Perjalanan kembali kami cukup aman untuk beberapa lama—Leo berada di punggungku, masih tidak sadarkan diri dan tak akan terjaga sampai setidaknya kami tiba di Padang Anushhka—Lavi di sebelahku, kami agak berlari melintasi alam liar. Cukup sulit menjaga ritme lari sembari terus mengawasi sekitar, jadi aku meminta Lavi ikut merasakan sekitar. Sebenarnya aku bisa melakukannya sendirian, tetapi selagi ada yang bisa mengonfirmasi yang kurasakan—sekaligus untuk menghindari bermain pahlawan—aku meminta Lavi.
Semua berjalan mulus sampai kami kembali bertemu hutan lembap.
Hawa membunuh mendadak terasa.
Aku dan Lavi sedang dalam kecepatan tinggi, tidak bicara apa pun, dan bila memang ada suara, langkah kaki kami jelas terdengar. Jadi, ketika kecepatan kami tidak lagi di kondisi yang bisa mengerem mendadak, satu-satunya yang dilakukan kami untuk merespons nuansa pekat itu hanya satu: menyerang.
Dan datang: gerakan pertama Lavi, plus
Pertempuran kami hanya sekejap, tetapi daya hancurnya begitu luar biasa. Lavi memang cocok untuk pertempuran skala luas.Aku baru menyadari betapa hancur area sekitar kami setelah serangan kilat raksasa dari Lavi. Tanah hancur pecah belah di lokasi jatuhnya petir. Pohon-pohon ada yang terbakar meski tidak merambat. Tanahnya gosong. Sungguh, kerusakan yang ditimbulkan serangan Lavi punya skala lebih besar dari yang kubayangkan.Dua blasteran di dekat musuh sudah tidak bernyawa.Kabar baik dan kabar buruknya, sang musuh ini masih hidup.Kami bisa saja menghabisinya saat itu juga, tetapi Lavi punya ide yang lebih bagus. “Aku mau cari tahu sedikit.”Kami melilit tubuh pria itu dengan sulur, lalu menggantungnya seperti akar gantung. Kata Lavi, “Mirip sarang lebah.” Ya. Sarang lebah yang punya wajah agak hancur. Hidungnya bengkok ke arah salah, tampaknya sudah sulit bernapas. Kalau dibiarkan, dia bisa mati. Jadi, aku meninjunya.
Kami berhenti di pohon Leo. Akal sehat Lavi kembali dengan cepat. Dalam detik berikutnya, dia memintaku menumbuhkan sulur agar bisa menjadi tali untuk mengikat lengan kiriku. Aku melakukannya dan menyaksikan Lavi menghentikan pendarahan dengan cekatan. Mau tak mau aku melihat wajahnya dari dekat dan dia masih bernuansa kaku seolah seberkas dirinya masih terguncang mendapati dirinya bisa melukaiku cukup dalam. Ketika lenganku sudah dililit sulur sangat kuat, Lavi juga meminta, “Dinginkan suhu di lenganmu, buat luka ini membeku.”Aku bahkan tidak memikirkan itu jika tidak dia katakan. Aku membuat suhu dingin di lenganku. Lengan kiriku mati rasa, entah karena beku atau luka.Kurang lebih, suasananya langsung hening. Tidak ada serangan lain. Semua berhenti. Aku juga berhasil bernapas panjang, menyandar ke batang pohon. Kalau pohon ini masih ada, kemampuanku berarti masih bekerja. Lavi di sisiku, membisu, menatap luka di lenganku yang mulai membeku. Sorotnya pen
Dalam waktu sekejap, ratusan monster datang ke tempat kami.Lavi berhasil selamat. Dia menurunkan level tanah, lalu menjerit dipenuhi emosi. Teriakannya memancarkan tombak listrik, yang secara insidental langsung memecahkan kepala monster raksasa yang menimpanya. Dia bangkit, hanya untuk menemukan aku sudah diserang ratusan monster cebol dan puluhan beruang.Aku bisa menumbuhkan pohon raksasa yang mencambuk mereka semua, tetapi mendadak Lavi muncul di belakangku, memeluk punggungku—tiba-tiba dia melilitkan dirinya padaku. Aku hampir protes sampai Lavi bilang, “Berlindung.”Aku mengerti, lalu menurunkan level tanah tempat kami berpijak.Kami meluncur ke bawah seperti sumur. Puluhan meter. Aku mendongak—ada monster cebol yang melompat dan kusaksikan langit mulai mendung. Percikan listrik mengumpul di awan.Aku menutup tanah, membuat sekitar kami gelap.Lalu menaikkan level penutup tanah kami mendorong monster cebol.
Di tengah situasi mengharukan bukit perbatasan, hanya Isha yang bereaksi menghampiriku, lalu memegang lenganku, membuatku bergidik dan dia menatapku sangat mengerikan. Di titik itu, lenganku terasa perih lagi.“Oh tidak,” gumam Isha.Sebenarnya aku ingin merangkul Bongsor dan mengatakan kalau kini semua bebannya sudah terangkat, tetapi ketika Isha memegang lenganku, kurasakan suatu sensasi yang sudah lama tidak kurasakan sejak rangkaian misi: kelelahan.Kakiku mendadak lemas. Aku ambruk begitu saja, membuat Lavi dan Reila kaget. Mereka langsung menghampiriku. Kubilang, aku tidak apa, dan Isha segera mengucap untaian kata yang tidak kupercaya: “Keringatmu dingin.”Semua langsung bergerak cepat. Dokter Gelda juga bangkit lagi, meski juga dibantu Profesor Merla. Isha meminta bantuan Reila agar aku diangkut ke klinik—bersama Lavi dan Leo. Lavi protes, mengatakan kalau dia bisa jalan, tetapi Isha tak lagi menerima protes. Jadi, ka
Aku terbangun lagi tengah malam.Ruanganku di klinik gelap. Aku tersadar dengan cara paling normal, dengan alami menoleh ke tempat tidur sebelah. Lavi tidak ada. Tempat tidurnya berantakan. Selimutnya seperti baru menutupi seseorang. Tampaknya Lavi keluar ruangan.Dan benar. Tidak lama kemudian, pintu ruangan terbuka.“Lavi,” panggilku.“Ah? Kau bangun? Maaf, apa aku membangunkanmu?”“Aku baru bangun lagi.”Dia menghampiriku, duduk di kursi ketika aku berusaha bangkit dari tidur. Lavi membantu, menaikkan tempat tidur agar sepertiga bagian menjadi punggung kursi. Aku berhasil duduk. Lengan kiriku rasanya kaku.“Jenderal sudah kembali,” kata Lavi. “Tadi aku mengobrol dengan banyak dewan di lantai dua. Jenderal, Kara, Dokter Gelda, Profesor Merla, Nadir, Haswin. Aku melaporkan semuanya. Apa yang terjadi di misi kita.”“Cara kita menemukan Leo,” kataku.
Aku bangun lebih siang dari yang kuperkirakan.Mataku terbuka saat aku mencium aroma sosis beku. Perutku terusik—yang tampaknya aroma itu berhasil menggugah lapar dan membuka mata. Di penglihatan pertamaku, aku sudah menemukan gadis manis duduk di kursi sebelah tempat tidur, menyantap sosis beku sembari meringis ceria.“Forlan!” seru Fal. “Forlan bangunnya siang!”“Fal,” kataku. “Jam berapa sekarang?”“Sepuluh.”Aku bangkit secara perlahan. Tempat tidur sebelah sudah rapi. Lavi tidak ada. Dia tidak membangunkanku—dia memang tidak janji melakukannya. Jadi, aku memberi sambutan pada Fal berupa tarikan lembut di dua pipinya dan Fal merengek kalau tidak bisa makan sosis saat aku menarik pipinya begitu. Aku juga ingin ikut makan sosis. Kutanya di mana dia mengambilnya, dan dia menuding pakai telunjuk ke wajahku. “Forlan harus mandi pagi dulu! Kalau tidak mandi nanti sakit!&rdq
Fal memberikan satu mangkok es krim pada Dokter Gelda—sebagai tanda kalau Fal ingin menghibur Dokter Gelda, dan Fal berkata, “Es krim ini bisa bikin Dokter Gelda senyum lagi, jadi harus dihabiskan.” Anak itu begitu menggemaskan sampai Dokter Gelda tersenyum meminta Fal duduk di pangkuannya. Jadi, tiba-tiba Fal sudah duduk bersama Dokter Gelda dan disuapi es krim.Aku juga kebagian jatah mangkuk es krim bersama Reila. Kubilang pada Dokter Gelda kalau, “Es krim ini buatan Fal.”“Oya?” sahut Dokter Gelda. “Fal membuat es krim?”“Hm-mm,” angguk Fal, semangat.Dokter Gelda memuji sementara aku dan Reila memutar bola mata. “Yah, itu juga berarti kalau dia bisa makan es krim tanpa kenal waktu lagi,” kataku, dan Reila sepakat dengan menambahkan, “Tidak ada gunanya menyembunyikan semua es krim karena dia bisa bikin kapan pun di markas tim tungku.”“Fal tahu waktu
Yasha dan Dalton punya gagasan mengajakku memancing, tetapi aku tidak berminat. Kubilang aku ingin istirahat dan entah bagaimana mereka tidak mencoba memaksa—barangkali mereka melihat perban dan menyimpulkan itu cukup parah. Jadi, Yasha mengurungkan niat karena, “Membosankan kalau cuma berdua. Lebih baik aku mengurus markasku,” dan Dalton bilang, “Kalau begitu aku bantu Bazz memperbaiki beberapa senjata.” Aku tak mengerti apa poin mereka mengumumkan itu, tetapi mereka memang membubarkan diri.Langit agak gelap. Aroma hujan sudah tercium. Fal menggerutu karena dia tidak bisa bermain. Katanya hujan membuat segalanya tidak asyik. Fal sedikit beda dengan diriku yang justru selalu mencari kesempatan keluar saat hujan. Fal justru tidak suka membasahi diri dengan air yang langsung dari langit.“Kenapa tidak suka?” tanyaku.“Kata Layla bisa bikin sakit. Fal tidak mau sakit.”Kasihan sekali kesenangan masa keci
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak