Home / Fantasi / Selubung Memori / 140. KONFLIK #6

Share

140. KONFLIK #6

last update Last Updated: 2022-06-11 14:00:29

Gangguan kedua yang mencegahku tidur muncul ketika aku hampir terlelap, yang rasanya tidak bisa disebut gangguan. Maksudku, itu muncul karenaku, dan dia tidak terima kalau disebut gangguan. Jadi, tiba-tiba saja aku sudah bercerita banyak, dan dia juga mengatakan banyak hal yang sekiranya perlu ditanamkan ke benakku. Aku selalu senang mendengarnya cerita. Kami seperti sedang bertautan mata.

Contohnya, “Haswin memang seperti itu. Aku jarang bicara dengannya, dan kami tidak pernah dalam satu Rapat Dewan, kecuali Rapat Dewan Perang saat aku masih jadi anggota tim penyerang. Tapi saat itu aku merasa dia punya insting bagus untuk ukuran Kapten tim bertahan. Kau tahu, Forlan? Saat dia mundur dari Kapten, aku melarang dewan menyetujuinya, dan kupikir Haswin benar-benar tercengang seolah tidak pernah menyangka aku jadi orang pertama yang menolak.”

“Aku bisa bayangkan ekspresinya,” kataku.

“Kemudian dia dengan bodoh bilang, ‘Aku tidak p

Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Selubung Memori   141. KONFLIK #7

    Aku tidak tahu sejak kapan mulai tertidur, tetapi kalau harus bilang kapan tepatnya aku sadar tengah bermimpi—itu saat aku melihat puing-puing markas tim penyerang. Kondisinya sama seperti terakhir kulihat—bahkan tidak ada perubahan berarti, jadi aku tahu ini bukan sembarangan mimpi.Terutama ketika mendapati dua orang bertempur di pekarangan.Tidak sulit mengetahui siapa yang sedang bertempur—jadi dibilang sebagai bertempur, mereka lebih cocok disebut duel.Aku sudah tahu Dalton punya kemampuan bela diri yang paling oke, tetapi di citra ini, Dalton tampak begitu lincah jauh melebihi apa yang pernah kulihat. Dia memakai kaki—yang sejujurnya jarang dia pakai karena belakangan dia lumayan suka memakai ayunan tangan—terutama dengan bantuan kemampuannya. Namun, di citra ini, Dalton mengayunkan kaki, bahkan berputar-putar dan, sungguh, kalau tendangan itu berhasil melesak kuat, itu cukup menyakitkan.Dan itu terjadi.Troy b

    Last Updated : 2022-06-13
  • Selubung Memori   142. VENUS #1

    Malam itu, kami patroli lebih cepat. Begitu jam malam, kami patroli.Jadi, kami membagi tim: Haswin, Yasha, Elka memeriksa posisi terakhir semua penghuni Mars dan Venus, sementara aku bersama Dalton memeriksa posisi terakhir para pemilik kemampuan.Cukup mudah mengetahui posisi terakhir mereka—terutama saat mereka punya markas masing-masing. Di klinik, seperti biasa, ada satu orang tetap.“Aku tetap di sini sampai pagi,” kata Isha.“Tara?” tanya Dalton.“Di Venus.”Jadi, sebagai pembuktian, kami ke Balai Dewan, mendobrak masuk ruangan tim peneliti. Ada tiga orang tetap.“Bisakah kalian mengetuk sebelum masuk?” ketus Jesse.“Lama sekali tidak melihatmu di sini,” sapa Dalton.“Ini ruanganku.”“Berencana keluar saat malam?” tanyaku, langsung ke intinya.Mereka bilang ingin tidur, dan kami tidak ingin protes. Lagi pula, an

    Last Updated : 2022-06-15
  • Selubung Memori   143. VENUS #2

    Pondok perbatasan tetap diisi Mister. Perbedaannya hanya nama yang ada di buku patroli. Selain kami, di sana juga tertulis dua nama.“Aku memang sengaja tidak memeriksa Aaron di mana,” ungkap Dalton.“Kau sudah dengar aturan terbaru patroli?” tanya Yasha, padaku.“Yang mana?”“Kalau mau patroli, kau harus isi bukunya sebelum jam malam.”“Aku baru tahu itu,” akuku.“Kau bisa tebak siapa pencetusnya?” tanyanya, lagi.“Elka?”“Bukan. Lukas.”“Hebat juga dia,” komentar Dalton, tampaknya serius memuji. “Di mana dia sekarang? Merokok di markas?”“Elka bersamanya. Ayo bertemu.”Rasanya sudah terlalu banyak yang terjadi saat aku tidur. Dalton juga sama sepertiku—tidak terlalu mengerti apa-apa—jadi aku tahu dia sungguhan tidur.Titik pertemuan kami di pondok utama. Lu

    Last Updated : 2022-06-17
  • Selubung Memori   144. VENUS #3

    Lobi utama Venus itu seperti tempat pertemuan bernuansa sejuk nan segar yang dipenuhi debaran jantung penuh rasa gugup. Bentuk ruangannya seperti ruang santai, dengan perapian api yang mati, dan hiasan-hiasan yang berbau cewek. Tidak ada senjata, tidak ada nuansa perang, hanya seperti tempat tinggal normal dipenuhi kehangatan. Hanya dari lobi utamanya, karakter Venus yang pengertian, rapi, dan bersih sudah kelihatan mencolok. Sofa melingkar, karpet bulu, hiasan-hiasan unik dan—sepertinya—lucu, juga mesin pendingin. Hanya perlengkapan umum, tetapi entah bagaimana terkesan indah. Kupikir Venus akan seperti Mars—yang ruangan tidurnya hanya bisa menampung ranjang gantung—tetapi Venus memiliki ruangan tidur seperti kamar umum, dan memanjang di setiap lorong, hingga lantai empat. Itu membuatku bisa membayangkan mengapa Dhiena membicarakan lorong tempat laki-laki dilarang masuk. Maksudku, masalah privasi bukan masalah besar di Venus karena mereka punya kamar masing-

    Last Updated : 2022-06-19
  • Selubung Memori   145. VENUS #4

    Ada begitu banyak manekin di ruangan Dhiena.Ada yang setengah badan, seluruh badan, hanya kepala, hanya kaki, hanya dada dan tangan, atau bahkan hanya tangan. Dan di sana juga ada banyak jenis kain, yang tidak terlalu kumengerti jenisnya meski Dhiena sudah memberitahuku secara cuma-cuma perbedaan antara jenis kain yang kupakai dengan jenis kain yang sering dipakai Tara. Baru kusadari ternyata Tara punya baju yang begitu istimewa. Tidak pernah kubayangkan akan ada satu orang yang punya kegemaran normal layaknya pembuat baju ketika semua orang selalu suka dengan pedang.“Kau desainer,” sebutku.“Kau tahu desainer?” Dhiena kaget. “Oh, maaf. Aku selalu terbayang kau dari alam liar. Lavi sering memperingatiku soal itu.”Jadi, aku tahu ini bukan benar-benar kamar Dhiena, tetapi semacam ruangan kerja karena tidak ada kasur atau peralatan tidur. Tara juga bilang ketika dia sering pakai busana unik seperti penuh renda atau baju

    Last Updated : 2022-06-21
  • Selubung Memori   146. VENUS #5

    Baru keluar ruangan Dhiena, kami berpapasan dengan cewek—yang tanpa ragu langsung membuatku terbayang pada sosok serius Dhiena. Dia punya rambut keriting, dengan permen menggantung di bibirnya. Tentu saja kami berhenti—tidak ada yang bereaksi selama beberapa saat, sehingga kami saling memandang, bahkan Dhiena dan Tara tidak berkomentar, sampai orang itu bertanya, “Kau Forlan?”“Eh, iya,” jawabku.Untuk sesaat dia bergidik seperti tercengang.“Oh. Jadi, kau yang diajak masuk Dhiena.” Dia mengulurkan tangan, persis seperti cara Dhiena mengajakku berkenalan. “Aku pernah lihat kau di gelanggang. Berulang kali. Wakil kapten tim penyerang. Aku Mika. Kau pasti baru lihat ruang kerja Dhiena. Aku asistennya. Bahasa kasarnya: budaknya.”Dhiena tidak ragu menampar bahu Mika.“Kurasa posisi kita terbalik,” sahut Mika. “Aku yang harus bilang begitu.”Kemudian mereka berde

    Last Updated : 2022-06-23
  • Selubung Memori   147. VENUS #6

    Ada banyak hal yang terproses di kepalaku, tetapi yang lebih penting, aku masih tidak mengerti mengapa isi surat itu bisa meyakinkan Tara kalau Troy yang bertanggung jawab pada panah itu. Jadi, aku mengerutkan kening, berusaha tetap memikirkan kemungkinan lain—atau pola pikir Tara, meski ujung-ujungnya sulit bagiku untuk mengerti. Tara seperti yakin pada itu.“Aku tidak yakin,” kata Dhiena. “Tapi itu salah satu kemungkinan.”“Ada bukti lain?” tanyaku.Sayangnya, Tara menggeleng. “Cuma itu yang kupikirkan. Isi suratnya juga langsung hilang saat kami pegang. Yang baca cuma aku dan Layla. Jadi, kupikir itu cuma surat kaleng biasa—karena kalian tahu? Surat ancaman lain terasa jauh lebih mengancam. Isinya juga kurang lebih mengusir Fal.”Alasan itu cukup membungkam kami.“Oke. Itu bukan salah mereka,” ucap Dhiena. “Dan itu artinya kita juga tidak bisa buat itu jadi barang bukt

    Last Updated : 2022-06-25
  • Selubung Memori   148. VENUS #7

    Gagasan melanjutkan patroli terdengar melelahkan untukku.Aku sudah berpikir akan sulit bertemu tim patroli, jadi kuputuskan langsung berkeliling dengan senter. Tara punya usul. “Keliling saja area Gerha.”“Kenapa begitu?”“Kalau asrama bisa dilihat dari belakang, Gerha harusnya juga bisa.”Aku tidak pernah menyesal mengikuti usul Tara, tetapi tampaknya untuk ini aku mulai menyesal. Area Gerha itu lebih luas dari asrama, tertutup pohon pinus—dan tebing air terjun, tentunya—tetapi setidaknya juga terdiri dari hamparan padang rumput, sehingga mudah menemukan ujung ke ujung. Jadi, dengan mengikuti usul Tara, aku bisa menemukan sorot senter dari Gerha Dalton. Awalnya sosok itu tidak terlihat, dan aku sudah curiga karena hanya satu senter. Penyesalanku baru terasa ketika cahaya Joglo mampu menyinari sosok itu, dan aku bertemu Aaron.“Oh, sial,” kataku.“Hai,” sapa Aaron, sepe

    Last Updated : 2022-06-27

Latest chapter

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

  • Selubung Memori   604. GUA TEBING #1

    Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l

  • Selubung Memori   603. UJUNG TALI #9

    Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l

  • Selubung Memori   602. UJUNG TALI #8

    Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status