Lobi utama Venus itu seperti tempat pertemuan bernuansa sejuk nan segar yang dipenuhi debaran jantung penuh rasa gugup. Bentuk ruangannya seperti ruang santai, dengan perapian api yang mati, dan hiasan-hiasan yang berbau cewek. Tidak ada senjata, tidak ada nuansa perang, hanya seperti tempat tinggal normal dipenuhi kehangatan. Hanya dari lobi utamanya, karakter Venus yang pengertian, rapi, dan bersih sudah kelihatan mencolok. Sofa melingkar, karpet bulu, hiasan-hiasan unik dan—sepertinya—lucu, juga mesin pendingin. Hanya perlengkapan umum, tetapi entah bagaimana terkesan indah. Kupikir Venus akan seperti Mars—yang ruangan tidurnya hanya bisa menampung ranjang gantung—tetapi Venus memiliki ruangan tidur seperti kamar umum, dan memanjang di setiap lorong, hingga lantai empat. Itu membuatku bisa membayangkan mengapa Dhiena membicarakan lorong tempat laki-laki dilarang masuk. Maksudku, masalah privasi bukan masalah besar di Venus karena mereka punya kamar masing-
Ada begitu banyak manekin di ruangan Dhiena.Ada yang setengah badan, seluruh badan, hanya kepala, hanya kaki, hanya dada dan tangan, atau bahkan hanya tangan. Dan di sana juga ada banyak jenis kain, yang tidak terlalu kumengerti jenisnya meski Dhiena sudah memberitahuku secara cuma-cuma perbedaan antara jenis kain yang kupakai dengan jenis kain yang sering dipakai Tara. Baru kusadari ternyata Tara punya baju yang begitu istimewa. Tidak pernah kubayangkan akan ada satu orang yang punya kegemaran normal layaknya pembuat baju ketika semua orang selalu suka dengan pedang.“Kau desainer,” sebutku.“Kau tahu desainer?” Dhiena kaget. “Oh, maaf. Aku selalu terbayang kau dari alam liar. Lavi sering memperingatiku soal itu.”Jadi, aku tahu ini bukan benar-benar kamar Dhiena, tetapi semacam ruangan kerja karena tidak ada kasur atau peralatan tidur. Tara juga bilang ketika dia sering pakai busana unik seperti penuh renda atau baju
Baru keluar ruangan Dhiena, kami berpapasan dengan cewek—yang tanpa ragu langsung membuatku terbayang pada sosok serius Dhiena. Dia punya rambut keriting, dengan permen menggantung di bibirnya. Tentu saja kami berhenti—tidak ada yang bereaksi selama beberapa saat, sehingga kami saling memandang, bahkan Dhiena dan Tara tidak berkomentar, sampai orang itu bertanya, “Kau Forlan?”“Eh, iya,” jawabku.Untuk sesaat dia bergidik seperti tercengang.“Oh. Jadi, kau yang diajak masuk Dhiena.” Dia mengulurkan tangan, persis seperti cara Dhiena mengajakku berkenalan. “Aku pernah lihat kau di gelanggang. Berulang kali. Wakil kapten tim penyerang. Aku Mika. Kau pasti baru lihat ruang kerja Dhiena. Aku asistennya. Bahasa kasarnya: budaknya.”Dhiena tidak ragu menampar bahu Mika.“Kurasa posisi kita terbalik,” sahut Mika. “Aku yang harus bilang begitu.”Kemudian mereka berde
Ada banyak hal yang terproses di kepalaku, tetapi yang lebih penting, aku masih tidak mengerti mengapa isi surat itu bisa meyakinkan Tara kalau Troy yang bertanggung jawab pada panah itu. Jadi, aku mengerutkan kening, berusaha tetap memikirkan kemungkinan lain—atau pola pikir Tara, meski ujung-ujungnya sulit bagiku untuk mengerti. Tara seperti yakin pada itu.“Aku tidak yakin,” kata Dhiena. “Tapi itu salah satu kemungkinan.”“Ada bukti lain?” tanyaku.Sayangnya, Tara menggeleng. “Cuma itu yang kupikirkan. Isi suratnya juga langsung hilang saat kami pegang. Yang baca cuma aku dan Layla. Jadi, kupikir itu cuma surat kaleng biasa—karena kalian tahu? Surat ancaman lain terasa jauh lebih mengancam. Isinya juga kurang lebih mengusir Fal.”Alasan itu cukup membungkam kami.“Oke. Itu bukan salah mereka,” ucap Dhiena. “Dan itu artinya kita juga tidak bisa buat itu jadi barang bukt
Gagasan melanjutkan patroli terdengar melelahkan untukku.Aku sudah berpikir akan sulit bertemu tim patroli, jadi kuputuskan langsung berkeliling dengan senter. Tara punya usul. “Keliling saja area Gerha.”“Kenapa begitu?”“Kalau asrama bisa dilihat dari belakang, Gerha harusnya juga bisa.”Aku tidak pernah menyesal mengikuti usul Tara, tetapi tampaknya untuk ini aku mulai menyesal. Area Gerha itu lebih luas dari asrama, tertutup pohon pinus—dan tebing air terjun, tentunya—tetapi setidaknya juga terdiri dari hamparan padang rumput, sehingga mudah menemukan ujung ke ujung. Jadi, dengan mengikuti usul Tara, aku bisa menemukan sorot senter dari Gerha Dalton. Awalnya sosok itu tidak terlihat, dan aku sudah curiga karena hanya satu senter. Penyesalanku baru terasa ketika cahaya Joglo mampu menyinari sosok itu, dan aku bertemu Aaron.“Oh, sial,” kataku.“Hai,” sapa Aaron, sepe
Patroli berakhir cukup mengerikan.Kami menyusuri jalan setapak menuju markas tim penyerang, yang—jujur, benar-benar menyeramkan karena sangat gelap, layaknya tenggelam ke kedalaman hutan tak berujung—bahkan ketika kami sampai, melihat bangunan tim penyerang yang sunyi, rasanya seperti dihantui sesuatu. Di antara kami tidak ada yang begitu yakin dengan konsep hantu, terutama Dalton yang terlalu sering di alam liar, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa suasana di sekitar markas tim penyerang terkesan jauh lebih mencekam dibanding kegelapan mana pun. Bayangan hitam di sekitar gedung seperti bisa menelan kami habis-habis, menyerap suara kami yang menjerit minta tolong dan lenyap tanpa bisa ditemukan lagi. Barangkali hal beruntung yang terjadi saat itu: tak ada bulan, hanya bintang. Aku punya gagasan bila bulan tetap bersinar, nuansa bangunan itu akan jauh lebih mencekam.“Kami kehilangan jejak sampai di sini,” kata Elka, dan saat itu bahkan baru tana
Andai kami normal, setelah menemukan hal mengerikan, semestinya kami kembali ke tempat kedamaian. Namun, tidak satu pun dari kami kembali, sehingga kami tiba-tiba sudah duduk di pekarangan puing-puing markas tim penyerang, dan Dalton mulai menyalakan rokok, yang diikuti Yasha. Kami duduk di bebatuan besar yang tersebar di pekarangan, bahkan selama beberapa saat tidak ada yang bicara—meskipun hampir semua orang mahir membuat lelucon. Haswin—sebagai orang nomor satu yang suka melontarkan lelucon idiot juga terdiam. Tak ada yang terlihat tenang. Bahasa tubuh kami gelisah, sampai bila ada yang memergoki kami di sini, aku yakin dia akan menatap kami bak tengah merencanakan sesuatu berbahaya.Masalahnya, di tengah hutan ini, sesuatu tidak pernah terkesan normal. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, puing-puing markas tim penyerang juga terasa seperti menyembunyikan rahasia yang tidak boleh terbuka sedikit pun. Tempat ini seperti menyimpan bom, layaknya bil
Posisi tidurku tidak nyaman.Kuingat, terakhir kali sebelum tidur, aku melihat foto-foto Lavi di kamera Jesse. Belakangan, kamera ini seperti tidak lagi kupinjam. Ketika konflik meledak, aku tahu harus menyembunyikannya, atau tim peneliti akan mengubahnya menjadi kamera pengintai. Aku tidak punya komputer, jadi satu-satunya cara untuk melihat foto hanya dari kameranya. Dan terlalu banyak foto yang sudah kami ambil sampai membuatku tidak rela jika kamera ini diambil begitu saja.Foto terakhir yang kulihat, adalah raut lembut Lavi saat membidik target.Anak panah sudah meluncur, sehingga gaya lontar membuat helai rambut Lavi berkibar pelan. Matanya memancarkan kelembutan, tidak ada sorot serius, dan senyumnya terukir kecil. Jaket berwarna halus miliknya seperti memancarkan aura yang lebih lembut dari seharusnya, sehingga bunga-bunga di belakangnya seperti menimbulkan kesan lukisan pada citra dirinya. Aku ingat tersenyum pada foto itu, menantikan kedatangan Lavi ya
Jembatan hanya tinggal beberapa langkah, tetapi Mister membantingku.Pertempuran yang harusnya sengit itu berakhir sangat singkat karena tidak ada lagi hal jernih yang bisa kulihat. Area pandangku dipenuhi air mata, benakku dipenuhi amarah, kesadaranku dipenuhi perasan tak berdaya. Aku tahu harus segera pergi. Aku tahu harus segera menemukan Lavi ketika batu miliknya tidak berwarna pekat lagi. Perlahan, semakin aku memandanginya, warna itu semakin pudar. Titik ini harusnya menjadi pertempuran sengit ketika aku harus lolos dari Mister. Pedang perunggu di tanganku, Mister tangan kosong—aku harusnya bisa melewatinya.Jadi, ketika Mister di depanku, seolah mengerti sepenuhnya bahwa aku akan melompat keluar Padang Anushka—bahkan meski Kara ada di gelanggang, melatih kandidat baru, dan curiga dengan gerak-gerikku—bahkan meski Fal menyapa dan pastinya ingin mengajakku bermain—bahkan meski semua orang melewatiku yang penuh air mata—menatap dengan
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t