ANTASENA!"Padahal kenyataannya dia telah beristri. Apakah seperti itu lelaki yang baik itu?" sindir Pohan."Ko, orang cinta itu beratnya seperti orang menyangga bumi, cinta itu buta. Cinta itu ibarat hidupnya jiwa yang suci, cinta itu tak bisa di minta tapi cinta muncul dari sanubari," jawab Gendhis."Harus bagaimana lagi aku, Gendis?" tanya Pohan."Tidak pakai bagaimana- bagaimana, Ko. Tidak ada yang perlu kau lakukan, dan ini bukan kesalahanmu. Semua masalah ini murni aku yang membuatnya. Percayalah ini hanya masalah waktu dan aku perlu sedikit lebih banyak waktu untuk bisa berdamai dengan keadaan ku sekarang ini. Maaf ya, Ko! Maaf, jika aku selalu menuntutmu untuk selalu mengerti," ucap Gndhis memeluk Pohan."Namun percayalah, Ko! Tak mudah menjadi aku, di mana setiap melihat Kai aku selalu terbayang semua kenangan masa lalu serta wajah Mas Rio," sambungnya."Gendhis, bukankah aku berkali -kali menawarimu untuk memberikan Kai pada Cece- ku saja, toh dia juga belum punya anak. Buka
REWANG"Kai! Kau akan bertemu dengan Abimu! Hahaha," kata Gendhis tertawa sendiri. Tawa yang penuh dan sarat akan arti. Gendhis masih sangat ingat di kampung masih ada tradisi mengaji nanti malam setelah ada orang yang meninggal dunia. Gendis membelokkan mobilnya di sebuah toko kue. Dia memesan aneka macam roti dengan jumlah 100 buah per jenis. Tak lupa juga membeli minuman gelasan dengan jumlah dua puluh dus untuk air minum. Dia juga memberikan amplop sebagai ucapan belasungkawa. Tak tanggung -tanggung biasanya mereka rata -rata memberi dengan nominal paling banyak juga satu jutaan tapi Gendhis memasukkan nominal sepuluh juta dalam amplop itu. "Bu, apakah aku harus senang atau sedih dengan kematianmu?" batin Gendhis dalam hati sambil melajukan mobilnya membelah jalanan kota ponorogo."Rasanya semua yang aku bawa ini tak sebanding dengan apa yang pernah Mas Rio berikan padaku," gumam Gendhis pada dirinya sendiri. Apalagi Gendhis masih sangat ingat saat ibu Rio dan Sifa bertanda
APAKAH INI ANAK RIO, NDUK?"Maaf, Bu! Ini untuk tambahan acara mengaji nanti malam," ujar Gendis berusaha ramah sambil menyalami satu persatu orang yang sedang rewang di sana. Memang kebiasaan orang desa akan rewang ketika ada orang yang tertimpa musibah Bahkan sang punya rumah biasanya tak akan merepot memikirkan makanan karena akan dicukupi oleh para tetangga."Loh sampean ini siapa nya, Mbak?" tanya seorang wanita berperawakan besar langsung pada Gendhis.'Glek' Gendhis menelan ludahnya kasar. Dia menghela nafas perlahan mencoba untuk tetap slay dan tidak panik. Gendhis tersenyum ramah sekali."Saya adalah teman dekat Mas Rio, Bu! Tapi dulu," jawab Gendhis tak ingin berbohong."Kebetulan saya juga mengenal Mbak Sifa, makanya tadi langsung ke sini dari Surabaya. Maaf ya kalau pakaian saya sedikit tak sopan, tak memakai jilbab," sambungnya."Oalah! Repot, repot sekali to, Mbak. Nyetir sendiri dari Surabaya ke Ponorogo. Matur suwun yo Mbak," sahut wanita berbada besar itu.Gendhis
WASIAT PURWATI"Sini, Nduk!" Perintah Suhadi melambaikan tangan pada Gendis untuk segera menyusulnya ke belakang saat melihat wanita itu datang.Dia menganggukkan kepalanya. Ini pertama kali bertemu dengan bapaknya Rio. Mereka duduk bersama di gazebo belakang. Kai sudah berpindah tangan di gendongan Rio."Nduk! Apakah ini anak Rio?" tanya Suhadi."Menurut Bapak apakah ini cucu Bapak atau bukan? Bukankah biasanya ada insting tersendiri antara cucu kandung dan bayi orang lain. Apakah Bapak tidak bisa merasakannya?" tanya Gendis sambil tersenyum sinis penuh arti."Memang anak ini wajahnya tak seperti Rio. Bahkan menurutku cenderung mirip denganmu. Berbeda dengan Farhat yang sangat mirip dengan Rio plek ketiplek. Namun saat aku dekat dengannya, aku pun juga merasa nyaman. Apalagi kau wanita yang pandai, Nduk. Tak mungkin kau tak akan berani bermain -main dengan hal semacam ini kan? Bapak percaya padamu bahwa ini adalah anak Rio," jelas Suhadi."Andaikan Bapak mengatakan tadi tidak percay
PENILAIAN SUHADI"Ada apa, Pak?" tanya Gendis."Bisakah kau setelah tujuh harian kemari?" tanya Suhadi lagi."Ada apa memangnya, Pak?" sahut Gendis."Ada sebuah wasiat yang harus aku sampaikan padamu. Ini berkaitan pesan wasiat dengan almarhum Ibu Rio," jelas Suhadi.Wasiat adalah suatu pesan yang mengandung kebaikan yang akan dijalankan ketika seseorang sudah meninggal dunia. Kata wasiat berasal dari washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan. Sehingga, dalam kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia."Wasiat?" tanya Gendis cukup kaget mendengar pernyataan dari Suhadi sambil mengernyitkan keningnya heran."Apakah Bapak tak salah orang? Apalah benar- benar tidak salah bicara? Ini saya lo, Gendhis bukan Mbak Sifa, yakin?" tanya Gendis lagi setengah tak percaya dengan ucapannya.Bukannya apa- apa sampai Gendhis memastikan sedetails dan sejelas itu karena setahu Gendis dirinya dan ibu Rio t
SORTANA"Pak terimalah! Saya memberi ini bukan untuk Bapak. Tetapi untuk almarhum Ibunya Mas Rio. Jadi ini rezekinya, jangan di tolak. Gunakan dengan baik ya, Pak. Mungkin memang tak seberapa namun saya tulus turut mengucapkan belasungkawa," ujar Gendis.Suhadi terdiam dan tercenung. Ternyata wanita di depannya ini bukanlah sosok gambaran perusak rumah tangga orang yang jahat. Bahkan dia cukup mengerti dan tahu diri bagaimana datang untuk berbelasungkawa."Tolong ambilah, Pak. Ini bukan buat panjenengan tapi rezeki Ibu, jangan di tolak karena buat tambahan acara tiga hari sampai tujuh hari nya nanti. Ya, meskipun jumlahnya tidak banyak tapi ini adalah bentuk kasih sayang saya untuk Bapak, dari Kai juga," ujar Gendis terus mendesak Suhadi.Akhirnya Suhadi pun tersenyum. Dia menerimanya dengan senang. Uang itu memang akan di gunakan semua untuk acara almarhum istrinya."Terima kasih ya, Nduk," ucap Suhadi.Gendhis pun menganggukkan kepalanya. Lalu mengajari Kai untuk menyalami Eyang
PERDEBATAN BUDAYA DAN AGAMA!"Loh, Le kau kok di sini?" tanya Suhadi."Iyo, Pak. Mau menyiapkan sortana," jawab Suhadi membuka lemari perabot ibunya."Loh, kau sudah tahu belum mertuamu di depan," jelas Suhadi."Hah? Sejak kapan, Pak? Kok Rio tak tahu?" tanya balik Rio."Dari tadi kok, Le," jawab Suhadi sambil berlalu masuk ke kemarnya."Dari tadi? Berarti Abah melihatku bersama Gendhis?" batin Rio dalam hati.Rio meneguk ludahnya dengan kasar. Dia pun segera berlalu ke depan, celingak celinguk ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan mertuanya. Namun ruang tamu itu kosong. Dia menghela nafas lega dan berpikir mungkin mertuanya itu sudah pulang. Sampai sebuah tangan mengagetkannya dari belakang karena menepuk halus pundak Rio."Astaghfirullahaladzim!" teriak Rio tertahan. Dia pun segera menoleh ke belakang. Ternyata itu adalah Abah Furqon, Rio pun langsung menyalami mertuanya itu. Dia mencoba menanyakan dari mana mertuanya itu sambil memancing lagi tentang perkataan Bapaknya. Apakah
NGURI- NGURI BUDOYO!"Jangan mengaitkan dan percaya seperti itu. Dalam Islam semua ketetapan dan ketentuan takdir dari gusti Allah itu adalah baik," tegur Abah Furqon."Tidak! Kau itu tak mengerti adat istiadat kami. Bagaimana toh panjenegan ini? Wong ya ini di lakukan untuk kebaikan bayi itu sendiri, cucu panjenengan juga. Mengapa panjenengan melarangnya? Apa panjenengan ingin cucunya kenapa -napa?" tantang bude Rio dengan sinis karena tak menyukai keluarga besan almarhum mbaknya itu yang terlalu agamis dan sok bagi Rio. "Panjenengan itu lupa asalnya mana? Apa panjenengan orang Yaman? Arab? Sampean orang Jawa jangan sampai hilang Jawa nya! Kok sok- sok an. Memang saya bukan utadzah saya hanya guru bahasa Jawa. Dan yang namanya tradisi atau kebiasaan kehidupan suatu masyarakat, kebudayaan. Tradisi lokal pada masyarakat kita khusunya masyarakat perdesaan yang ada harus di pertahankan dan masih sering dilakukan pada masyarakat Jawa, perlu dipertahankan pada masa sekarang ini, karena tr