Sorenya, regu patroli berangkat. Semuanya. Satu rangkaian. Aku sedang di beranda Rumah Pohon, memetik dan memainkan gitar ketika Dalton menampakkan diri di bawah, mendongak padaku, berkata, “Aku berangkat.” Aku hanya bilang, “Hati-hati,” dan dia melangkah begitu saja. Dari beranda Rumah Pohon, aku bisa sedikit melihat bukit perbatasan—meskipun ukurannya sangat kecil. Aku melihat siluet mirip Jenderal dan Kara yang sudah bersiap.
Dan aku baru tahu kalau selama ini Dalton selalu mampir ke markas ini sebelum benar-benar berangkat. Kurasa semua anggota tim penyerang punya ritual keberangkatan masing-masing. Ketika aku punya ritual memeluk Reila dan Fal—dan jika tidak berangkat dengan Lavi, aku juga akan memeluknya—Dalton punya ritual menghampiri markas tim penyerang untuk memantapkan keberangkatan. Itu jenis ritual yang aneh meskipun bisa dibilang ritualku juga cukup aneh.
Aku menghabiskan sore di beranda sampai kehadiran Lavi tera
Malamnya, aku punya rencana mencari keberadaan Bibi, tetapi ada dua hal yang membuatku tidak bisa melakukannya. Pertama, Fin melarang.[“Besok datanglah ke Perbatasan.”]Aku ingin bertanya apa alasannya, tetapi kedua: Lavi sudah menyebut satu perintah mutlak. “Malam ini kita habiskan waktu di gerhaku. Aku sudah minta izin Reila. Dia oke. Fal juga. Jadi, kau tidak berhak menolak.”Itu pertama kalinya dia menahanku di gerhanya seizin Reila. Barangkali dia terlalu lelah dan ingin mengisi baterai, jadi kataku, “Enteng.” Meskipun aku bilang satu kondisi: “Aku mau menemui Haswin dan Yasha, tapi aku janji ke gerhamu.”Lavi tidak ingin penasaran apa yang kami lakukan meskipun aku yakin dia sedikit curiga karena terakhir kali kami bertemu malam-malam, Lavi menemukan kami memasang kembang api super berisik. Kembang api itu, secara teknis, gagal meluncur karena Lavi mengomel, “Kalian berniat mengganggu t
Aku baru masuk gerha Lavi ketika jam malam—itu pun karena Lavi bicara di kepalaku, bertanya kapan aku ke tempatnya. Di titik itu, aku sedang di gerhaku, bermain kartu dengan Reila dan Fal. Mereka tidak bertanya-tanya mengapa aku di gerha, jadi tiba-tiba kami sudah bermain kartu dengan hukuman.Sejujurnya aku berdebar-debar. Lavi tidak pernah mempersiapkan sesuatu hanya untuk menghabiskan malam bersama. Biasanya hanya aku tiba-tiba datang lalu kami mengobrol dan selesai. Tidak pernah ada persiapan. Jadi, aku takut dan berharap tidak ada hal aneh yang dia sembunyikan.Jadi, ketika sampai di depan gerha Lavi, kupikirkan gagasan paling normal: mungkin dia punya sesuatu yang ingin ditunjukkan padaku sama seperti gaun itu. Aku sudah melangkah berniat memutar kenop, tetapi tiba-tiba pintu itu terbuka—dan dadaku berdebar-debar sampai waktu melambat. Perlahan, pintu terbuka. Lavi di balik pintu. Waktu melambat sampai mataku berhasil sepenuhnya menemukan sosoknya. Da
Permainan kartu baru menunjukkan ujungnya setelah aku mengalami lima kali kemenangan beruntun—yang membuat Lavi menuntut kalau aku curang karena memakai kemampuan khusus, jadi di kemenangan ketigaku, dia menempelkan satu kertas yang bisa berubah warna kalau aku menggunakan kemampuan khusus. Saat kemenangan keempatku tiba, Lavi semakin mengerang karena aku terbukti tidak memakai kemampuan khusus. Keberuntunganku hanya semakin tinggi.Jadi, aku memberinya lima kali tantangan secara beruntun.Ideku tidak banyak terutama karena kepalaku sudah kosong. Tidak ada lagi yang kuinginkan setelah melihat Lavi dengan gaun. Jadi, di kemenangan ketiga aku memintanya bernyanyi. Lavi punya lagu yang paling dia sukai dan bernyanyi tanpa protes. Aku memejamkan mata, hanyut dalam suaranya—aku hampir tertidur kalau Lavi tidak melempar bantal ke wajahku. Dia bilang, “Kau takkan tidur sampai aku menang. Aku takkan membiarkanmu menikmati kejailanmu padaku.”Di k
Pagi berikutnya tiba, kami tak membiarkan satu sama lain pergi. Aku begitu erat mendekap Lavi. Dia terbangun lebih dulu, menatapku sampai terbangun. Saat kesadaranku terkumpul, dia menyapa, “Bagaimana hari pertamamu di 19 tahun?”“Sempurna.”Dia meringis. “Kesempurnaan ini belum berakhir.”Seperti biasa, dia beranjak pertama. Kami tidak keluar sampai jam sarapan habis. Kami baru berpisah di depan gerhanya, yang entah bagaimana membuatku berat. Aku tidak pernah terbiasa dengan malam, tetapi semalam adalah salah satu malam terbaik yang tidak ingin kulupakan sepanjang hidupku dan kalau aku bisa membuat waktu membeku, aku ingin malam itu terus terulang dan berlangsung selamanya. Sayangnya, waktu tidak bisa membeku, dan di sinilah kami: Lavi harus ke klinik dan aku harus... entah, mungkin mengisi waktu sampai bersama Lavi lagi. Jadi, aku melakukan perpisahan dengan malam penuh fantasi itu dengan mengecup Lavi. Dia tertawa, berkata,
Pesta makan tidak berakhir secepat makanan habis. Kami masih mengobrol panjang lebar. Di titik itu aku baru sadar kalau empat pendahulu ini jarang memiliki kesempatan mengobrol. Reila mengatakan apa yang kupikirkan. “Selama ini kukira kalian sering mengobrol diam-diam.”“Mana mungkin,” jawab Dhiena. “Kami terlalu sibuk.”“Dan mereka terlalu menganggur,” lanjut Mika. “Saking lama menganggur, mereka bingung harus melakukan apa dan akhirnya cari masalah. Sekarang kalian pasti sudah punya rencana yang tidak-tidak.”“Tidak sopan, kami menjaga keakraban penghuni,” sahut Yasha.“Kami bukan tipe yang bersenang-senang dengan pekerjaan,” kata Haswin. “Kami tipe yang bersama alam, mencari kesenangan dan menikmati hidup.”“Sebaiknya kita bakar saja semua baju dia dan jangan biarkan dia ambil baju lagi,” usul Dhiena. “Biarkan dia menyatu dengan alam
Aku menghabiskan waktu sampai detik terakhir di Perbatasan dan berhasil membuat Bibi berjanji, “Iya, iya. Nanti malam menemanimu patroli. Janji.” Kupikir setidaknya berhasil mengamankan posisi dan waktu agar Bibi tidak mulai berpikir yang aneh-aneh lagi. Kami sudah lama tidak bertemu—barangkali sejak sebelum misi, jadi mungkin dalam selang waktu itu, Bibi kembali memikirkan hal-hal yang bisa membuatnya jatuh dalam kegelapan. Gagasan Fin selalu kuingat bahwa salah satu hal utama yang membuat Bibi bisa menjadi arwah adalah karena dirinya yang mengutuk dunia dengan amarah. Kurasakan amarah Bibi belum hilang.Perbatasan membuatku lelah dari semestinya. Aku ingin ke klinik, menatap raut Lavi yang bisa membuatku tenang, tetapi dia pasti sibuk. Jadi, aku berbaring di sofa gerha, menutup mata dengan buku yang kubaca. Tak ada yang mengganggu sampai Reila datang dan menemukanku.“Kak, dicari Lavi. Memangnya tidak bisa telepati, ya?”“Mu
Malamnya, Lavi memintaku bermalam lagi di gerhanya. Kuakui dia sedikit terlambat. Aku ingin menemaninya, tetapi kubilang, “Aku sudah berjanji. Aku ikut patroli malam. Haswin sudah memintaku ikut dari kemarin.”Kali ini Lavi curiga. “Patroli? Kau berniat aneh-aneh dengan mereka, kan?”“Tidak, kok,” timpalku—yang bodohnya, agak panik.“Kau biasanya tidak peduli patroli malam. Bahkan kalau aku mengajakmu saat kau sudah daftar, kau mau-mau saja menemaniku daripada patroli.”Dia ada benarnya, tetapi aku tidak ingin menyerah. Sulit menghadapi Lavi, tetapi aku ingin mencoba. “Lavi, ayolah. Sewaktu malam-malam sebelum serangan Aaron dan Troy, aku sering menemani patroli. Aku hanya ingin mengenang.”Lavi menatap keyakinanku di bola mata. Aku tidak mengalihkan mata.“Oke,” dia mengangguk-angguk. “Aku punya satu jatah tantangan dan aku bisa saja menggunakannya agar kau
Dengan cepat, setelah surat Hela terbuka, aku merasakan kengerian kuat.Seseorang.Ada di depan markas tim penyerang.Itu membuat mataku langsung bangkit dari tumpukan surat, memegang lutut Yasha sampai dia terkejut. Dia menuntut mengapa aku membelalak.“Dengar,” kataku, pelan, tetapi jelas. “Lavi, di depan, markas.”“Oh, benar.” Bibi mengonfirmasi. “Lavi terasa kemari.”“Sekarang jam malam,” ucap Yasha, enteng. “Mungkin dewan lewat.”“Nah, benar,” sahut Haswin. “Pasti dewan. Kudengar kau bisa merasakan keberadaan seseorang tapi tidak bisa tahu pasti siapa orang itu, kan?”“Tidak. Ini Lavi. Sungguhan,” timpalku, serius. Aku meminta Yasha agak turun dari beranda agar tidak terlihat dari luar. Yasha oke-oke saja. Dia turun, lalu sedikit mengintip keluar. “Aku tidak pernah memakai kemampuan deteksi selama di Padang Anu
Ternyata aku terbangun sebelum Fin membangunkan.Tempat tidurku lebih lengang dari semestinya. Aku berkedip, mengerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran, dan kusadari Yasha tidak ada di sampingku. Dalton masih ada. Haswin juga. Jadi, aku bangkit, merasakan keberadaan Yasha—benakku sudah dikuasai nuansa aneh—tetapi tidak. Dia dekat.Aku membuka pintu sulur. Yasha duduk di samping pintu, terkejut melihat pintu mendadak terbuka. Dia langsung melompat ke samping, mengarahkan belati ke arahku. Aku juga kaget, melompat, dan kami sadar di waktu yang sama.“Oh, sial, kukira siapa,” kata Yasha. Di sela-sela jarinya ada rokok.“Kau membuatku kaget karena tidak ada di tempat,” kataku. “Dan kau dua kali membuatku kaget karena ujung belatimu tipis kena mataku.”“Jam tiga masih setengah jam lagi,” katanya.“Itu juga kata-kataku.”“Aku tidur, sejujurnya. Bangun sepuluh
Suara Lavi menggema saat arloji hampir menunjukkan setengah satu.[“Kenapa kalian cukup dekat? Kalian tidak istirahat?”]Kujelaskan situasi tim kami kalau waktu istirahat kami sekitar setengah jam lagi. Aku sudah merasakan Lavi berhenti sejak setengah jam lalu—atau barangkali lebih. Aku lebih memusatkan perhatianku pada sekitar dibanding posisi Lavi. Saat aku penasaran dengan posisinya, dia seperti berhenti. Kami semakin dekat.[“Kami sudah buat tempat persembunyian. Cukup aman, tapi untukku yang sudah terbiasa dengan tempat persembunyianmu, aku tidak terlalu suka.”]Aku agak lama terdiam.Semua ucapan Lavi saat kami di Rumah Pohon terlintas di kepalaku. Entah bagaimana obrolan itu membuat caraku memikirkan Lavi sedikit berbeda. Biasanya aku tidak terlalu cemas—maksudku, dia pasti bisa menanganinya. Aku percaya dia bisa melewati banyak hal. Namun, sekarang, rasanya aku tidak benar-benar tenang k
Medan awal kami tidak terlalu mengerikan. Bahkan sesuai dugaanku. Tanah cukup rata. Pohon-pohon juga renggang, tidak seperti hutan alam liar biasanya. Aku bisa merasakan kami ada di area luar gunung. Kami di dataran tinggi normal. Tidak ada area berbahaya yang kurasakan. Hanya seperti alam liar normal.Meskipun begitu, bukan berarti areanya benar-benar datar. Masih ada celah-celah kecil seperti jurang bekas longsor. Biasanya itu bisa dihindari dengan mudah. Sayangnya, gelap. Malam telah menguasai alam liar. Haswin dan Yasha memakai senter sorot di kepalanya. Mereka mengikat senter itu di kepala, lalu mengarahkan itu ke sekitar yang membuat semua kelihatan jelas.“Cahayanya terlalu terang,” kata Dalton.“Kurasa begitu,” ujar Haswin.“Memberi cahaya terlalu terang seperti memberi sinyal musuh.”“Aku tahu itu.” Haswin akhirnya mengecilkan tingkat kecerahan senter.“Kelihatannya kita tidak di
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar