Yasha dan Dalton punya gagasan mengajakku memancing, tetapi aku tidak berminat. Kubilang aku ingin istirahat dan entah bagaimana mereka tidak mencoba memaksa—barangkali mereka melihat perban dan menyimpulkan itu cukup parah. Jadi, Yasha mengurungkan niat karena, “Membosankan kalau cuma berdua. Lebih baik aku mengurus markasku,” dan Dalton bilang, “Kalau begitu aku bantu Bazz memperbaiki beberapa senjata.” Aku tak mengerti apa poin mereka mengumumkan itu, tetapi mereka memang membubarkan diri.
Langit agak gelap. Aroma hujan sudah tercium. Fal menggerutu karena dia tidak bisa bermain. Katanya hujan membuat segalanya tidak asyik. Fal sedikit beda dengan diriku yang justru selalu mencari kesempatan keluar saat hujan. Fal justru tidak suka membasahi diri dengan air yang langsung dari langit.
“Kenapa tidak suka?” tanyaku.
“Kata Layla bisa bikin sakit. Fal tidak mau sakit.”
Kasihan sekali kesenangan masa keci
Forlan, bagaimana kabarmu? Masih ingat Bibi?Bila surat ini sampai ke tanganmu, besar kemungkinan Bibi tidak bisa lagi bicara secara langsung padamu. Bibi ingin menyambutmu yang kembali ke Padang Anushka, jadi Bibi harap surat ini bisa mewakili itu. Bibi akan tinggalkan surat ini di tempat yang paling bisa membuatmu mengingat Bibi. Jadi, anggap saja surat ini sebagai pengganti (haha). Maaf, ya, apa kau sedang sedih saat membaca?Sejujurnya Bibi juga sedang sedih saat menulis (haha).Ini sudah keempat kali Bibi mengganti kertas.Tapi Bibi juga tidak masalah kalau surat ini tidak akan tersampaikan sama sekali karena mungkin Forlan akan tinggal selamanya di Lembah Palapa. Kondisi Padang Anushka sangat kacau untuk generasi penerus. Bibi akhirnya bisa berpikir kalau kepindahanmu itu sesuatu yang sangat bagus karena kau bisa menjauh dari sumber kekacauan tanpa perlu melihat kekacauan secara langsung. Setahun yang lalu, ka
Surat itu menimbulkan banyak korban lebih dari yang kubayangkan. Reila menangis sampai sesenggukan—persis seperti yang kubayangkan seperti apa aku di matanya saat membaca surat. Aku duduk sendirian membaca keseluruhan surat dari awal sampai akhir, dan masalahnya, aku terus duduk membaca ulang surat itu sampai kesedihanku semakin dalam. Aku sadar kalau tak baik kami terus berlama-lama di ruangan, jadi aku memutuskan menghirup udara segar dan melihat hujan di luar jendela. Di antara aku dan Reila, Fal justru menghibur kami.Alhasil, sepanjang sisa hari aku tak punya minat melakukan apa pun. Kami hanya pulang ke gerha, mengangkat mainan-mainan lamaku untuk Fal. Ada banyak jenis. Robot, miniatur binatang, bahkan sampai bongkar pasang. Sejauh yang bisa kuingat, dulu aku memang suka permainan bongkar pasang. Jauh di dalam kepala, aku ingat kalau pernah bermain adu benteng bersama Bibi. Itu salah satu permainan yang diciptakan Bibi untuk kami. Masing-masing dari kami membuat b
Dua hari kemudian, aku diizinkan kembali latihan.Lavi bermalam di gerhaku dan memutuskan membuatkan kami sarapan di pagi hari, jadi kami berempat menyantap masakan Lavi sebagai sarapan. Fal selalu suka ketika Lavi bermalam dan membuatkan sarapan. Itu artinya, dia bisa berbuat apa pun dan menyantap apa pun. Lavi begitu memanjakan Fal sampai Reila jengkel dan mengambil es krim dari tangan Fal. “Apanya yang empat hari?”Fal merengek, lalu aku berdeham. Dia diam.“Jangan menakuti anak kecil begitu,” gerutu Lavi.“Dia sudah janji.”“Oya? Kalau begitu, Fal, kemarilah. Ke pangkuanku lagi.”Lavi mengajari Fal betapa sakralnya janji dan betapa dia tidak boleh sampai berbohong pada itu. Fal mengangguk-angguk. Dia selalu dimanjakan Lavi, jadi dia juga menurut pada Lavi melebihi menurut pada Reila.Pada saat Fal duduk di pangkuan Lavi itulah, Fal menceritakan petualangan kami di ruangan Bibi. Itu m
Malamnya, Lavi membujukku agar melakukan trik licik pada Reila. Bukan trik yang terlalu rumit, dia hanya meminta bantuanku agar menidurkan Reila lebih dulu dibanding semua orang. Jadi, Lavi mengobrol dengan Reila di sofa tengah saat aku dan Fal bermain kembang api tangan di selasar belakang. Di waktu yang sama, aku harus mengaktifkan kemampuanku dan membuat Reila perlahan tertidur tanpa dicurigai Reila. Kubilang itu agak sulit dan butuh waktu lama, Lavi bilang, “Tidak masalah. Asal jangan ketahuan. Biarkan dia seperti tertidur secara alami.”Perlahan, berhasil. Sewaktu Reila sudah tertidur, Lavi lapor padaku begitu gembira. “Forlan! Berhasil! Reila tidur!”“Kau membuatnya bangun kalau menjerit begitu,” kataku.“Reila sudah tidur?” tanya Fal. “Malam ini Fal tidur sama siapa?”“Reila,” Lavi yang menjawab.“Fal juga mengantuk. Fal mau tidur.”Aku memindahkan Rei
Alasan pemulihan lenganku bisa cepat, salah satunya adalah Lavi.Dia sampai membuat modul latihan yang disetujui Dokter Gelda dan Kara yang isinya rangkaian latihan yang harus kulakukan dari jam ke jam. Lavi punya target bahwa dalam tiga hari akurasi panahku kembali. Dan sejauh ini, pemulihan akurasiku sudah cukup bagus. Lengan kiriku bisa menahan momentum busur untuk mengarahkan anak panah ke target. Secara perlahan, dia juga semakin menjauhkan papan target, yang membuat lenganku harus menahan momentum lebih berat. Pada awalnya, akurasiku sangat buruk. Lenganku berat. Namun, perlahan, berkat semua rangkaian latihan itu, efeknya langsung terasa. Aku juga sudah tidak lagi memakai perban. Ajaibnya, luka itu bahkan tidak meninggalkan bekas. Lavi bilang luka yang ada di betisnya juga tidak meninggalkan bekas. Itu kemampuan Dokter Gelda.Dan Lavi berhenti dari tim penelitian blasteran. Tim bedah masih berlanjut, tetapi atas persetujuan Dokter Gelda—bahkan atas saranny
Suara Mika terdengar.“Kalau kau Dhiena yang pura-pura mengetuk, aku takkan mau bicara lagi. Sudah kubilang aku baik-baik saja. Berapa kali aku harus bilang?”Aku mulai agak ragu setelah mendengar nada bicaranya, tetapi kuputuskan bicara dengan suara sebaik yang bisa kulakukan. “Em, ini aku.”Hening sejenak.“...Forlan?”“Em, ya, aku.”“Dhiena bersamamu?”“Aku bahkan tidak tahu dia di mana. Sumpah. Percayalah.”“Masuklah,” sahutnya, tanpa ragu. “Tidak dikunci.”Aku menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu menatap pintu tepat di depanku. Kudorong gagang pintunya, merasakan udara beraroma Mika berembus keluar dan—kain berserakan di lantai. Mika duduk di meja jahit, terdengar suara mesin—dia memakai kacamata, penampilannya lumayan normal untuk orang yang jarang kelihatan dan—aku terdiam menatap sebelahnya.
Mika awalnya sempat menolak ikut, Reila meyakinkannya lagi ketika aku membereskan kain-kain yang berserakan. Sungguh, sejak tadi aku tidak tahan lihat tempat ini berantakan, jadi saat Reila meyakinkan Mika, aku sampai menyelesaikan melipat dan menggulung banyak kain ke tempat asal. Reila sampai menuntut, “Gila. Orang ini malah bersih-bersih. Bantu aku membujuk dia!”“Di sana pasti banyak dewan,” gumam Mika.“Justru kau itu orang kedua yang harus menemuinya setelah Dokter Gelda,” kataku. “Aku ingat di misi pertamaku Lavi tidak muncul saat banyak dewan ada di klinik. Aku kecewa. Aku tidak kenal Leo, tapi mari anggap seperti itu.”“Dia pasti kaget melihatmu sudah secantik ini,” kata Reila. “Ayo.”Akhirnya, Mika mau dan terkejut melihat meja dan lantai di sekitarnya. “Ya ampun, sejak kapan tempat ini jadi rapi? Tunggu, Reila, biarkan aku menata diri.”Aku menunggu di lu
Ada citra dalam ingatan roh alam yang selalu kuingat.Saat itu malam. Ruangannya gelap, lampu tidak menyala. Aku terlapiskan selimut, di bawah kepalaku ada bantal empuk, kasurnya juga empuk—semestinya aku bisa tidur cepat. Namun, benakku tidak tenang, jadi aku hanya terus berguling ke sana kemari, berusaha mencari posisi yang bisa membuatku mengantuk.Namun, tak ada yang berhasil. Reila sudah tidur di kasur sebelah. Biasanya Reila marah kalau aku tertidur lebih dulu, tetapi kalau dia sudah tidur, dan aku tidak bisa tidur, dia menangis kalau dibangunkan. Kesal dengan diriku sendiri, aku ingin meneguk air. Aku berjalan keluar kamar, lampu ruangan sebagian sudah mati, tetapi aku berhasil sampai di lemari pendingin, mengambil segelas minum, lalu kembali. Sebenarnya meneguk air tidak terlalu berpengaruh, tetapi masih kucoba.Aku mulai menenggelamkan diriku dalam selimut, mencoba tertidur dengan menutup seluruh tubuh. Panas. Ini ide buruk—dan tiba-tiba pin
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan