sakit.”Kasihan sekali kesenangan masa keci
Forlan, bagaimana kabarmu? Masih ingat Bibi?Bila surat ini sampai ke tanganmu, besar kemungkinan Bibi tidak bisa lagi bicara secara langsung padamu. Bibi ingin menyambutmu yang kembali ke Padang Anushka, jadi Bibi harap surat ini bisa mewakili itu. Bibi akan tinggalkan surat ini di tempat yang paling bisa membuatmu mengingat Bibi. Jadi, anggap saja surat ini sebagai pengganti (haha). Maaf, ya, apa kau sedang sedih saat membaca?Sejujurnya Bibi juga sedang sedih saat menulis (haha).Ini sudah keempat kali Bibi mengganti kertas.Tapi Bibi juga tidak masalah kalau surat ini tidak akan tersampaikan sama sekali karena mungkin Forlan akan tinggal selamanya di Lembah Palapa. Kondisi Padang Anushka sangat kacau untuk generasi penerus. Bibi akhirnya bisa berpikir kalau kepindahanmu itu sesuatu yang sangat bagus karena kau bisa menjauh dari sumber kekacauan tanpa perlu melihat kekacauan secara langsung. Setahun yang lalu, ka
Surat itu menimbulkan banyak korban lebih dari yang kubayangkan. Reila menangis sampai sesenggukan—persis seperti yang kubayangkan seperti apa aku di matanya saat membaca surat. Aku duduk sendirian membaca keseluruhan surat dari awal sampai akhir, dan masalahnya, aku terus duduk membaca ulang surat itu sampai kesedihanku semakin dalam. Aku sadar kalau tak baik kami terus berlama-lama di ruangan, jadi aku memutuskan menghirup udara segar dan melihat hujan di luar jendela. Di antara aku dan Reila, Fal justru menghibur kami.Alhasil, sepanjang sisa hari aku tak punya minat melakukan apa pun. Kami hanya pulang ke gerha, mengangkat mainan-mainan lamaku untuk Fal. Ada banyak jenis. Robot, miniatur binatang, bahkan sampai bongkar pasang. Sejauh yang bisa kuingat, dulu aku memang suka permainan bongkar pasang. Jauh di dalam kepala, aku ingat kalau pernah bermain adu benteng bersama Bibi. Itu salah satu permainan yang diciptakan Bibi untuk kami. Masing-masing dari kami membuat b
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La
Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei
Tim pencari bambu kembali dengan beragam laporan. Dalton yang menjadi pembicaranya. “Kami sudah buat jebakan seperti tadi.”“Tadi?” tanya Reila.“Jebakan yang bakal bunyi keras seperti besi dipukul di kejauhan kalau ada yang kena. Jadi, itu bisa membuat kita dan sesuatu yang terjebak itu terkejut. Kami membuat ini di tempat istirahat tadi.”“Inovatif sekali,” komentar Leo. “Siapa yang jaga?”“Tidak ada. Kami semua tidur.”“Lumayan berbahaya,” koreksi Leo. “Besar sekali risikonya.”“Yah, kami tidak berniat tidur lama. Maksimal hanya dua jam,” jelas Yasha, ikut duduk melingkari tungku batu. “Dan kami punya roh alam yang berjaga. Kalau ada Penyihir di timmu, masalah keamanan bakal terjamin.”“Setidaknya, takkan ada monster.” Dalton sepakat.Kami duduk mengelilingi tungku batu, ada pepaya yang dipotong
Haswin dan Dalton bangun cukup mudah. Kupikir Haswin bakal sulit, tetapi dia sudah setengah bangun, jadi Yasha hanya perlu menyiram kepalanya. Matanya langsung terbuka. Dia tersentak, tetapi tidak menuntut. Dia justru memandang kami dan berkata, “Aku ketiduran. Maafkan aku.”Jadi, perjalanan dilanjutkan. Tidak ada yang mengantuk.Medannya masih area hutan dengan jarak pohon lumayan dekat dan semak tinggi, plus permukaan tanah yang tidak beraturan. Haswin berjalan di depan lagi—semata-mata karena kalau dia di belakang, dia bisa saja tertinggal tanpa pernah ada yang sadar. Jadi, yang berjalan di belakang: lagi-lagi Dalton dan aku. Yasha perlu memastikan Haswin benar-benar berjalan meskipun Haswin sudah berjanji, “Aku takkan tidur, sumpah. Aku sudah segar.”Dalton menguap, tetapi masih bisa memerhatikan kompas.Senter masih dipegang Haswin dan Yasha. Kompas Dalton mampu menyala meski cahayanya redup. Aku dikelilingi dua kunang-k
Ternyata aku terbangun sebelum Fin membangunkan.Tempat tidurku lebih lengang dari semestinya. Aku berkedip, mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran, dan kusadari Yasha tidak ada di sampingku. Dalton masih ada. Haswin juga. Jadi, aku bangkit, merasakan keberadaan Yasha—benakku sudah dikuasai nuansa aneh—tetapi tidak. Dia dekat.Aku membuka pintu sulur. Yasha duduk di samping pintu, terkejut melihat pintu mendadak terbuka. Dia langsung melompat ke samping, mengarahkan belati ke arahku. Aku juga kaget, melompat, dan kami sadar di waktu yang sama.“Oh, sial, kukira siapa,” kata Yasha. Di sela-sela jarinya ada rokok.“Kau membuatku kaget karena tidak ada di tempat,” kataku. “Dan kau dua kali membuatku kaget karena ujung belatimu tipis kena mataku.”“Jam tiga masih setengah jam lagi,” katanya.“Itu juga kata-kataku.”“Aku tidur, sejujurnya. Bangun sepuluh
Suara Lavi menggema saat arloji hampir menunjukkan setengah satu.[“Kenapa kalian cukup dekat? Kalian tidak istirahat?”]Kujelaskan situasi tim kami kalau waktu istirahat kami sekitar setengah jam lagi. Aku sudah merasakan Lavi berhenti sejak setengah jam lalu—atau barangkali lebih. Aku lebih memusatkan perhatianku pada sekitar dibanding posisi Lavi. Saat aku penasaran dengan posisinya, dia seperti berhenti. Kami semakin dekat.[“Kami sudah buat tempat persembunyian. Cukup aman, tapi untukku yang sudah terbiasa dengan tempat persembunyianmu, aku tidak terlalu suka.”]Aku agak lama terdiam.Semua ucapan Lavi saat kami di Rumah Pohon terlintas di kepalaku. Entah bagaimana obrolan itu membuat caraku memikirkan Lavi sedikit berbeda. Biasanya aku tidak terlalu cemas—maksudku, dia pasti bisa menanganinya. Aku percaya dia bisa melewati banyak hal. Namun, sekarang, rasanya aku tidak benar-benar tenang k
Medan awal kami tidak terlalu mengerikan. Bahkan sesuai dugaanku. Tanah cukup rata. Pohon-pohon juga renggang, tidak seperti hutan alam liar biasanya. Aku bisa merasakan kami ada di area luar gunung. Kami di dataran tinggi normal. Tidak ada area berbahaya yang kurasakan. Hanya seperti alam liar normal.Meskipun begitu, bukan berarti areanya benar-benar datar. Masih ada celah-celah kecil seperti jurang bekas longsor. Biasanya itu bisa dihindari dengan mudah. Sayangnya, gelap. Malam telah menguasai alam liar. Haswin dan Yasha memakai senter sorot di kepalanya. Mereka mengikat senter itu di kepala, lalu mengarahkan itu ke sekitar yang membuat semua kelihatan jelas.“Cahayanya terlalu terang,” kata Dalton.“Kurasa begitu,” ujar Haswin.“Memberi cahaya terlalu terang seperti memberi sinyal musuh.”“Aku tahu itu.” Haswin akhirnya mengecilkan tingkat kecerahan senter.“Kelihatannya kita tidak di
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa