TUMBU OLEH TUTUPRio pun terdiam dan menyadari kesalahannya. Paahal Bude Asih memang ingin menerima sumbangan itu karena dia berpikir itu adalah rezeki untuk almarhum Mbaknya, toh ini untuk kebaikan agar selamatan itu juga tampak mewah sehingga bude Asih tak pernah keberatan. Rezeki tak boleh di tolak namun dia tak ingin mengatakan bahwa itu adalah pemberian dari selingkuhan Rio."Siapa Gendhis itu, Bu?" tanya keponakan RIo."Hah? Gendhis?" sahut Bude Asih kaget melihat anaknya sudah ada di belakangnya."Iya, Gendhis yang Ibu katakan tadi lo," sahutnya."Oalah, Gendhis gula, Nduk. Kan Gendhis bahasa halusnya gula. Bukan nama orang," ujar Bude Asih mengedipkan matanya ke arah Rio."Oalah, ayok Mas kita angkat buahnya ke dapur. Tak bantu," ujar keponakan Rion yang di balas anggukan olehnya.Rio di bantu Bude Asih dan Keponakannya pun bergotong royong mengangkat box- box berisi buah. Rio meletakkannya di dapur, di hadapan Ibu- ibu agar bisa di jadikan satu dengan buah lainnya untuk di
MEMINTA IZIN POLIGAMI"Semua orang bertanya pada Bapak, Le. Katanya kok tak di imami besan saja. Kenapa mertuamu jijik datang ke sini, Le?" tanya Suhadi lagi."Bukan, Pak. Abah memang benar- benar terlanjur ada acara yang tak bisa di batalkan," ujar Rio."Hendaknya sebagai Kayi pun harusnya dia adil. Mengapa bersebrangan menjadikan Abahmu itu tak sempat datang," gumam Suhadi kecewaMenurut mereka selametan ini merupakan cara mereka bersyukur atas rezeki yang Allah berikan kepada mereka. Biaya yang mereka keluarkan saat selametan ini tidak menjadi masalah bagi mereka karena ini mereka pahami sebagai wadah untuk berbagi kepada sesama walaupun dengan keadaan yang sederhana atau seadanya. Selametan ini juga merupakan sarana silaturahmi antar sesama masyarakat dari berbagai golongan. Tidak ada perbedaan di antara mereka semuanya sama duduk bersama dalam tempat yang sama dan makan-makanan dan minum minuman yang sama. Dengan begitu tak ada seorang pun dari mereka yang merasa dibedakan ata
RENCANA LAIN BUDE ASIH!"Oh iya Nduk ini kan berhubung sudah tujuh hariannya almarhum Purwati. Aku hanya ingin bertanya apakah besok kau ada waktu selo atau longgar? Kalau ada bisakah kau segera datang ke sini, Nduk? Aku segera ingin menyampaikan wasiat itu agar tak terjadi kesalahpahaman. Agar hatiku ini plong, agar Purwati juga enteng di sana," kata Suhadi.'Glek' Gendhis terdiam. Dia menarik nafasnya panjang, antara siap dan tidak bertemu dengan keluarga Rio. Apakah mereka keluarga besarnya bisa menerima Kai? Namun Gendhis juga sangat penasaran wasiat apa itu."Besok ya, Pak?" tanya Gendhis."Iya, Nduk. Bagaimana?""Insya Allah ya, Pak. Saya bisa tapi kalau bisa sore saja bagaimana? Sekitar jam dua siang, Pak," usul Gendhis."Wes terserahmu saja, Nduk. Kau sudah mau datang saja aku sangat berterimakasih dan bersyukur. Jadi aku manut saja. Maaf ya sekali lagi jika aku merepotkanmu," kata Suhadi."Tidak Pak, justru saya yang minta maaf pada panjenengan dan keluarga. Saya banyak dosan
MULKI DAN CLUB MALAM!Gendis menutup teleponnya, dia menghela nafas panjang. Berkelebat banyak bayangan Bapak Rio, Rio, Kai, Pohan di kepala Gendhis. Bahkan dia masih ingat sekali saat Ibu Rio mencaci maki dirinya bersama Sifa. Gendhis masih ingat betul bagaimana sakit hatinya, dia memang memilih mundur karena mencari aman dan tak mau ribut.Dia membaca situasi saat itu sangat tak menguntungkan. Apalagi da sadar dengan btul posisi nya memang salah, apalagi saat itu juga Gendhis benar- benar ingin memutuskan hubungannya dengan Rio. Namun kalah cepat saja karena ketahuan."Siapa?" tanya Mama Gendhis, Ririn yang cukup membuat Gendhis terkejut."Oh bukan siapa- siapa kok, Mas. Aku tak keluar sebentar ya, Mah," pamit Gendhis."Mau ke mana malam-malam begini? Mbok ya berubah, kau itu harus ingat bahwa dirimu tak seperti dulu lagi, Gendhis. Sekarang kau itu sudah dewasa, kau sudah punya anak! Lihatlah anakmu," tegur Ririn sambil menunjukkan Kai.Kali ini Kai tidur pulas di kamar Mamanya.
TENTANG TARIM!"Jawablah! Mengapa kau hanya diam saja?" perintah Gendhis."Kenapa kau tampak panik begitu? Apa kau tak ingin aku tahu bahwa sebenarnya begini kelakuanmu di luar kajian?" sindir Mulki."Hah apa maksudmu?" tanya Gendhis."Kau nampak panik? Kenapa? Kau begitu pandai saat kajian dengan dalil agamamu, menyanggah, mendebat, namun kau juga minum alkohol seperti ini. Apakah kau tak tahu bagaimana hukumnya?" ledek Mulki."Ck! Jangan bawa urusan kajian di sini. Ini hal yang berbeda. Mosok iya di kajian aku membahas minuman seperti ini. Bukankah yang penting tahu tempat dan adabnya. Lagian kenapa kau bisa ada di sini? Rasanya pertanyaanmu tadi cocok untukmu. Bukankah orang sepertimu yang justru tak pantas masuk sini? Kau sedang mencari apa adik kecil?" ledek Gendhis sambil meminum segelas koktail yang baru saja di hidangkan pelayan tadi.Bukannya tanpa alasan, Gendhis memanggilnya dengan sebutan adik karena wajah Mulki yang terlihat Baby Face. Dia mengira Mulki berusia dua puluh
IKAN ASIN JAMBAL ROTI"Ck! Bulsyit," cebik Gendhis."Serius," sahut Mulki."Kenapa begitu?" tanya Gendhis."Karena Tarim adalah surga Allah yang ada di muka bumi ini. Aku selalu merindukan Kota Tarim, padahal rumahku di sini. Kalau kau ke sana aku rasa kau pun begitu," jawab Mulki."Benarkah?" tanya Gendhis.Melihat Gendhis yang mulai tertarik dengan pembahasan dan topik ini Mulki segera bersemangat bercerita. Apalagi dia ingat Umi nya pernah mengatakan bahwa sebenarnya Gendhis ini pandai hanya salah jalan saja. Dia juga merasa perlu bertanggung jawab bagaimana cara agar Gendhis tak mengganggu rumah tangga kakaknya lagi."Bagaimana tidak? Semua sudut di kota itu telah melahirkan para wali Allah. Negeri subur akan ulama dan aulia. Tarim adalah salah satu kota di negeri Hadramaut Yaman. Kota tersebut adalah kota bersejarah dan memiliki banyak kemuliaan dari Allah SWT berkat doa Khalifah Rasulullah, Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq RA. Jika memang kau mencari ketenangan hati, kau mencari k
NAMPAK SEPERTI KELUARGA BAHAGIA"Ikan pindah sebesek harganya cuma sepuluh ribu paling mahal. Sedangkan aku adalah ikn asin jambal roti yang mahal! Legit! Hahahaha. Kau sama munafiknya dengan ibumu, Mulki! Sudah ah lelah berdebat denganmu," ucap Gendhis."Apa maksudmu? Tak usah membawa Umi ku lah dalam masalah ini. Bukankah ini hanya masalah kita anak-anaknya? Seperti anak muda saja, bawa Mbak Sifa dan aku, tapi rasanya melibatkan orang tua pada pembahasan seperti ini tak bijak," ucap Mulki."Bagaimana aku tak mengatakan munafik? Wong saat acara ceramah di tempat Bu Mirna saja membahas poligami, tapi anaknya tak mau di poligami. Bukankah harusnya apa yang di sampaikan seorang ustadzah berbanding lurus dengan apa yang di lakukan dalam rumah? Mengapa ini berbanding tebalik?" ledek Gendhis,"Coba sekarang nalar pakai logika saja, bukankah Umi mu itu tahu tentang diriku? Mengenalku dengan baik mungkin dari cerita versi anak perempuannya tentang kebusukanku? Wong kau saja yang adik lelakin
APAKAH KAU TAK MAU MENINGGALKAN AGAMAMU DEMI AKU?'Ting' satu panggil satu pesan masuk. Mereka menoleh secara tak sengaja bersamaan ke arah HP Gendhis yang memang berada di atas meja. Di wallpaper itu nampak bingkai foto seperti sebuah kelurga bahagia. Nampak Gendhis, anak lelaki, dan seorang koko- koko."Siapakah mereka sebenarnya?" batin Mulki dalam hati."Sebentar ya, aku angkat dulu," izin Gendhis.Mulki hanya menganggukkan kepalanya. Dia sok cuek dan tak peduli dengan semua tingkah Gendhis. Padahal dalam hatinya penasaran siapa yang memang sedang menelpon wanita itu, mencoba mencuri dengar sebisa mungkin."Iya, Ko. Aku sedang di cafe aja cari hiburan sebenar. Kai bersama Mama," ujar Gendhis."Oke aku akan pulang, kau bisa VC sejam lagi. Oke," kata Gendhis sambil menutup telponnya.Gendhis nampak bercakap dengan seseorang, mungkin lelaki yang ada di wallpapernya. Mulki memang memberikan waktu padanya dan membiarkan Gendis menyelesaikan pembicaraannya itu setelah selesai dan kem