Gagasan melanjutkan patroli terdengar melelahkan untukku.
Aku sudah berpikir akan sulit bertemu tim patroli, jadi kuputuskan langsung berkeliling dengan senter. Tara punya usul. “Keliling saja area Gerha.”
“Kenapa begitu?”
“Kalau asrama bisa dilihat dari belakang, Gerha harusnya juga bisa.”
Aku tidak pernah menyesal mengikuti usul Tara, tetapi tampaknya untuk ini aku mulai menyesal. Area Gerha itu lebih luas dari asrama, tertutup pohon pinus—dan tebing air terjun, tentunya—tetapi setidaknya juga terdiri dari hamparan padang rumput, sehingga mudah menemukan ujung ke ujung. Jadi, dengan mengikuti usul Tara, aku bisa menemukan sorot senter dari Gerha Dalton. Awalnya sosok itu tidak terlihat, dan aku sudah curiga karena hanya satu senter. Penyesalanku baru terasa ketika cahaya Joglo mampu menyinari sosok itu, dan aku bertemu Aaron.
“Oh, sial,” kataku.
“Hai,” sapa Aaron, sepe
Patroli berakhir cukup mengerikan.Kami menyusuri jalan setapak menuju markas tim penyerang, yang—jujur, benar-benar menyeramkan karena sangat gelap, layaknya tenggelam ke kedalaman hutan tak berujung—bahkan ketika kami sampai, melihat bangunan tim penyerang yang sunyi, rasanya seperti dihantui sesuatu. Di antara kami tidak ada yang begitu yakin dengan konsep hantu, terutama Dalton yang terlalu sering di alam liar, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa suasana di sekitar markas tim penyerang terkesan jauh lebih mencekam dibanding kegelapan mana pun. Bayangan hitam di sekitar gedung seperti bisa menelan kami habis-habis, menyerap suara kami yang menjerit minta tolong dan lenyap tanpa bisa ditemukan lagi. Barangkali hal beruntung yang terjadi saat itu: tak ada bulan, hanya bintang. Aku punya gagasan bila bulan tetap bersinar, nuansa bangunan itu akan jauh lebih mencekam.“Kami kehilangan jejak sampai di sini,” kata Elka, dan saat itu bahkan baru tana
Andai kami normal, setelah menemukan hal mengerikan, semestinya kami kembali ke tempat kedamaian. Namun, tidak satu pun dari kami kembali, sehingga kami tiba-tiba sudah duduk di pekarangan puing-puing markas tim penyerang, dan Dalton mulai menyalakan rokok, yang diikuti Yasha. Kami duduk di bebatuan besar yang tersebar di pekarangan, bahkan selama beberapa saat tidak ada yang bicara—meskipun hampir semua orang mahir membuat lelucon. Haswin—sebagai orang nomor satu yang suka melontarkan lelucon idiot juga terdiam. Tak ada yang terlihat tenang. Bahasa tubuh kami gelisah, sampai bila ada yang memergoki kami di sini, aku yakin dia akan menatap kami bak tengah merencanakan sesuatu berbahaya.Masalahnya, di tengah hutan ini, sesuatu tidak pernah terkesan normal. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, puing-puing markas tim penyerang juga terasa seperti menyembunyikan rahasia yang tidak boleh terbuka sedikit pun. Tempat ini seperti menyimpan bom, layaknya bil
Posisi tidurku tidak nyaman.Kuingat, terakhir kali sebelum tidur, aku melihat foto-foto Lavi di kamera Jesse. Belakangan, kamera ini seperti tidak lagi kupinjam. Ketika konflik meledak, aku tahu harus menyembunyikannya, atau tim peneliti akan mengubahnya menjadi kamera pengintai. Aku tidak punya komputer, jadi satu-satunya cara untuk melihat foto hanya dari kameranya. Dan terlalu banyak foto yang sudah kami ambil sampai membuatku tidak rela jika kamera ini diambil begitu saja.Foto terakhir yang kulihat, adalah raut lembut Lavi saat membidik target.Anak panah sudah meluncur, sehingga gaya lontar membuat helai rambut Lavi berkibar pelan. Matanya memancarkan kelembutan, tidak ada sorot serius, dan senyumnya terukir kecil. Jaket berwarna halus miliknya seperti memancarkan aura yang lebih lembut dari seharusnya, sehingga bunga-bunga di belakangnya seperti menimbulkan kesan lukisan pada citra dirinya. Aku ingat tersenyum pada foto itu, menantikan kedatangan Lavi ya
Jembatan hanya tinggal beberapa langkah, tetapi Mister membantingku.Pertempuran yang harusnya sengit itu berakhir sangat singkat karena tidak ada lagi hal jernih yang bisa kulihat. Area pandangku dipenuhi air mata, benakku dipenuhi amarah, kesadaranku dipenuhi perasan tak berdaya. Aku tahu harus segera pergi. Aku tahu harus segera menemukan Lavi ketika batu miliknya tidak berwarna pekat lagi. Perlahan, semakin aku memandanginya, warna itu semakin pudar. Titik ini harusnya menjadi pertempuran sengit ketika aku harus lolos dari Mister. Pedang perunggu di tanganku, Mister tangan kosong—aku harusnya bisa melewatinya.Jadi, ketika Mister di depanku, seolah mengerti sepenuhnya bahwa aku akan melompat keluar Padang Anushka—bahkan meski Kara ada di gelanggang, melatih kandidat baru, dan curiga dengan gerak-gerikku—bahkan meski Fal menyapa dan pastinya ingin mengajakku bermain—bahkan meski semua orang melewatiku yang penuh air mata—menatap dengan
Sulit menggapai kesadaran, tetapi aku terbangun.Ruangan besi. Aku terduduk di kursi, tubuhku terikat, tanganku di belakang, tidak bisa bergerak, tampaknya juga terikat kuat. Tidak ada apa pun, bahkan sekadar debu. Hanya ada besi di mana-mana. Tidak ada jendela, hanya satu pintu besi.Aku tahu apa yang terjadi. Maka ketika kesadaranku sungguhan kembali, aku hanya terdiam, menatap pintu besi seperti memikirkan dengan apa pintu besi itu harus kuhancurkan. Tidak ada senjata. Hanya dengan kemampuan.Namun, begitu berhasil memutuskan sesuatu, pintu besi itu terbuka.Tepat di depan mataku, langsung memperlihatkan Dalton.Tampaknya dia sudah dengar apa yang terjadi. Aku tahu dia tertidur ketika aku mengamuk di luar sana. Barangkali Haswin dan Yasha juga tengah tidur, jadi satu-satunya yang mengerti kejadian itu hanya mereka yang bukan tim patroli. Raut Dalton terkesan penuh arti, tetapi seperti berusaha mengerti apa yang terjadi.Dia hanya bertanya
Haswin bilang, Kara sebenarnya berniat bicara denganku, tetapi karena aku dan Dalton terlalu lama saling terdiam, Kara tidak bisa terus menunggu.“Dewan yang tersisa hanya sedikit,” ucap Yasha.“Dan Kara juga harus melatih kandidat baru, keliling, dan berjaga,” lanjut Haswin. “Mungkin menunggumu di pondok utama. Kara pasti punya alasan sampai mengambil gelang Lavi, tapi kau harus selesaikan satu urusan ini.”Secara teknis, aku memang perlu bicara empat mata dengan Fal.Tampaknya Dalton masih belum menyerah meskipun aku bilang Elton baik-baik saja. Dia bilang, “Di sana garis depan. Tidak ada yang tahu.”Sayangnya, Fal yang membantah, “Dalton tidak boleh pesimis!”Jelas, itu membuat kami berempat terperanjat—meski yang paling kelihatan terkejut itu Dalton. “Dari mana Fal belajar bahasa sesulit itu?!”Fal tidak menanggapi itu, lebih memilih menepuk-nepuk pipiku
Aku bilang pada Fal tidak mau pergi ke mana-mana, tidak mau lihat siapa-siapa, hanya ingin menyendiri di tempat ini, jadi bila Fal bosan, dia boleh beranjak kapan pun karena mungkin aku juga tidak punya niat bermain. Kuputuskan duduk di halaman belakang Gerha Lavi, duduk di tempat yang selalu kutempati saat kami berbincang, dan meninggalkan seberkas sorot pandang ke kursi kosong.Fal sempat berlari keluar, entah apa yang dia lakukan.Dan dia kembali membawa dua mangkuk es krim. Lumayan cepat, langsung mengambil kursi yang kutatap kosong. “Dari Layla,” katanya.Aku masih terlalu bodoh untuk menanggapi Fal.Jadi, Fal menepuk tangan, lumayan keras, membuat lamunanku pecah, dan segera menemukan Fal. “Oh, Fal, apa?”“Es krim dari Layla,” katanya, menyodorkan satu mangkuk.“Layla? Oh. Layla.” Aku mengangguk-angguk. “Kupikir dia marah.”“Katanya Forlan belum makan sejak pagi.&
Setidaknya, Kara juga menangis karena berulang kali mengusap matanya.Dan di antara kami, yang paling sulit berhenti menangis, itu Fal. Entah sejak kapan dia mulai menangis yang paling keras, yang juga membuatku mulai tertawa. Fal dengan isak tangisnya, berkata penuh bahagia, “Forlan akhirnya ketawa.”“Maaf membuatmu cemas, Fal,” kataku, mengusap air matanya.“Forlan ketawa,” isaknya, masih bersikukuh.Jadi, posisi kami kembali seperti semula. Bedanya, Fal tidak mau lagi duduk normal, hanya membenamkan kepala di bahuku, berniat terlelap di pangkuanku.Kara menggeleng penuh senyum. “Sungguh. Falesha—Nak, terima kasih. Selamat atas keberhasilan misi pertamamu.”“Apa?” sahutku, langsung menatap Fal yang mengangguk. “Misi pertama?”“Menahanmu,” sebut Kara. “Misi pertama Falesha.”“Itu misinya?”“Itu misinya