"Ap-apa, Bu?" Gendis terbata-bata mendengar ucapan Catherine yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
"Kami meminjam rahim kamu untuk mengandung anak kami. Apa masih belum jelas juga?" "Maaf, tapi kenapa bukan Ibu yang hamil? Kenapa harus meminjam rahim saya?" "Kalau saya bisa hamil saya nggak mungkin meminta kamu!" jawab Catherine ketus. Selama hitungan detik Gendis terdiam. Perasaan bingung merayapi hatinya. Bagaimana mungkin Catherine meminta Gendis untuk mengandung anaknya dengan Dexter? Ya, maksudnya, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. "Sudah. Nggak usah kebanyakan mikir!" tegur Catherine yang membangunkan Gendis dari ketermanguan. "Menikahlah dengan suami saya lalu lahirkan anak untuk kami. Atau ... ganti kalung saya dan kamu akan saya laporkan pada polisi." Ancaman yang terlontar dari mulut Catherine tak pelak membuat Gendis semakin ketakutan. "Kalau saya menikah dengan Pak Dexter apa itu artinya saya akan menjadi istri kedua?" "Tentu saja. Memang apa yang kamu harap? Dexter akan menceraikan saya? Jangan mimpi kamu!" ketus Catherine dengan sinis. Bukan. Bukan itu yang Gendis maksud. Tapi bagaimana bisa wanita seperti Catherine mau dimadu? Apalagi dengan pembantu seperti dirinya? Jika Catherine dan Dexter ingin memiliki anak kenapa mereka tidak mengadopsi anak dari panti asuhan? Semua pertanyaan tersebut saling tumpang tindih di kepala Gendis. Ia ingin tahu jawabannya, tapi sungkan untuk bertanya. Gendis takut Catherine akan marah. "Saya tidak berharap begitu, Bu. Sedikit pun tidak." "Bagus. Dan jangan coba-coba menggoda suami saya apalagi sampai jatuh cinta padanya!" ancam Catherine penuh penekanan. "Baik, Bu," jawab Gendis patuh. Jangankan menggoda dan jatuh cinta, menatap wajah Dexter adalah hal yang cukup sulit dilakukannya. Kepada Gendis, lelaki itu tidak banyak bicara, auranya dingin seolah akan membekukan seisi ruangan. Namun kepada istrinya Dexter adalah lelaki yang hangat dan romantis. "Dalam waktu dua bulan ini kamu harus hamil dan melahirkan anak untuk kami. Dan ingat, suami saya hanya akan menikahi kamu secara siri. Kamu tahu apa artinya kan? Kamu nggak berhak menuntut apa pun dari kami. Jangan coba-coba meminta hak atas anak itu karena dia adalah milik kami." Gendis hanya bisa mengangguk tanpa berani membantah. Gadis lugu itu tidak punya pilihan lain. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan, dilaporkan pada polisi lalu dipenjara. Setelahnya Catherine mengajak Gendis medical check up di rumah sakit guna memeriksa kesehatan gadis itu. Dan hasilnya adalah Gendis dinyatakan sehat. Baik fisik maupun psikis. Itu artinya Gendis memenuhi syarat untuk menjadi istri kedua Dexter. *** "Dex, aku sudah siapin semuanya. Coba deh kamu lihat." Dexter baru saja pulang dari kantor malam itu ketika menerima map dari Catherine. "Apa ini?" "Hasil pemeriksaan kesehatan Gendis. Juga surat perjanjian dengan dia." Dexter melonggarkan dasi, lalu membuka tiga kancing teratas kemejanya. Pria itu mengembuskan napas begitu membaca surat tersebut satu demi satu. Gendis sudah menandatangani bahwa dia bersedia menjadi istri Dexter, melahirkan anak untuknya dan tidak akan menuntut apa-apa untuk dirinya dan anak itu. "Serius kamu yakin kita melakukan ini?" tanya Dexter sembari menutup map dan mengembalikannya pada Catherine. "Kita sudah sejauh ini, Dex. Kita tinggal selangkah lagi dan kamu masih nanya apa ini serius?" balas Catherine. "Jujur, sampai sekarang aku nggak habis pikir." "Here we go again ..." Catherine merotasi bola matanya. "Kamu sudah setuju. Aku sudah urus. Lalu kamu kembali bertanya dan semua mengulang dari awal." "Aku hanya nggak mau apa yang kita lakukan sekarang menjadi hal yang akan kita sesali suatu saat nanti," ucap Dexter serius. "Aku nggak akan pernah menyesalinya," jawab Catherine begitu yakin. Pernikahan Dexter dengan Gendis hanya beberapa bulan. Dan itu pun Dexter tidak akan memperlakukan Gendis seperti suami istri sungguhan. Jadi apa lagi? * Pernikahan itu benar-benar terselenggara keesokan malam. Dengan disaksikan Catherine serta dua orang saksi Dexter dan Gendis resmi menjadi suami istri. Dexter menatap Catherine dengan perasaan bersalah. Sedangkan perempuan itu memberinya senyum tipis. Ketika Gendis hendak menyalami Dexter setelah menyematkan cincin, lelaki itu mengelak. Dengan halus ditepisnya tangan Gendis. Tidak ada ciuman lembut di kening dan gestur mesra lainnya. Dari situ Gendis tahu Dexter tidak menginginkan semua ini. Setelah acara selesai Dexter langsung masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Pria itu merenung panjang. 'Am i doing the right thing?' pikirnya. Tapi sudah terlambat untuk menyesal. Statusnya sudah berubah menjadi pria beristri dua. "Dex, kenapa masih di sini?" Catherine yang menyusul ke kamar mengusap bahu Dexter yang terlihat galau. "Jadi aku harus di mana?" "Ke belakang, di kamar Gendis. Dia sudah menunggu." Catherine menjawab dengan segaris senyum. "Aku nggak mau menduakan kamu, Cat. Aku mencintai kamu." "I know." Catherine mengusap rahang Dexter. "Aku yakin hatimu hanya untukku selamanya. Kalau aku nggak yakin aku nggak akan berani mengambil risiko ini. Sekarang pergilah dan lakukan dari belakang. Jangan buang-buang waktu." "Aku udah nggak ngerti kenapa ada perempuan seperti kamu, Cat. Di saat perempuan lain nggak mau dimadu tapi kamu malah menyuruhku," ucap Dexter sambil merengkuh Catherine lalu memeluknya. "Ini hanya sementara. Kalau selamanya aku juga nggak akan mau. Pergilah, Dex." Catherine melepaskan diri dari pelukan suaminya. Lalu dengan langkah dan hati yang sama beratnya Dexter meninggalkan kamar menuju kamar pembantu mereka yang terletak di belakang. ***Gendis menatap wajahnya di cermin yang berpoleskan riasan seadanya. Ia hanya menggunakan bedak dan lip balm untuk melembabkan bibirnya yang kering. Catherine melarangnya berdandan untuk pernikahannya dengan Dexter tadi. Nyonya rumah itu mengatakan Dexter tidak suka perempuan yang suka berdandan. Padahal hampir setiap hari Gendis melihat wajah Catherine dilapisi make up tebal.Gendis rasanya tidak percaya kalau sekarang sudah menjadi istri kedua dari majikannya. Meskipun dinikahi secara siri, statusnya tetaplah sebagai seorang istri. Orang tuanya di kampung sana yang tinggal di daerah terpencil tidak akan tahu bahwa putri mereka sudah menikah. Gendis sedih saat mengingat hal itu. Seharusnya ayahnyalah yang menikahkannya. Semestinya ia didampingi oleh kedua orang tuanya. Dan yang terpenting ia menikah dengan lelaki yang dicintainya, bukan dengan cara terpaksa.Suara pintu yang diketuk dari luar mengusir lamunan Gendis. Gadis itu terkesiap. Digigitnya bibir sembari menerka di dalam hati
Keluar dari kamar Gendis, Dexter berdiri lama di depan pintu sambil mengatur napasnya yang masih terengah. Lelaki itu memejamkan matanya, merasai residu sensasi yang masih tersisa.For God's sake, Gendis memang seenak itu.'Oh, jadi begini rasanya bercinta dengan perawan,' dirinya membatin.Dulu saat pertama menikah dengan Catherine, Dexter mendapati perempuan itu sudah kehilangan kesuciannya. Catherine mengatakan dia pernah jatuh dari sepeda yang membuat selaput daranya rusak sebelum waktunya. Dan Dexter memercayainya.Setelah irama napasnya teratur Dexter membuka mata. Dirapikannya baju dan celana yang kusut. Dexter tidak ingin menyakiti perasaan Catherine. Yang ada dalam pikiran Dexter adalah, dengan melihat pakaiannya yang kusut maka Catherine bisa membayangkan adegan percintaannya dengan Gendis.Menarik langkah perlahan, Dexter menuju kamarnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengatur agar raut wajahnya terlihat wajar. Setelahnya lelaki itu masuk ke kamar.Di dalam kamar Cath
Melangkah dengan terseok-seok, Gendis berhasil masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan terburu-buru. Saat buang air kecil area genitalnya terasa perih. Gendis mencoba menahannya walau saat ini sekujur tubuhnya terasa remuk redam.Selesai mandi tubuhnya malah semakin meriang sehingga ia harus memakai jaket.Dibukanya laci, jari-jemarinya mencari Paracetamol yang disediakannya sejak lama, just in case ada sesuatu padanya. Biasanya saat merasakan gejala tidak enak badan Gendis terlebih dahulu mengantisipasinya dan selalu berhasil. Ia tidak pernah demam dan absen kerja.Setelah menenggak sebutir pil Gendis keluar dari kamar masih dengan langkah yang sama. Terseok-seok.Hal pertama yang dilakukannya adalah menyediakan sarapan. Gendis pikir ia tidak akan sempat lagi membuat makanan berat sebagai menu sarapan untuk Dexter. Maka yang dilakukannya adalah memasak bubur. Ia harap Dexter suka dan tidak akan marah. Mengingat selama ini Dexter hanya makan makanan berat untuk sarapan pa
Betapa terkejutnya Dexter mengetahui Gendis tiba-tiba jatuh ke lantai. Beruntung kepala perempuan itu menimpa punggung kaki Dexter sehingga tidak mengalami benturan yang berarti.Dexter menyugar rambutnya. Selama beberapa saat bingung harus melakukan apa. Apalagi dalam keadaan Gendis yang tidak berbusana.Dexter jongkok, memindahkan kepala Gendis dari punggung kakinya ke lantai dengan hati-hati.Dexter meneguk ludah. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Gendis dari depan. Dada perempuan itu membusung. Tubuhnya langsing tapi padat pada tempat-tempat yang tepat. Kulitnya yang eksotis memberi aura seksi yang begitu nyata. Jika Gendis sedikit berdandan maka Dexter yakin jika Gendis tidak akan kalah dari Catherine."Come on, Dex, berhenti memujinya. Lakukan sesuatu.' Lelaki itu mengingatkan dirinya.Dexter mengambil napas sambil memandang ke sekeliling seakan meminta bantuan. Tapi tentu tidak akan ada yang bisa membantunya karena mereka hanya berdua di sana.Dexter men
Di dalam temaram malam Dexter membelah jalan raya. Pria itu menyetir dengan kencang."Pelan-pelan kenapa sih, Dex? Kamu bikin jantungku hampir loncat ke luar." Catherine yang duduk di sebelah Dexter memprotes lelaki itu yang mengendara serampangan."Kita harus cepat sampai di rumah sakit. Semakin cepat dia ditangani akan semakin bagus." Itu alasan Dexter.Catherine mendengkus pelan sambil menyembunyikan kekesalan. Yang ada di pikirannya adalah Gendis sengaja melakukan ini semua demi menarik perhatian Dexter. Catherine yakin Gendis meminum obat tidur agar orang-orang menyangkanya sedang pingsan."Semakin cepat memang semakin bagus tapi nggak harus mengorbankan nyawa kita juga kali, Dex. Dia sehat, nyawa kita yang melayang," oceh Catherine menahan rasa sakit hatinya.Karena Catherine terus mengomel maka Dexter mengurangi kecepatan. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke belakang melalui rear view mirror untuk mengetahui keadaan Gendis. Perempuan itu terbaring seperti orang yang sedang
Dahi perempuan yang berbaring lemah itu berkerut. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan nyonyanya.Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika ia membuka mata. Pelan-pelan ingatannya memulih. Tadi mendadak tubuhnya limbung saat sedang bercinta dengan Dexter. Sisanya ia tidak tahu apa-apa sampai kemudian ia dipindahkan ke kamar yang saat ini ditempatinya."Jangan bersikap pura-pura lugu di depan saya," ucap Catherine lagi melihat ekspresi bingung yang terpancar di wajah Gendis."Obat tidur? Obat tidur apa maksud Ibu?" Gendis masih belum mengerti dan itu membuat Catherine muak. Ia tahu Gendis hanya sedang berpura-pura. "Gendis, dengar, saya nggak suka sikap kamu yang begini. Saya nggak sebodoh dan mudah ditipu seperti yang ada di pikiran kamu.""Saya sama sekali tidak pernah menganggap begitu, Bu, saya tidak menipu," jawab Gendis membela diri. Orang seperti apa dirinya yang tega berbuat jahat pada majikannya sendiri?"Oh ya? Jadi kalau bukan menipu apa namanya yang kamu lakukan tadi? Kamu m
Dokter mengizinkan Gendis pulang hari ini dan menyarankan agar Gendis beristirahat dulu dari aktivitas fisik terutama yang berat dan memakan tenaga.Yang terjadi, setibanya di rumah Catherine langsung menyiksa Gendis dengan menyuruhnya membersihkan kotoran Comot, si kucing anggora berwarna putih, satu-satunya hewan peliharaan di rumah tersebut. Padahal sudah disediakan little box untuknya tapi entah mengapa kucing itu lebih suka menyebar kotorannya sembarangan."Saya kan sudah bilang sama kamu, didik kucing itu dengan benar. Ajarkan caranya buang kotoran di tempatnya," omel Catherine sambil menutup hidungnya."Sudah, Bu, saya juga tidak mengerti kenapa dia suka buang kotoran sembarangan," jawab Gendis sambil membersihkan kotoran kucing di karpet."Kalau memang sudah, nggak mungkin dia begitu. Kamu itu emang paling bisa kalau ngeles.""Baik, Bu. Nanti akan saja ajarkan lebih telaten lagi," jawab Gendis mengalah.Kucing anggora tersebut adalah pemberian teman Dexter yang merupakan seora
"Kita sudah sampai, Mbak."Gendis tersentak dari lamunannya mendengar suara supir taksi. Sejak dari rumah tadi dirinya melamun sepanjang perjalanan.Masih dari dalam taksi, Gendis mendongak, menatap ke arah gedung tinggi puluhan tingkat yang terpampang di ruang matanya.Gendis mengeja di dalam hati tulisan 'Shappire Group.'Shappire Group merupakan perusahan milik orang tua Dexter yang memiliki banyak anak perusahaan. Di anak-anak perusahaan tersebut Dexter dan Josh bekerja. Sedangkan perusahaan induk dipegang oleh Rexa, ayah kedua pria itu.Gendis bergegas merogoh tote bag. Diambilnya uang dari sana, diberikannya pada supir taksi sambil berucap, "Terima kasih".Taksi melaju pergi. Gendis masih berdiri di depan gedung tinggi itu sambil mengira-ngira di lantai berapa Dexter berkantor. Tadi Dexter hanya menyebutkan alamatnya via SMS tanpa mengatakan ruangannya di lantai berapa.Suara klakson mobil yang lewat mengejutkan Gendis. Perempuan itu tersentak. Entah sudah berapa lama ia termang