Sisa malam habis tanpa ada masalah. Aku tertidur lagi bersama Fal sampai matahari terbit. Fal masih tertidur di sampingku dan mengingat semua yang sudah dia lakukan saat aku bermimpi, aku tidak ingin mengganggunya. Sebenarnya aku ingin menghabiskan pagi di batu nisan Ibu, tetapi memikirkan Fal—aku tahu kalau lebih baik menghabiskan waktu dengannya yang terlelap dibanding di batu nisan yang tidak bisa menyadari keberadaanku lagi. Reila benar. Aku terus memikirkan itu sepanjang malam—Ibu sudah tiada. Mau bagaimana pun juga, Ibu sudah tiada. Barangkali ketika aku selalu terdiam di batu nisannya seolah Ibu bisa mengerti apa yang kurasakan, itu juga bukti bahwa aku tidak bisa menerima kepergiannya.
Orang yang diizinkan terus hidup tidak boleh mengerti apa yang terjadi pada keberadaan yang telah tiada—gagasan itu hanya berarti satu: pada dasarnya, orang yang ditinggalkan harus tetap melanjutkan perjalanannya. Aku harus melanjutkan perjalananku. Aku boleh bersedih.
Keberangkatan kali ini beda. Ada yang mengantar kami: Lavi.Fal sudah melepas keberangkatan kami di gerha. Dia tidak terlalu melihat keberangkatan kami dengan penuh cemas, dia bahkan secara sadar berkata, “Kalian pasti pulang, jadi sampai bertemu besok.” Lalu meringis tertawa. Jadi, kali ini yang mengantar sampai bukit perbatasan hanya Lavi.“Yah, mungkin tidak ada apa-apa di sana,” katanya, pada kami.“Dua titik,” Reila mengingatkan.“Sebelum ini aku pergi ke dua titik dan tidak ada apa-apa.”“Kami,” koreksiku.“Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu, jangan merajuk begitu.”Sama seperti saat keberangkatanku dengan Lavi, Mister tidak banyak bicara untuk menjelaskan prosedur. Dia hanya mengobrol normal dengan Profesor Merla membicarakan regu Jenderal yang sudah berangkat lebih dulu. Keberangkatan kali ini membawa tiga regu. Regu pertama berisi Nadir dan Jenderal. Reg
Trek awal kami bagiku begitu bersahabat untuk ukuran alam liar.Hanya ada medan yang tertutup semak-semak dan dikelilingi pohon normal. Setidaknya pohon dengan akar, batang, dan dahan-dahan berukuran normal. Tidak ada tanah miring. Rata. Namun, beberapa ratus meter ke depan akan sedikit turun, tetapi tidak ada ancaman berarti. Itu cukup menenangkan.Namun, Reila berkata, “Kemarin kita ketemu ular di tempat begini, bukan hal mustahil kalau sekarang—” Lalu kubilang, “Aku bisa merasakan keberadaan ular, jadi tidak perlu cemas. Tidak ada apa-apa di kumpulan semak sampai beberapa ratus meter ke depan. Mau aku saja yang di depan?”Gagasan itu juga baru untuk Profesor Merla, jadi dia mempersilahkanku di barisan depan, membuka jalur ke arah titik patroli. Satu-satunya yang bisa membuat jengkel di trek ini hanya semak-semak yang membuat gatal-gatal. Selebihnya tidak ada, jadi Profesor Merla bisa memulai obrolan kelewat ringan dengan berkata,
Posisi kami lebih landai dari pola medan alam liar yang biasa kutemui.Barangkali itulah mengapa saat ini kami bisa bertemu puing-puing. Ada satu konsep bagi Padang Anushka bahwa puing-puing selalu dekat dengan keberadaan musuh—aku sebenarnya tak terlalu percaya dengan gagasan itu, tetapi dengan cara paling kebetulan yang bisa terjadi, aku tiba-tiba merasakan keberadaan manusia.Aku melaporkan itu ke Profesor Merla.Perintahnya langsung muncul dengan jelas: berhenti, amati dari jauh. Hanya itu. Bukan perintah sederhana yang terkesan langsung menyerang seperti hilangkan diri kami dengan kabut atau sergap tanpa ragu. Kami berhenti agak jauh dari puing-puing, tetapi puing-puing terlihat di balik pepohonan. Aku berjongkok, merasakan langkah kaki—Profesor Merla dan Reila jongkok di dekatku.“Menjauh,” kataku. “Semakin jauh.”“Berapa orang?”“Satu.”“Mencurigakan. Mustahil mu
Mau seberapa tajam aura membunuh kami, dia sama sekali tidak bicara. Dan meski babak belur, kesadarannya juga tidak pergi. Dia ikut frustrasi dengan itu.“Aku sudah meninju pipinya beberapa kali di dua sisi berbeda,” laporku ke Profesor Merla dan Reila. “Juga sudah berulang kali mendorong isi mulutnya, jadi pasti tidak ada obat-obatan yang disebut Berlin. Dan aku tidak bisa lagi merasakan orang yang kusebut di awal. Dia pasti orang itu. Mungkin dia menyadari kita datang ke tempat ini, jadi dia berbalik. Entah apa tujuannya.”“Jangan-jangan tujuan Kakak memisahkan diri....”“Memancing dia ke tempatku. Dia pasti menyerang yang sendirian.”“Berisiko sekali.”“Maaf.”“Tapi kalau tak ada obat, berarti sisa satu,” gumam Reila, menatap anak itu.“Mungkin bom,” anggukku. “Bersiaplah dengan segala kemungkinan.”Profesor Merla masi
Aku merasakan posisi Profesor Merla dan Reila. Mereka masih ada, bahkan terasa cukup baik dari hawa keberadaannya. Di waktu sama, aku berusaha mencari keberadaan musuh. Tidak lagi sepuluh. Sudah tujuh. Satu tergeletak di lokasi awal ledakan—tempat kemunculan Erick, tampaknya pemuda itu. Dua di dekatku. Dua bersama Reila. Dua bersama Profesor Merla. Kami unggul.Erick juga kewalahan menghadapiku meski bersama blasteran.Kubayangkan Lavi bersamaku. Dia pasti tak akan melewatkan kesempatan bersenang-senang dengan kemampuan kami tanpa pembatas. Selama berada dalam Padang Anushka, kami tidak punya kesempatan mencoba beragam kombinasi yang kami pikirkan pada kemampuan yang sudah berkembang. Di alam liar, aku bebas melakukannya, membuat pohon sebesar apa pun atau bongkahan tanah sekuat apa pun. Kami tidak perlu khawatir merusak area sekitar. Bahkan, kami memang sudah sewajarnya merusak area sekitar. Ini yang selama ini kami pikirkan.Sayangnya, aku tidak sempat m
Aku berada di titik paling luar biasa selama pertempuran ketika merasakan tubuhku tidak terasa berat meski telah memakai banyak kombinasi kekuatan. Pada akhirnya segala rangkaian latihan yang kulakukan bersama Lavi dan tim penyerang lain ada hasilnya: kecepatan restorasi energiku semakin sinting.Pertempuran semakin maju ke tahap berikutnya. Monster-monster tak ragu mengepung dan menyerangku dari segala arah.Aku punya tingkat kelincahan cukup tinggi—meski tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Lavi—tetapi sudah cukup untuk bergerak cepat menghadapi setiap kakek cebol yang datang menyerang. Selama beberapa waktu yang lama, aku tidak bisa menghampiri dan meladeni Erick—dia juga tidak menyerang, bahkan tak bisa bergerak seolah berniat memulihkan diri. Rekan blasterannya sudah tiada. Kini dia bersama rekan sesama pengkhianatnya: Koba.Kuingat, Koba mengurusi Reila. Aku bisa merasakan keberadaan Reila dan aku juga ingin bertempur bersamanya, t
Pertempuran masih berlanjut, tidak lagi terhindarkan.Profesor Merla fokus menghadapi bos Erick itu. Dia benar-benar punya tipe kekuatan aneh. Dia menggerakkan tangannya, dan entah bagaimana bisa membelah apa pun yang ada di sekitarnya. Dia juga bisa menarik apa pun, seperti bongkahan batu, lalu melemparnya tanpa menyentuh seperti Reila. Dia sangat merepotkan—yang membuatku dan Reila tiba-tiba harus membantu Profesor Merla.Profesor Merla punya trik untuk menahan serangan itu: tahan pakai pedang, lalu melompat menghindar sebelum serangan itu memotong pedang kami.“Anggap saja satu hal, sekali kau menyentuhnya, kau mati,” katanya.Masalahnya: si bos ini benar-benar gila. Dan tidak cukup dengan itu, entah dari mana asalnya, dua blasteran datang mengurusku. Berbeda dengan mereka yang kuhadapi sebelumnya. Mereka lebih lincah. Pendek. Mirip kakek cebol, tetapi tidak sekecil mereka. Aku sempat terkena mentah-mentah tonjokannya, dan kurasakan i
Reila berniat mengejar Erick, tetapi tiba-tiba si topeng di dekat kami—entah bagaimana caranya—lalu berkata dengan suara sangat tinggi dan aneh. “Tidak perlu dikejar. Biarkan dia. Ada yang lebih penting.”Reila langsung terhenti. Aku juga terhenti. Kami menatapnya tidak yakin.Suaranya aneh, seperti diubah oleh alat.Dan itu topeng karakter yang sama seperti orang yang pernah membantuku di laboratorium musuh. Terlepas dari wujudnya yang lebih mengerikan—dipenuhi bercak darah—entah bagaimana aku merasa lebih bisa mempercayainya.Lalu muncul dengan cara yang sama seperti si topeng ini: Profesor Merla, mengacungkan pedangnya ke si topeng. Sorotnya sangat tajam.“Siapa?” tanya Profesor Merla.Monster ada di sekeliling kami, sudah bersiap menyerang. Aku ingin bilang kalau konflik ini sebenarnya bisa dihindari. Terlepas betapa si topeng ini sungguh mencurigakan, dia sudah menghabisi musuh terberat ka