‘Tring! Tring!’ Alarm ponsel membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya.
“Hoah! Mengapa berisik sekali,” gerutu wanita itu sambil melihat jam di layar Hpnya.Ternyata masih pukul 05.00 WIB. Gendhis Astari Wijaya nama wanita itu. Dia menatap sekeliling, mencoba mengingat- ingat dia sedang berada di mana pagi ini. Sepersekian detik dia baru menyadari, ternyata ini di sebuah hotel di tengah kota yang terkenal sebagai penghasil buah Apel di Jawa Timur. Pantas saja, hawa dingin masih bisa menembus kulit padahal selimut tebal sudah Gedhis pakai.“Tuhan, badanku rasanya remuk redam begini,” ujarnya sambil menggeliat.Dua hari ini dia bekerja sebagai Tour Leader (TL) salah satu perusahaan swasta di Kota kelahirannya. Mereka mengadakan family gathering dengan menyewa biro jasa. Menjadi TL adalah pekerjaan sampingan, selain pekerjaan tetap sebagai peloby di salah satu perusahaan jasa juga. Untuk weekend sering kali Gendhis mengambil job freelance seperti ini, selain jalan-jalan gratis juga penghasil cuan tambahan. Lumayan untuk membayar angsuran mobil dan sekolah adiknya."Mengapa sepi sekali? Apa mereka belum bangun semua ya? Perasaan akan ada jadwal senam pagi atau outbond," gumam Gendhis sendiri.Gendhis menyibakkan gorden tebal yang menutup jendela menghalangi sinar mentari pagi masuk ke dalam kamarnya. Dia berjalan keluar menuju balkon. Dingin, itu yang Gendhis rasakan. Sayup-sayup terdengar suara lembut lelaki melantunkan ayat suci. Mungkin kamar samping, yang di tempati oleh pemilik biro jasa yang mempekerjakannya.Rio Gunawan namanya. Sosok yang diam- diam Gendhis kagumi karena ke sholehanya. Dia lelaki yang menjaga pandangannya, sering menunduk jika berpapasan dengan bukan mahramnya. Padahal sudah dua tahun mereka menjalin kerjasama. Tapi tak sekalipun dia pernah bersapa langsung atau sekedar mengobrol seperti karyawan lainnya. Beruntung sekali bukan menjadi istrinya“Ah, suaranya merdu sekali masuk ke telinga membuat ingin mendengarkan itu lebih lama, enak kali ya sambil minum kopi,” kata Gendhis lirih.Gendhis kembali ke kamar, menyeduh kopi. Secangkir kopi pahit dan pemandangan luar balkon di nikmati bersama mentari pagi yang perlahan mulai menampakkan diri. Bukankah perpaduan yang sempurna? Tidak kalah dengan anak senja.Piyama lengan panjang cukup untuk membantu menghangatkan tubuhnya. Tuhan maha baik dan pemurah, Tuhan menciptakan semua secara apik dan selaras. Perubahan gelap menjadi terang di pagi itu terasa begitu lembut, kuasa-Nya sangat memukau hingga tanpa Gendhis sadari kabut perlahan mulai menghilang.“Assalamualaikum, selamat pagi Mbak” suara lembut itu memecahkan keheningan.Gendhis menoleh ke sumber suara itu,“Waalaikumsalam, eh Pak Ustad Rio! Selamat pagi Pak Ustad,” sapa Gendhis ramah.“Pagi-pagi kok sudah ngopi Mbak?” tanya Rio heran.“Iya Pak Ustad sambil melihat pemandangan nih, jarang-jarang kan di kota lihat kek gini.” jawab Gendhis.Rasanya agak canggung memang. Bagaimapun juga sosok pak ustad sapaan akrab karyawannya adalah bos biro jasa ini. Dia terkenal sangat pendiam, santun dan sholeh.“Iya Mbak! Jarang-jarang di kota kita bisa kayak gini, oh iya njenegan (kamu) hari ini free ya! Biar kegiatan gathering di handle anak-anak EO lapangan! Tugas njenengan besok pas mulai masuk bus saja, sambil mampir ke pusat oleh-oleh!" perintah Rio.“Siap Pak Ustad, rencana sih mau jalan-jalan bentar saya! Tapi kalau ada yang perlu di bantu jangan sungkan ya pak ustad, saya free kok!” sahut Gendhis dengan sedikit berteriak agar di dengar oleh Rio.Rio mengangguk dan berlalu. Gendhis segera menghabiskan kopi pahitnya sambil merenung menikmati pagi. Notif Handphone Gendhis berbunyi, nomer asing masuk.[‘Mbak kalau free bisa ikut saya ke pusat oleh-oleh dulu? Menyiapkan oleh-oleh untuk para atasan. Jam 10.00 berangkat. Saya tunggu di parkiran mobil. Mas Rio.]Gedhis mengernyit heran, tumben sekali seorang Rio Gunawan mau mengirimkan pesan w******p pada dirinya setelah dua tahun bekerjasama. Mungkin dia baru butuh bantuan pikir Gendhis.[Siap pak Ustad]Balas Gendhis singkat. Gendhis segera mandi dan sedikit berdandan."Ah, aku lupa bajuku haram semua, aku juga tak menggunakan jilbab! Biarlah, yang penting sopan, salah sendiri mengapa mengajakku begitu mendadak," gerutu Gendhis sendiri di kamar.Gendhis memutuskan memakai celana jeans panjang hitam, wedges hitam dan kaos putih di pilih sebagai outfit hari ini."Untung saja Eyelash masih cetar, tak perlu aku tambahkan maskara lagi,” Gendhis berkaca sambil tangannya sibuk mengambil alat penunjang kecantikannya.Dia mengambil sebuah listik berwarna nude.“Lipstik warna nude selalu menjadi andalan, di tambah dengan foundation? Conceler? Ah rasanya aku tak butuh semua itu! Cukup cream dokter pagi, bb cream untuk menunjang penampilan," kata Gendhis sendiri sambil bercermin.Dia ingin memastikan bahwa semuanya tampak sempurna. Tak lupa Gendhis menyempatkan diri untuk mencatok rambut, agar tampak rapi, lalu metanambahkan vitamin rambut, parfum, dan jam tangan."Pas sekali!" pekiknya takjub melihat ke arah cermin."Eh tunggu, kenapa berdandan seperti ini? Aku kan jalan dengan Ustad Rio! Boro-boro dia akan melihat penampilanku, dia kan selalu menunduk! Ah biarlah, aku berdandan untuk diri sendiri," kata Gendhis dalam hati.Dia melihat jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, masih cukup untuk mampir di resto hotel menyempatkan sarapan atau breakfast.Kopi pahit panas, salad buah, dan omelet telur sosis menjadi menu sarapan pagi. Duduk di samping jendela menghadap ke kolam renang menjadi pilihanku. Para peserta gathering terlihat melakukan games di pinggir kolam. Mereka melakukan permainan keluarga, pemandangan yang cukup mengusik.Di usia Gendhis yang menginjak 27 tahun, dia belum berkeluarga. Bukan karena tidak memiliki pasangan, tetapi memiliki tanggungan adik dan mama yang membuat berfikir ulang jika berumah tangga.“Mbak, sarapan sambil melamun,” tegur Rio yang membuat Gendhis sedikit terhenyak kaget.Gendhis menoleh ke arah Rio, mata mereka saling bertatap satu sama lain.“Saya temani ya!” pinta Rio sambil menarik kursi di hadapan Gendhis.“Eh, iya monggo Pak Ustad,” Gendhis memeprsilahkan.“Panggil Mas saja, tidak usah seperti anak-anak lain,” ujar Rio santai.“Hah? Memang tak masalah Pak Ustad?” tanya Gendhis.“Aku lebih suka di panggil Mas,” jawab Rio singkat.Gendhis hanya menganggukkan kepalanya paham. Dia menengok menu makanan yang diambil oleh lelaki itu, susu, sereal, dan omelet menjadi menu pagi pilihannya.“Masih mau ke kamar lagi atau langsung ikut saya ke pusat oleh-oleh?” Rio membuka percakapan.“Langsung aja Mas, saya sudah siap-siap kok.” Ujar Gendhis.Saat mendongak memperhatikan Rio Gendhis menyadari suatu hal, laki-laki di hadapannya ini juga sudah berdandan siap untuk pergi. Meskipun berumur 40 tahunan, namun Rio masih tampak tampan. Jenggot panjang menghiasi wajahnya, rambut tertutup topi menampakkan sedikit uban yang menegaskan bahwa usianya sudah matang.Dia mengenakan hem flanel, celana jeans dan tas selempang. Mereka menghabiskan sarapan dalam diam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Setelah sarapan, mereka menuju parkiran mobil. Rio tampak menelfon seseorang. Dia menuju mobilnya dan membuka pintu samping.“Masuklah!” perintahnya lembut.Gendhis terdiam, sungguh tak mengerti kali ini. Bukankah biasanya ada Dimas sopirnya? Apakah boleh keluar hanya berdua?“Mbak, ayok masuk! Saya yang menyopir, biarkan Dimas istirahat, kasihan dia semalam nyetir sendiri,” perintah Rio.Gendhis bimbang, akankah dia masuk ke dalam mobil duduk berdampingan dengan sosok ustad yang di kaguminya? Atau tetap masuk di kursi belakang agar menghindari fitnahan orang- orang yang melihat mereka berdua? Apa yang harus Gendhis lakukan?BERSAMBUNG"Ayok! Naiklah Mbak, mengapa hanya berdiri mematung di situ!" ajak Rio."Apa yakin tak apa- apa Mas? Bagaimana jika ada yang melihat kita satu mobil?" tanya Gendhis ragu."Tak usah memikirkan apa kata orang, mari masuk keburu siang! Kita memerlukan waktu satu jam- an ke sana!" perintah Rio.Akhirnya Gendhis masuk dalam mobil. Dia duduk di samping Rio."Bismillah,” ucap Rio lirih namun Gedhis masih bisa mendengar jelas.“Mbak, kenapa diam saja dari tadi? Bukannya Mbak Gendhis selalu cerewet ya? Saya sering mengamati lo, anak-anak juga sering cerita, Mbak ini idolanya anak- anak kantor,” ujar Rio.“Ah enggak Pak Ustad eh Mas Rio, mereka aja terlalu berlebihan,” sanggah Gendhis.Gedhis membayangkan dia dan Rio seperti dua orang dewasa yang melakukan pendekatan, lalu ini pertama kalinya mereka bertemu. Suasana canggung terasa dalam mobil. "Astaga pa yang aku pikirkan!" kata Gendhis dalam hati sambil menepis semua pikiran halunya."Konsentrasi Gedhis, konsentrasi ini kali pertama Mas Rio
Sungguh aneh rasanya, Gedhis tak pernah bertegur sapa sebelumnya tetapi Rio berkata seperti itu. Selama ini, Gendhis memang mengidolakannya namun hanya sebatas kekaguman atas sifat dan sikapnya. Gendhis menatap matanya, Rio hanya tersenyum dan diam. Pesanan mereka datang, Gendhis meneguk susu hangat untuk meredakan segala kecamuk di pikiran.“Mas, mau belikan oleh-oleh apa untuk atasan-atasan itu?”“Terserahmu, ambillah lebih juga untuk adik dan ibumu!" perintah Rio.Dengan cepat Gendhis memasukkan aneka olahan susu, keripik buah, dan strudle."Kenapa kamu tergesa-gesa? Apa kamu tak suka berdua denganku Mbak?” tanya Rio.Gendhis menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak, aku hanya bingung jika kamu diam saja Mas! Jangan memandangku seperti itu, bisa ge-er nih aku! Masak iya aku jadi istri keduamu!” seloroh Gendhis.“Itu yang ku suka darimu,” Kata Rio sambil tersenyum.Mereka mengobrol banyak hal sampai tak terasa terdengar suara adzan tanda waktu dzuhur, Rio berpamitan untuk melaksanakan
“Duduk di sini, jangan kemana-mana! Aku gak suka?” tegas Rio. Bingung dan panik, itu perasaan yang Gendhis rasa saat ini. Dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Gendhis selalu menjalankan kegiatan seperti biasa hari ini. Kenapa tiba-tiba Rio marah. Gendhis terdiam, salah tingkah diamati seperti itu. Sesekali dia membanhi posisi duduknya di kursi.Rio menghela nafas panjang.“Mulai sekarang jangan begitu lagi! Aku tak suka kamu menyanyi, berjoget ramai-ramai seperti itu! Apalagi ada yang mendokumentasikan,” jelas Rio. Gendhis masih terdiam. Dia menyadari mungkin ini salah dan teguran. Meskipun dia sendiri tidak tahu di mana letak kesalahnnya.Saat bernyanyi tadi dia mengenakan atribut pengenal. Bahkan Dimas juga melakukannya, mengapa hanya dia yang di panggil? dalam hati Gendhis tak terima. Menurutnya keterlaluan sampai harus di tegur bos sendiri. "Kau paham kan?" tanya Rio.Gendhis mengangguk paham."Baiklah kalau begitu sekarang istirahatlah. Besok kau akan bekerja pagi."Ya
Hari ini jadwal Gendhis sangat padat, sedari pagi dia harus menemui beberapa orang untuk membahas pekerjaan yang akan datang. Sore hari menemui kekasihnya membahas masalah bisnis mereka. Lanjut terakhir dia harus ke kota sebelah menjenguk Rosi sahabatnya yang baru pulang dari rumah sakit. "Ya Tuhan, apakah aku bisa melalui hari ini dengan baik?" keluh Gendhis.Sejak kemarin Gendhis sudah berjanji untuk menengok Rosi. Kekasihnya pun tak bisa ikut karena dia harus mengantarkan mamanya cek up ke RS. "Mah bikin sarapan apa?" tanya Gendhis."Anak perawan bangun tidur minta makan, sana bersihkan tempat tidur dulu," bentak mama Gendhis.Entahlah mengapa seorang ibu tetap memperlakukan putrinya seperti anak kecil walaupun dia sudah dewasa. Setelah menyelesaikan kegiatan hari ini, Gendhi sempatkan mandi di rumah ibunya baru ke kota sebelah menjenguk sahabatnya."Mau kemana Mbak?" tanya mamanya."Jenguk Rosi mah, dia baru saja pulang dari Rumah Sakit kemarin," jawab Gendhis."Sakit apa?" tan
“Assalamualaikum, kamu dimana Mbak?” tanya Rio.“Di kos temen ini Mas, kenapa?” tanya balik Gendhis.“Kos nya di deket alun-alun Reog ya? Aku lihat sepertinya mobilmu terparkir di depan,” jawab Rio.“Iya mas, bener! Kok sampean tau?” tanya Gendhis heran.“Oke, tunggu ya lima menit! Mobilmu titipkan sana dulu! Assalamualaikum,” perintah Rio sambil mematikan telpon sepihak."Siapa Ndis?" tanya Rosi."Oh, Bosku yang travel itu loh," jawab Gendhis."Megapa dia tiba- tiba menyuruhku menunggunya ya? Dia sampai tahu lo Ros kalau aku sedang berada di kosmu, bahkan dia menyuruhku menitipkan mobilku di sini," cerita Gendhis."SIKAAAATTTT!!!!"seru Rosi.Gendhis memukulkan tas selempang yang di bawanya ke tubuh Rosi."Au sakit!" jerit Rosi."Hahahaha! Makanya mulut di jaga!" gelak Gendhis.Rosi mengelus lengannya."Aku kerja dulu, dah di telpon Mami, kalau mau titip mobil taruh depan ya!" perintah Rosi.Gendhis mengangguk, dia keluar berjalan beriringan dengan Rosi yang akan pergi bekerja."Kau t
SEBUAH KEJUJURAN"Sebenarnya aku takut, tetapi rasa rinduku padamu mengalahkan semua itu," ucap Rio lirih.Meskipun Rio mengucapkannya lirih Gendhis dengan jelas mendengarkannya. Mereka hanya berdua di dalam mobil. Di tambah suasana malam yang cukup sunyi."Apa aku tak salah dengar Mas?" tanya Gendhis.Rio tak menjawab. Dia melanjutkan makannya sampai nasi dalam pincuk itu habis. Lalu mengambil sebotol air mineral miliknya."Istriku tak akan pernah tau, dia tidak pernah keluar rumah apalagi jam segini! Kamu belum pernah ketemu dia kan ya?” tanya Rio. Gendhis mengangguk perlahan. Memang Gendhis belum pernah melihat istri Rio secara langsung, hanya saja dari cerita yang Gendhis dengar, istri Rio sangat sholehah memakai cadar tentu berbeda jauh dengan dirinya yang sholehot dan gemar memakai baju mini.“Nanti kalau waktunya ku kenalkan dengan istriku...” ujar Rio.Gendhis mengangguk dan melanjutkan menikmati makan malamnya. Mereka berdua terdiam beberapa saat itu. "Tuhan aku tak tahu ap
WOWGendhis membiarkan telpon itu. Dia tak ingin mengangkatnya karena sudah larut malam. Beberapa kali notif pesan masuk, entah dari siapa Gendhis mengabaikan. Gendhis hanya ingin tidur malam ini.Tring satu pesan masuk[Kenapa gak diangkat?][Kamu party ya?]3x panggilan video tak terjawab dari Rio."Ah dia menghancurkan mood pagiku," ujar Gendhis lirih.Gendhis mengetik pesan untuk Rio.[Semalam aku capek, tidur]Balas Gendhis singkat. Pagi hari ini Gendhis memiliki beberapa jadwal untuk bertemu dengan banyak orang. Pak Muhaimin atasan Gendhis sudah mewanti- wanti sejak kemarin jangan sampai proyek gagal. Tanktop hitam, blazer, celana kerja, serta heels hitam, di lengkapi cluth berinisial nama menjadi pilihan busana Gendhis hari ini. Setelah sarapan dengan nasi pecel buatan ibunya, Gendhis berpamitan untuk berangkat kerja. Mengendari mobil perlahan sambil mendengarkan alunan lagu dari cakra khan."Masih terlalu pagi, apa lebih baik aku mampir ke showroom Samuel ya," gumam Gendhis se
SALAH KAMAR?Ternyata kaki Rio yang jelas sengaja menyentuh kaki Gendhis. Rio tersenyum ke sekilas ke arah Gendhis, entah apa maksudnya. Meeting malam ini selesai, sudah di putuskan hari sabtu dini hari mereka akan berangkat, hanya TL dan rombongan. Team memantau standby di kota mereka. Untuk pembagian hotel Gendhis sekamar dengan Rosa, dan Guruh dengan Iim."Baik apa ada yang ingin di tanyakan lagi?" ujar Dimas."Tidak Pak!" sahut Iim."Oke, sekarang waktunya kita makan- makan, silahkan temen- temen memesan makanan yang kalian inginkan," kata Rio."Mbak Gendhis mau makan apa?" tanya Rosa."Em, Nasi goreng saja, minumya air mineral dingin ya!" perintah Gendhis.Mereka memesan masing- masing menu. Menikmati makan malam bersama."Kau langsung pulang?" tanya Rio.Gendhis mengangguk. Malam ini Gendhis langsung pergi ke salon langganannya. Salon Mama mita, untuk memasang eyelash dan berfikir mewarnai rambut. "Mamtit aku besok ada event, ini kan masih jam sepuluh malem bisa lembur ndak?" ta