Aku terbangun sembari merasakan jemari-jemari kecil meremas jemariku—dan tanpa sadar tampaknya aku juga balas meremasnya sangat kuat.
Mataku terbuka, merasakan sensasi perih yang begitu menyengat di mataku ketika menemukan lampu menyala di langit-langit. Aku tidak ingat pernah tertidur tanpa mematikan lampu—sampai kusadari kalau bentuk langit-langit ruangan yang ini agak berbeda dengan langit-langit kamarku. Kemudian aku merasakan jemari kecil, membawa pandanganku yang perih dan berat ke pemilik tangan itu—lengan yang kecil dan pendek, pundak yang sangat kecil, bentuk wajah yang gemas.
Fal.
Fal menatapku dengan sorot campur aduk—kurasakan simpati, sedih, takut, cemas, dan semua hal yang membuatnya sedikit cemberut seperti ekspresinya saat menahan tangis. Dengan impulsif, aku mengambil napas—kurasakan benakku agak mengganjal seperti sesuatu mengganggu jalur pernapasanku. Dan tiba-tiba aku juga menarik ingus seperti habis menangis. Hi
Sisa malam habis tanpa ada masalah. Aku tertidur lagi bersama Fal sampai matahari terbit. Fal masih tertidur di sampingku dan mengingat semua yang sudah dia lakukan saat aku bermimpi, aku tidak ingin mengganggunya. Sebenarnya aku ingin menghabiskan pagi di batu nisan Ibu, tetapi memikirkan Fal—aku tahu kalau lebih baik menghabiskan waktu dengannya yang terlelap dibanding di batu nisan yang tidak bisa menyadari keberadaanku lagi. Reila benar. Aku terus memikirkan itu sepanjang malam—Ibu sudah tiada. Mau bagaimana pun juga, Ibu sudah tiada. Barangkali ketika aku selalu terdiam di batu nisannya seolah Ibu bisa mengerti apa yang kurasakan, itu juga bukti bahwa aku tidak bisa menerima kepergiannya.Orang yang diizinkan terus hidup tidak boleh mengerti apa yang terjadi pada keberadaan yang telah tiada—gagasan itu hanya berarti satu: pada dasarnya, orang yang ditinggalkan harus tetap melanjutkan perjalanannya. Aku harus melanjutkan perjalananku. Aku boleh bersedih.
Keberangkatan kali ini beda. Ada yang mengantar kami: Lavi.Fal sudah melepas keberangkatan kami di gerha. Dia tidak terlalu melihat keberangkatan kami dengan penuh cemas, dia bahkan secara sadar berkata, “Kalian pasti pulang, jadi sampai bertemu besok.” Lalu meringis tertawa. Jadi, kali ini yang mengantar sampai bukit perbatasan hanya Lavi.“Yah, mungkin tidak ada apa-apa di sana,” katanya, pada kami.“Dua titik,” Reila mengingatkan.“Sebelum ini aku pergi ke dua titik dan tidak ada apa-apa.”“Kami,” koreksiku.“Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu, jangan merajuk begitu.”Sama seperti saat keberangkatanku dengan Lavi, Mister tidak banyak bicara untuk menjelaskan prosedur. Dia hanya mengobrol normal dengan Profesor Merla membicarakan regu Jenderal yang sudah berangkat lebih dulu. Keberangkatan kali ini membawa tiga regu. Regu pertama berisi Nadir dan Jenderal. Reg
Trek awal kami bagiku begitu bersahabat untuk ukuran alam liar.Hanya ada medan yang tertutup semak-semak dan dikelilingi pohon normal. Setidaknya pohon dengan akar, batang, dan dahan-dahan berukuran normal. Tidak ada tanah miring. Rata. Namun, beberapa ratus meter ke depan akan sedikit turun, tetapi tidak ada ancaman berarti. Itu cukup menenangkan.Namun, Reila berkata, “Kemarin kita ketemu ular di tempat begini, bukan hal mustahil kalau sekarang—” Lalu kubilang, “Aku bisa merasakan keberadaan ular, jadi tidak perlu cemas. Tidak ada apa-apa di kumpulan semak sampai beberapa ratus meter ke depan. Mau aku saja yang di depan?”Gagasan itu juga baru untuk Profesor Merla, jadi dia mempersilahkanku di barisan depan, membuka jalur ke arah titik patroli. Satu-satunya yang bisa membuat jengkel di trek ini hanya semak-semak yang membuat gatal-gatal. Selebihnya tidak ada, jadi Profesor Merla bisa memulai obrolan kelewat ringan dengan berkata,
Posisi kami lebih landai dari pola medan alam liar yang biasa kutemui.Barangkali itulah mengapa saat ini kami bisa bertemu puing-puing. Ada satu konsep bagi Padang Anushka bahwa puing-puing selalu dekat dengan keberadaan musuh—aku sebenarnya tak terlalu percaya dengan gagasan itu, tetapi dengan cara paling kebetulan yang bisa terjadi, aku tiba-tiba merasakan keberadaan manusia.Aku melaporkan itu ke Profesor Merla.Perintahnya langsung muncul dengan jelas: berhenti, amati dari jauh. Hanya itu. Bukan perintah sederhana yang terkesan langsung menyerang seperti hilangkan diri kami dengan kabut atau sergap tanpa ragu. Kami berhenti agak jauh dari puing-puing, tetapi puing-puing terlihat di balik pepohonan. Aku berjongkok, merasakan langkah kaki—Profesor Merla dan Reila jongkok di dekatku.“Menjauh,” kataku. “Semakin jauh.”“Berapa orang?”“Satu.”“Mencurigakan. Mustahil mu
Mau seberapa tajam aura membunuh kami, dia sama sekali tidak bicara. Dan meski babak belur, kesadarannya juga tidak pergi. Dia ikut frustrasi dengan itu.“Aku sudah meninju pipinya beberapa kali di dua sisi berbeda,” laporku ke Profesor Merla dan Reila. “Juga sudah berulang kali mendorong isi mulutnya, jadi pasti tidak ada obat-obatan yang disebut Berlin. Dan aku tidak bisa lagi merasakan orang yang kusebut di awal. Dia pasti orang itu. Mungkin dia menyadari kita datang ke tempat ini, jadi dia berbalik. Entah apa tujuannya.”“Jangan-jangan tujuan Kakak memisahkan diri....”“Memancing dia ke tempatku. Dia pasti menyerang yang sendirian.”“Berisiko sekali.”“Maaf.”“Tapi kalau tak ada obat, berarti sisa satu,” gumam Reila, menatap anak itu.“Mungkin bom,” anggukku. “Bersiaplah dengan segala kemungkinan.”Profesor Merla masi
Aku merasakan posisi Profesor Merla dan Reila. Mereka masih ada, bahkan terasa cukup baik dari hawa keberadaannya. Di waktu sama, aku berusaha mencari keberadaan musuh. Tidak lagi sepuluh. Sudah tujuh. Satu tergeletak di lokasi awal ledakan—tempat kemunculan Erick, tampaknya pemuda itu. Dua di dekatku. Dua bersama Reila. Dua bersama Profesor Merla. Kami unggul.Erick juga kewalahan menghadapiku meski bersama blasteran.Kubayangkan Lavi bersamaku. Dia pasti tak akan melewatkan kesempatan bersenang-senang dengan kemampuan kami tanpa pembatas. Selama berada dalam Padang Anushka, kami tidak punya kesempatan mencoba beragam kombinasi yang kami pikirkan pada kemampuan yang sudah berkembang. Di alam liar, aku bebas melakukannya, membuat pohon sebesar apa pun atau bongkahan tanah sekuat apa pun. Kami tidak perlu khawatir merusak area sekitar. Bahkan, kami memang sudah sewajarnya merusak area sekitar. Ini yang selama ini kami pikirkan.Sayangnya, aku tidak sempat m
Aku berada di titik paling luar biasa selama pertempuran ketika merasakan tubuhku tidak terasa berat meski telah memakai banyak kombinasi kekuatan. Pada akhirnya segala rangkaian latihan yang kulakukan bersama Lavi dan tim penyerang lain ada hasilnya: kecepatan restorasi energiku semakin sinting.Pertempuran semakin maju ke tahap berikutnya. Monster-monster tak ragu mengepung dan menyerangku dari segala arah.Aku punya tingkat kelincahan cukup tinggi—meski tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Lavi—tetapi sudah cukup untuk bergerak cepat menghadapi setiap kakek cebol yang datang menyerang. Selama beberapa waktu yang lama, aku tidak bisa menghampiri dan meladeni Erick—dia juga tidak menyerang, bahkan tak bisa bergerak seolah berniat memulihkan diri. Rekan blasterannya sudah tiada. Kini dia bersama rekan sesama pengkhianatnya: Koba.Kuingat, Koba mengurusi Reila. Aku bisa merasakan keberadaan Reila dan aku juga ingin bertempur bersamanya, t
Pertempuran masih berlanjut, tidak lagi terhindarkan.Profesor Merla fokus menghadapi bos Erick itu. Dia benar-benar punya tipe kekuatan aneh. Dia menggerakkan tangannya, dan entah bagaimana bisa membelah apa pun yang ada di sekitarnya. Dia juga bisa menarik apa pun, seperti bongkahan batu, lalu melemparnya tanpa menyentuh seperti Reila. Dia sangat merepotkan—yang membuatku dan Reila tiba-tiba harus membantu Profesor Merla.Profesor Merla punya trik untuk menahan serangan itu: tahan pakai pedang, lalu melompat menghindar sebelum serangan itu memotong pedang kami.“Anggap saja satu hal, sekali kau menyentuhnya, kau mati,” katanya.Masalahnya: si bos ini benar-benar gila. Dan tidak cukup dengan itu, entah dari mana asalnya, dua blasteran datang mengurusku. Berbeda dengan mereka yang kuhadapi sebelumnya. Mereka lebih lincah. Pendek. Mirip kakek cebol, tetapi tidak sekecil mereka. Aku sempat terkena mentah-mentah tonjokannya, dan kurasakan i
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak