Ada begitu banyak manekin di ruangan Dhiena.
Ada yang setengah badan, seluruh badan, hanya kepala, hanya kaki, hanya dada dan tangan, atau bahkan hanya tangan. Dan di sana juga ada banyak jenis kain, yang tidak terlalu kumengerti jenisnya meski Dhiena sudah memberitahuku secara cuma-cuma perbedaan antara jenis kain yang kupakai dengan jenis kain yang sering dipakai Tara. Baru kusadari ternyata Tara punya baju yang begitu istimewa. Tidak pernah kubayangkan akan ada satu orang yang punya kegemaran normal layaknya pembuat baju ketika semua orang selalu suka dengan pedang.
“Kau desainer,” sebutku.
“Kau tahu desainer?” Dhiena kaget. “Oh, maaf. Aku selalu terbayang kau dari alam liar. Lavi sering memperingatiku soal itu.”
Jadi, aku tahu ini bukan benar-benar kamar Dhiena, tetapi semacam ruangan kerja karena tidak ada kasur atau peralatan tidur. Tara juga bilang ketika dia sering pakai busana unik seperti penuh renda atau baju
Baru keluar ruangan Dhiena, kami berpapasan dengan cewek—yang tanpa ragu langsung membuatku terbayang pada sosok serius Dhiena. Dia punya rambut keriting, dengan permen menggantung di bibirnya. Tentu saja kami berhenti—tidak ada yang bereaksi selama beberapa saat, sehingga kami saling memandang, bahkan Dhiena dan Tara tidak berkomentar, sampai orang itu bertanya, “Kau Forlan?”“Eh, iya,” jawabku.Untuk sesaat dia bergidik seperti tercengang.“Oh. Jadi, kau yang diajak masuk Dhiena.” Dia mengulurkan tangan, persis seperti cara Dhiena mengajakku berkenalan. “Aku pernah lihat kau di gelanggang. Berulang kali. Wakil kapten tim penyerang. Aku Mika. Kau pasti baru lihat ruang kerja Dhiena. Aku asistennya. Bahasa kasarnya: budaknya.”Dhiena tidak ragu menampar bahu Mika.“Kurasa posisi kita terbalik,” sahut Mika. “Aku yang harus bilang begitu.”Kemudian mereka berde
Ada banyak hal yang terproses di kepalaku, tetapi yang lebih penting, aku masih tidak mengerti mengapa isi surat itu bisa meyakinkan Tara kalau Troy yang bertanggung jawab pada panah itu. Jadi, aku mengerutkan kening, berusaha tetap memikirkan kemungkinan lain—atau pola pikir Tara, meski ujung-ujungnya sulit bagiku untuk mengerti. Tara seperti yakin pada itu.“Aku tidak yakin,” kata Dhiena. “Tapi itu salah satu kemungkinan.”“Ada bukti lain?” tanyaku.Sayangnya, Tara menggeleng. “Cuma itu yang kupikirkan. Isi suratnya juga langsung hilang saat kami pegang. Yang baca cuma aku dan Layla. Jadi, kupikir itu cuma surat kaleng biasa—karena kalian tahu? Surat ancaman lain terasa jauh lebih mengancam. Isinya juga kurang lebih mengusir Fal.”Alasan itu cukup membungkam kami.“Oke. Itu bukan salah mereka,” ucap Dhiena. “Dan itu artinya kita juga tidak bisa buat itu jadi barang bukt
Gagasan melanjutkan patroli terdengar melelahkan untukku.Aku sudah berpikir akan sulit bertemu tim patroli, jadi kuputuskan langsung berkeliling dengan senter. Tara punya usul. “Keliling saja area Gerha.”“Kenapa begitu?”“Kalau asrama bisa dilihat dari belakang, Gerha harusnya juga bisa.”Aku tidak pernah menyesal mengikuti usul Tara, tetapi tampaknya untuk ini aku mulai menyesal. Area Gerha itu lebih luas dari asrama, tertutup pohon pinus—dan tebing air terjun, tentunya—tetapi setidaknya juga terdiri dari hamparan padang rumput, sehingga mudah menemukan ujung ke ujung. Jadi, dengan mengikuti usul Tara, aku bisa menemukan sorot senter dari Gerha Dalton. Awalnya sosok itu tidak terlihat, dan aku sudah curiga karena hanya satu senter. Penyesalanku baru terasa ketika cahaya Joglo mampu menyinari sosok itu, dan aku bertemu Aaron.“Oh, sial,” kataku.“Hai,” sapa Aaron, sepe
Patroli berakhir cukup mengerikan.Kami menyusuri jalan setapak menuju markas tim penyerang, yang—jujur, benar-benar menyeramkan karena sangat gelap, layaknya tenggelam ke kedalaman hutan tak berujung—bahkan ketika kami sampai, melihat bangunan tim penyerang yang sunyi, rasanya seperti dihantui sesuatu. Di antara kami tidak ada yang begitu yakin dengan konsep hantu, terutama Dalton yang terlalu sering di alam liar, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa suasana di sekitar markas tim penyerang terkesan jauh lebih mencekam dibanding kegelapan mana pun. Bayangan hitam di sekitar gedung seperti bisa menelan kami habis-habis, menyerap suara kami yang menjerit minta tolong dan lenyap tanpa bisa ditemukan lagi. Barangkali hal beruntung yang terjadi saat itu: tak ada bulan, hanya bintang. Aku punya gagasan bila bulan tetap bersinar, nuansa bangunan itu akan jauh lebih mencekam.“Kami kehilangan jejak sampai di sini,” kata Elka, dan saat itu bahkan baru tana
Andai kami normal, setelah menemukan hal mengerikan, semestinya kami kembali ke tempat kedamaian. Namun, tidak satu pun dari kami kembali, sehingga kami tiba-tiba sudah duduk di pekarangan puing-puing markas tim penyerang, dan Dalton mulai menyalakan rokok, yang diikuti Yasha. Kami duduk di bebatuan besar yang tersebar di pekarangan, bahkan selama beberapa saat tidak ada yang bicara—meskipun hampir semua orang mahir membuat lelucon. Haswin—sebagai orang nomor satu yang suka melontarkan lelucon idiot juga terdiam. Tak ada yang terlihat tenang. Bahasa tubuh kami gelisah, sampai bila ada yang memergoki kami di sini, aku yakin dia akan menatap kami bak tengah merencanakan sesuatu berbahaya.Masalahnya, di tengah hutan ini, sesuatu tidak pernah terkesan normal. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, puing-puing markas tim penyerang juga terasa seperti menyembunyikan rahasia yang tidak boleh terbuka sedikit pun. Tempat ini seperti menyimpan bom, layaknya bil
Posisi tidurku tidak nyaman.Kuingat, terakhir kali sebelum tidur, aku melihat foto-foto Lavi di kamera Jesse. Belakangan, kamera ini seperti tidak lagi kupinjam. Ketika konflik meledak, aku tahu harus menyembunyikannya, atau tim peneliti akan mengubahnya menjadi kamera pengintai. Aku tidak punya komputer, jadi satu-satunya cara untuk melihat foto hanya dari kameranya. Dan terlalu banyak foto yang sudah kami ambil sampai membuatku tidak rela jika kamera ini diambil begitu saja.Foto terakhir yang kulihat, adalah raut lembut Lavi saat membidik target.Anak panah sudah meluncur, sehingga gaya lontar membuat helai rambut Lavi berkibar pelan. Matanya memancarkan kelembutan, tidak ada sorot serius, dan senyumnya terukir kecil. Jaket berwarna halus miliknya seperti memancarkan aura yang lebih lembut dari seharusnya, sehingga bunga-bunga di belakangnya seperti menimbulkan kesan lukisan pada citra dirinya. Aku ingat tersenyum pada foto itu, menantikan kedatangan Lavi ya
Jembatan hanya tinggal beberapa langkah, tetapi Mister membantingku.Pertempuran yang harusnya sengit itu berakhir sangat singkat karena tidak ada lagi hal jernih yang bisa kulihat. Area pandangku dipenuhi air mata, benakku dipenuhi amarah, kesadaranku dipenuhi perasan tak berdaya. Aku tahu harus segera pergi. Aku tahu harus segera menemukan Lavi ketika batu miliknya tidak berwarna pekat lagi. Perlahan, semakin aku memandanginya, warna itu semakin pudar. Titik ini harusnya menjadi pertempuran sengit ketika aku harus lolos dari Mister. Pedang perunggu di tanganku, Mister tangan kosong—aku harusnya bisa melewatinya.Jadi, ketika Mister di depanku, seolah mengerti sepenuhnya bahwa aku akan melompat keluar Padang Anushka—bahkan meski Kara ada di gelanggang, melatih kandidat baru, dan curiga dengan gerak-gerikku—bahkan meski Fal menyapa dan pastinya ingin mengajakku bermain—bahkan meski semua orang melewatiku yang penuh air mata—menatap dengan
Sulit menggapai kesadaran, tetapi aku terbangun.Ruangan besi. Aku terduduk di kursi, tubuhku terikat, tanganku di belakang, tidak bisa bergerak, tampaknya juga terikat kuat. Tidak ada apa pun, bahkan sekadar debu. Hanya ada besi di mana-mana. Tidak ada jendela, hanya satu pintu besi.Aku tahu apa yang terjadi. Maka ketika kesadaranku sungguhan kembali, aku hanya terdiam, menatap pintu besi seperti memikirkan dengan apa pintu besi itu harus kuhancurkan. Tidak ada senjata. Hanya dengan kemampuan.Namun, begitu berhasil memutuskan sesuatu, pintu besi itu terbuka.Tepat di depan mataku, langsung memperlihatkan Dalton.Tampaknya dia sudah dengar apa yang terjadi. Aku tahu dia tertidur ketika aku mengamuk di luar sana. Barangkali Haswin dan Yasha juga tengah tidur, jadi satu-satunya yang mengerti kejadian itu hanya mereka yang bukan tim patroli. Raut Dalton terkesan penuh arti, tetapi seperti berusaha mengerti apa yang terjadi.Dia hanya bertanya