Sebenarnya aku ingin menerbangkan Lukas ke luar Padang Anushka.
Namun, kalau Layla memang memaafkannya, aku akan memikirkan hal lain untuk menebus kesalahannya. Jadi, kami berdua berjalan ke dapur.
Gagasan Layla sudah tidak lagi mengambil tugas Kapten tim tungku terasa sumbang di telingaku mengingat dia masih sering membawa Fal ke dapur. Itu juga belum termasuk Layla yang hadir di Rapat Dewan sebagai Kapten tim tungku, jadi kurasa memang ada berbagai hal yang terjadi di luar sepengetahuanku. Aku tahu Lavi benar. Aku tidak terlalu mengerti masalahnya.
Sayangnya, gagasan itu benar. Ketika di dapur, yang menyambutku Rose.
“Em... Layla tidak di sini,” katanya, muram. “Sudah tiga hari tidak kemari. Kupikir kau yang lebih tahu.”
“Kalian tidak pernah bicara?” tanyaku.
“Sejak dia keluar Venus, kami masih bicara, tapi entah sudah berapa lama.”
Kuputuskan pergi, dan kupikirkan kalau Layla juga cuk
Fal menuntut ingin bermain denganku—sebagai ganti kesedihan yang tiba-tiba muncul—dan itu memang salahku, yang membuatku bimbang karena tak ingin Fal terus mengingat itu. Namun, aku ingin tidur, jadi dia menghinaku seperti cara Layla menghinaku. “Dasar tukang tidur! Fal tidak suka tukang tidur!”Kemudian dia mendobrak pintu seperti cara Layla menutup pintu.Aku menatap ambang pintu. “Sekarang aku yang patah hati.”“Setidaknya dia tersenyum,” komentar Tara, yang membuatku mengerutkan kening karena—mananya yang tersenyum?“Masih belum ada masalah tertentu,” jelas Isha, ketika kutanya apa yang dia periksa dari Fal. “Tapi itu bisa berarti dua hal. Kemampuan keduanya sudah bangkit dan dia tidak sadar—bahkan tubuhnya sendiri juga tidak sadar—atau kemampuan keduanya belum bangkit. Biasanya memang mendekati delapan tahun.”Aku tidak ingin tahu berapa umurnya, jadi yan
Nuansa ruangan Profesor Neil benar-benar mengingatkanku akan ruangan peneliti bawah tanah vila Fal. Jadi, baru kusadari kalau mungkin peneliti di jaman ini memiliki ruangan yang hampir persis serupa.Kuharap aku tidak masuk bawah tanah.Namun, aku masuk bawah tanah. Ruangan Profesor Neil ada di sisi tangga berbeda dengan ruangan tim peneliti. Ruangan tim peneliti ada di sisi kanan tangga kembar, sementara ruangan Profesor Neil ada di sisi kiri tangga kembar. Dan tangga itu tidak hanya naik, tetapi turun. Jadi, ketika pintu di samping tangga terbuka, satu-satunya yang terlihat hanya tangga ke bawah. Tidak terlalu panjang, rasanya hanya berbeda satu lantai di permukaan tanah. Maka ruangan Profesor Neil tidak seperti ruangan tim peneliti yang mirip seperti ruangan pada umumnya, melainkan ruangan yang lebih mirip seperti aula besar. Langit-langitnya sangat tinggi, terlihat sangat jauh seolah ketinggian langit-langit itu ada di ketinggian sama seperti langit-langit di lanta
Gangguan kedua yang mencegahku tidur muncul ketika aku hampir terlelap, yang rasanya tidak bisa disebut gangguan. Maksudku, itu muncul karenaku, dan dia tidak terima kalau disebut gangguan. Jadi, tiba-tiba saja aku sudah bercerita banyak, dan dia juga mengatakan banyak hal yang sekiranya perlu ditanamkan ke benakku. Aku selalu senang mendengarnya cerita. Kami seperti sedang bertautan mata.Contohnya, “Haswin memang seperti itu. Aku jarang bicara dengannya, dan kami tidak pernah dalam satu Rapat Dewan, kecuali Rapat Dewan Perang saat aku masih jadi anggota tim penyerang. Tapi saat itu aku merasa dia punya insting bagus untuk ukuran Kapten tim bertahan. Kau tahu, Forlan? Saat dia mundur dari Kapten, aku melarang dewan menyetujuinya, dan kupikir Haswin benar-benar tercengang seolah tidak pernah menyangka aku jadi orang pertama yang menolak.”“Aku bisa bayangkan ekspresinya,” kataku.“Kemudian dia dengan bodoh bilang, ‘Aku tidak p
Aku tidak tahu sejak kapan mulai tertidur, tetapi kalau harus bilang kapan tepatnya aku sadar tengah bermimpi—itu saat aku melihat puing-puing markas tim penyerang. Kondisinya sama seperti terakhir kulihat—bahkan tidak ada perubahan berarti, jadi aku tahu ini bukan sembarangan mimpi.Terutama ketika mendapati dua orang bertempur di pekarangan.Tidak sulit mengetahui siapa yang sedang bertempur—jadi dibilang sebagai bertempur, mereka lebih cocok disebut duel.Aku sudah tahu Dalton punya kemampuan bela diri yang paling oke, tetapi di citra ini, Dalton tampak begitu lincah jauh melebihi apa yang pernah kulihat. Dia memakai kaki—yang sejujurnya jarang dia pakai karena belakangan dia lumayan suka memakai ayunan tangan—terutama dengan bantuan kemampuannya. Namun, di citra ini, Dalton mengayunkan kaki, bahkan berputar-putar dan, sungguh, kalau tendangan itu berhasil melesak kuat, itu cukup menyakitkan.Dan itu terjadi.Troy b
Malam itu, kami patroli lebih cepat. Begitu jam malam, kami patroli.Jadi, kami membagi tim: Haswin, Yasha, Elka memeriksa posisi terakhir semua penghuni Mars dan Venus, sementara aku bersama Dalton memeriksa posisi terakhir para pemilik kemampuan.Cukup mudah mengetahui posisi terakhir mereka—terutama saat mereka punya markas masing-masing. Di klinik, seperti biasa, ada satu orang tetap.“Aku tetap di sini sampai pagi,” kata Isha.“Tara?” tanya Dalton.“Di Venus.”Jadi, sebagai pembuktian, kami ke Balai Dewan, mendobrak masuk ruangan tim peneliti. Ada tiga orang tetap.“Bisakah kalian mengetuk sebelum masuk?” ketus Jesse.“Lama sekali tidak melihatmu di sini,” sapa Dalton.“Ini ruanganku.”“Berencana keluar saat malam?” tanyaku, langsung ke intinya.Mereka bilang ingin tidur, dan kami tidak ingin protes. Lagi pula, an
Pondok perbatasan tetap diisi Mister. Perbedaannya hanya nama yang ada di buku patroli. Selain kami, di sana juga tertulis dua nama.“Aku memang sengaja tidak memeriksa Aaron di mana,” ungkap Dalton.“Kau sudah dengar aturan terbaru patroli?” tanya Yasha, padaku.“Yang mana?”“Kalau mau patroli, kau harus isi bukunya sebelum jam malam.”“Aku baru tahu itu,” akuku.“Kau bisa tebak siapa pencetusnya?” tanyanya, lagi.“Elka?”“Bukan. Lukas.”“Hebat juga dia,” komentar Dalton, tampaknya serius memuji. “Di mana dia sekarang? Merokok di markas?”“Elka bersamanya. Ayo bertemu.”Rasanya sudah terlalu banyak yang terjadi saat aku tidur. Dalton juga sama sepertiku—tidak terlalu mengerti apa-apa—jadi aku tahu dia sungguhan tidur.Titik pertemuan kami di pondok utama. Lu
Lobi utama Venus itu seperti tempat pertemuan bernuansa sejuk nan segar yang dipenuhi debaran jantung penuh rasa gugup. Bentuk ruangannya seperti ruang santai, dengan perapian api yang mati, dan hiasan-hiasan yang berbau cewek. Tidak ada senjata, tidak ada nuansa perang, hanya seperti tempat tinggal normal dipenuhi kehangatan. Hanya dari lobi utamanya, karakter Venus yang pengertian, rapi, dan bersih sudah kelihatan mencolok. Sofa melingkar, karpet bulu, hiasan-hiasan unik dan—sepertinya—lucu, juga mesin pendingin. Hanya perlengkapan umum, tetapi entah bagaimana terkesan indah. Kupikir Venus akan seperti Mars—yang ruangan tidurnya hanya bisa menampung ranjang gantung—tetapi Venus memiliki ruangan tidur seperti kamar umum, dan memanjang di setiap lorong, hingga lantai empat. Itu membuatku bisa membayangkan mengapa Dhiena membicarakan lorong tempat laki-laki dilarang masuk. Maksudku, masalah privasi bukan masalah besar di Venus karena mereka punya kamar masing-
Ada begitu banyak manekin di ruangan Dhiena.Ada yang setengah badan, seluruh badan, hanya kepala, hanya kaki, hanya dada dan tangan, atau bahkan hanya tangan. Dan di sana juga ada banyak jenis kain, yang tidak terlalu kumengerti jenisnya meski Dhiena sudah memberitahuku secara cuma-cuma perbedaan antara jenis kain yang kupakai dengan jenis kain yang sering dipakai Tara. Baru kusadari ternyata Tara punya baju yang begitu istimewa. Tidak pernah kubayangkan akan ada satu orang yang punya kegemaran normal layaknya pembuat baju ketika semua orang selalu suka dengan pedang.“Kau desainer,” sebutku.“Kau tahu desainer?” Dhiena kaget. “Oh, maaf. Aku selalu terbayang kau dari alam liar. Lavi sering memperingatiku soal itu.”Jadi, aku tahu ini bukan benar-benar kamar Dhiena, tetapi semacam ruangan kerja karena tidak ada kasur atau peralatan tidur. Tara juga bilang ketika dia sering pakai busana unik seperti penuh renda atau baju
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t