Rapat strategi berlangsung di Gerhaku selama tujuh menit.
Ada aku, Haswin, Yasha, Dalton, Elka, Lukas, Reila, dan Kara. Belakangan Haswin menyebut Gerhaku tempat ternyaman untuk berkumpul—biasanya kami di Gerha Dalton ketika bosan menikmati danau sebagai pemandangan untuk ngobrol, tetapi setelah Gerha Dalton rusuh setiap kami di sana, secara teknis, dia mengusir kami. Gerha Dalton juga tidak bisa menjadi pilihan bila Elton ada di sana.
“Rasanya memalukan karena aku baru tahu penghuni punya ciri khas yang menonjol di masing-masing Gerha,” ujar Kara, mengamati tiap sudut Gerhaku.
Sebelum tujuh menit rapat strategi, aku berdiri bersama Kara di seberang pancuran kolam, Reila ikut di dekat kami, dan Kara bertanya, “Biar kutebak, Nak, ini mirip pondok gunung milikmu, kan?”
“Cukup mirip.”
“Menenangkan sekali. Air terjun terasa segar di sini.”
“Itu juga yang kurasakan saat di pondok.”
Hal terakhir yang kami lakukan sampai jam malam—dengan sangat yakin—adalah membongkar setiap sudut Gerhaku seolah-olah seseorang berani sembunyi di tempat yang tidak boleh dia pakai sebagai tempat sembunyi. Aku punya dua asumsi soal sisa orang itu. Pertama, dia Kenzie—meskipun aku tidak mengerti mengapa dia memilih menyembunyikan keberadaannya di area Gerha pemilik kemampuan. Semua orang juga masih tidak mengerti mengapa dia sampai harus menyembunyikan keberadaan seolah dia terlibat sesuatu yang begitu mencekam. Kedua, dan yang paling kuyakini, itu Aza. Aku juga sering merasakan Aza seolah kehadirannya masih terasa di sekitarku. “Aku mengatakan itu pada Dhiena dan Mika,” jelas Haswin. “Mika bilang, mungkin yang Fal maksud Gerha Troy atau Aaron. Ada yang sembunyi—” “Disembunyikan,” koreksi Yasha, sudah kembali bersama kami. “Ada yang disembunyikan Aaron atau Troy,” lanjut Haswin. “Jadi, dengan asumsi Dalton sudah mampir ke Gerha Aaron d
Troy masih tidak keluar hingga bel keempat. Melihat Gerha Troy yang begitu defensif, rasanya memang mencurigakan. Pagar yang terbuat dari besi ini, kawat berduri sebagai hiasannya, entah bagaimana nuansa yang terasa justru seperti melihat penjara. “Gerbangnya dikunci dari dalam,” kata Dalton, melihat dari celah. “Rantai dan bergembok. Takkan mudah. Sepertinya dia memang tidak berniat keluar.” “Kurasa kita memang harus mendobraknya,” cetus Yasha. “Jadi, kita serius mau menerobos masuk?” Kami terdiam. Dalton menatap Haswin, Yasha menatap Haswin, aku juga menatap Haswin. Haswin menatap Dalton. Kemudian kami tidak bicara—karena sebagian dari kami menunggu instruksi Haswin, tetapi bahasa tubuh Haswin seperti menunggu instruksi Dalton. Dan tampaknya yang memikirkan itu bukan hanya aku. Yasha memotong keheningan. “Jadi, bagaimana, Bongsor?” “Aku?” Gagasan itu memang tepat sasaran. “Dobrak saja.” “Oke, tunggu sebentar,” kata Dalton. “N
Dalton menelusuri dinding sekali lagi—menemukan pintu ke bawah di balik meja. “Betapa bodohnya ini tidak kulakukan sejak awal,” decaknya.Kubayangkan itu tangga ke bawah seperti di vila Fal.Namun, tidak, tangga itu justru seperti pintu gorong-gorong, bentuknya dari besi melingkar yang cara dibukanya dengan memutar persneling. Haswin bilang memutar itu pasti akan sulit—seperti ada mekanisme khusus. Dalton tak mau ambil risiko, jadi dia meminta kami mundur beberapa langkah saat dia memakai jam.Kemudian ketika Dalton memencet jam tangannya, tiba-tiba laser muncul.Itu sudah cukup membuatku dan Haswin tercengang, bahkan Yasha sampai menganga tak percaya, tetapi Dalton dengan sangat lihai—bahkan tanpa kacamata khusus, memutar laser itu di pinggiran pintu, membuat pintu itu terbelah. Lagi-lagi dia memakai kemampuannya, mengangkat pintu yang sudah terbelah tanpa sedikit pun memegangnya. Dia memakai senter, menyinari bagian dalam l
Situasinya sangat janggal.Bisa dibilang, terakhir kali aku melihat Kenzie—saat pertama kami melihat Venus dari atas, dia tidak sekacau ini. Dia masih terlihat arogan, dengan baju yang layak dan badan sehat—itu poinnya. Dia tidak pernah menatap kami dengan sorot penuh ngeri. Itu cukup membuatku membisu—mau aku menerimanya atau tidak, kurasa Dalton dan aku sudah bisa mengerti kebenaran yang terjadi.“Kita kecolongan,” gumam Yasha.Haswin mencetuskan untuk membedah ruangan kecil itu. Yasha juga segera bergerak seolah tidak ada lagi yang harus dilakukan. Dalam jeda waktu itu, aku dan Dalton sempat bertemu mata—yang cukup jelas bahwa dia mengerti bila ada orang yang bisa menjelaskan semua ini, tanpa harus melibatkan Troy, itu aku. Namun, dia memilih bungkam, mengedikkan kepala, seolah memberiku isyarat untuk langsung ikut membedah ruangan. Aku sempat trans, sedikit disorientasi, tetapi ketika Dalton mengerti dan sepenuhnya percaya
Sensasi itu kembali lagi ke kepalaku.Sensasi dingin yang bergejolak—yang persis kurasakan ketika mengetahui Lavi terlempar dari pertempuran. Kepalaku langsung dingin, tetapi juga membara. Rasanya batas antara fakta dan fiktif hilang, hingga sulit memahami semua yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba kepalaku memutar ulang semua yang terjadi selama seharian, terutama ketika aku masih bisa melihat Fal. Itu mustahil. Aku masih ingat jelas kami punya janji untuk esok hari. Aku ingat kami punya janji bermain. Tidak mungkin secepat itu Fal melanggar janjinya.Pertanyaan Haswin sangat jelas, “Fal hilang?”“Dia,” Layla terisak, “dia—Fal—”Kara menepuk pundak Layla, tampaknya mengerti Layla tak akan sanggup mengatakan apa pun. “Dengar, Nak. Aku tahu ini melanggar jam malam dan tidak semestinya aku di sini menemani Layla ke tempat berbahaya. Tapi Falesha hilang. Perkiraannya sekitar empat jam lalu saat terakh
Hal beruntungnya, kesadaranku tetap terjaga.Namun, gelap, tidak terlihat apa-apa. Satu-satunya yang terasa hanya debu.Aku bisa merasakan posisi tubuhku: telentang. Bagian bawahku tidak rata, sepertinya puing-puing bangunan. Aromanya tercampur antara tanah, debu, dan abu ledakan. Debunya jelas bercampur aduk, masih pekat. Sulit memahami apa yang ada di sekitar. Semua indraku terganggu. Mata tidak bisa membedakan mana yang dilihat saat terbuka dan tertutup. Rasanya seperti mau mati. Andai tidak memiliki kemampuan ini, aku yakin kami semua sudah tidak lagi di dunia.Suara pertama yang terdengar itu batuk Layla. Dia dekat.Kabar baiknya, dia langsung memanggil nama, meskipun lirih. “Forlan?”Aku tidak menjawab. Jadi, dia memanggil lagi. “Forlan?” Aku masih sulit membalas. Tenggorokanku kering. Lalu Layla memanggil lagi, tetapi dengan suara seperti hampir menangis. “Forlan? Di mana?”“Layla, jangan mena
Cara meloloskan diri kami lumayan mudah untuk ukuranku.Aku tidak menyangka kemampuan yang selama ini kusembunyikan—satu-satunya yang tahu aku punya kemampuan ini Lavi—harus digunakan ketika seperti ini. Kubilang pada Haswin syaratnya hanya satu: “Cari dinding tanah.”Jadi, ketika kami turun sampai dasar lubang, puing-puing sudah tidak ada di sekeliling. Gejolak dalam perutku mulai berputar kembali ketika konsentrasiku memuncak. Aku bisa membayangkan struktur tanah—pilihan mana yang lebih baik kuambil, apakah menyemburkan tanah ke luar hingga membentuk lorong tanah atau memadatkan tanah sekitar hingga tidak tersisa rongga.Cukup lama aku memikirkan itu, sampai kuputuskan menggabungkannya. Gemuruh mulai terdengar lagi seolah ledakan belum berhenti.Setidaknya, itu cukup membuatku terkejut. Lorong tanah terbentuk sampai atas dalam waktu kurang dari tiga menit. Sebagai gantinya, keringatku keluar cukup banyak seperti sehabis kel
Ada begitu banyak yang tercampur aduk dalam diri kami.Begitu Yasha kembali, aku juga berhasil berdiri—plus Kara berhasil tiba ke tempat kami. Dia langsung bertanya spesifik padaku, tetapi kubilang tidak masalah dan aku lebih cemas dengan kondisi Kara yang lusuh. Dua orang yang kepalanya diperban di sini aku dan Haswin, tetapi kondisiku jauh lebih parah. Haswin bilang itu wajar karena, “Ketika kita jatuh, orang pertama yang juga langsung membuat penyelamatan itu Forlan. Dia yang paling berkorban.”Aku benci gagasan berkorban, terutama bila Padang Anushka seperti ini.“Yang pertama meledak Gerha Troy,” kata Kara menjelaskan situasi sangat cepat. “Lalu dalam waktu sama, klinik, Balai Dewan, Mars, pondok utama. Reila di Mars, mencoba evakuasi penghuni yang mungkin masih tertimbun. Total ada dua puluh enam orang sebelum ledakan, kini ada empat belas. Reila masih terus mencari sisanya. Balai Dewan, sebagian runtuh, tim peneliti ter
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak
Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l
Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l
Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La