"Ap-apa, Bu?" Gendis terbata-bata mendengar ucapan Catherine yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
"Kami meminjam rahim kamu untuk mengandung anak kami. Apa masih belum jelas juga?" "Maaf, tapi kenapa bukan Ibu yang hamil? Kenapa harus meminjam rahim saya?" "Kalau saya bisa hamil saya nggak mungkin meminta kamu!" jawab Catherine ketus. Selama hitungan detik Gendis terdiam. Perasaan bingung merayapi hatinya. Bagaimana mungkin Catherine meminta Gendis untuk mengandung anaknya dengan Dexter? Ya, maksudnya, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. "Sudah. Nggak usah kebanyakan mikir!" tegur Catherine yang membangunkan Gendis dari ketermanguan. "Menikahlah dengan suami saya lalu lahirkan anak untuk kami. Atau ... ganti kalung saya dan kamu akan saya laporkan pada polisi." Ancaman yang terlontar dari mulut Catherine tak pelak membuat Gendis semakin ketakutan. "Kalau saya menikah dengan Pak Dexter apa itu artinya saya akan menjadi istri kedua?" "Tentu saja. Memang apa yang kamu harap? Dexter akan menceraikan saya? Jangan mimpi kamu!" ketus Catherine dengan sinis. Bukan. Bukan itu yang Gendis maksud. Tapi bagaimana bisa wanita seperti Catherine mau dimadu? Apalagi dengan pembantu seperti dirinya? Jika Catherine dan Dexter ingin memiliki anak kenapa mereka tidak mengadopsi anak dari panti asuhan? Semua pertanyaan tersebut saling tumpang tindih di kepala Gendis. Ia ingin tahu jawabannya, tapi sungkan untuk bertanya. Gendis takut Catherine akan marah. "Saya tidak berharap begitu, Bu. Sedikit pun tidak." "Bagus. Dan jangan coba-coba menggoda suami saya apalagi sampai jatuh cinta padanya!" ancam Catherine penuh penekanan. "Baik, Bu," jawab Gendis patuh. Jangankan menggoda dan jatuh cinta, menatap wajah Dexter adalah hal yang cukup sulit dilakukannya. Kepada Gendis, lelaki itu tidak banyak bicara, auranya dingin seolah akan membekukan seisi ruangan. Namun kepada istrinya Dexter adalah lelaki yang hangat dan romantis. "Dalam waktu dua bulan ini kamu harus hamil dan melahirkan anak untuk kami. Dan ingat, suami saya hanya akan menikahi kamu secara siri. Kamu tahu apa artinya kan? Kamu nggak berhak menuntut apa pun dari kami. Jangan coba-coba meminta hak atas anak itu karena dia adalah milik kami." Gendis hanya bisa mengangguk tanpa berani membantah. Gadis lugu itu tidak punya pilihan lain. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaan, dilaporkan pada polisi lalu dipenjara. Setelahnya Catherine mengajak Gendis medical check up di rumah sakit guna memeriksa kesehatan gadis itu. Dan hasilnya adalah Gendis dinyatakan sehat. Baik fisik maupun psikis. Itu artinya Gendis memenuhi syarat untuk menjadi istri kedua Dexter. *** "Dex, aku sudah siapin semuanya. Coba deh kamu lihat." Dexter baru saja pulang dari kantor malam itu ketika menerima map dari Catherine. "Apa ini?" "Hasil pemeriksaan kesehatan Gendis. Juga surat perjanjian dengan dia." Dexter melonggarkan dasi, lalu membuka tiga kancing teratas kemejanya. Pria itu mengembuskan napas begitu membaca surat tersebut satu demi satu. Gendis sudah menandatangani bahwa dia bersedia menjadi istri Dexter, melahirkan anak untuknya dan tidak akan menuntut apa-apa untuk dirinya dan anak itu. "Serius kamu yakin kita melakukan ini?" tanya Dexter sembari menutup map dan mengembalikannya pada Catherine. "Kita sudah sejauh ini, Dex. Kita tinggal selangkah lagi dan kamu masih nanya apa ini serius?" balas Catherine. "Jujur, sampai sekarang aku nggak habis pikir." "Here we go again ..." Catherine merotasi bola matanya. "Kamu sudah setuju. Aku sudah urus. Lalu kamu kembali bertanya dan semua mengulang dari awal." "Aku hanya nggak mau apa yang kita lakukan sekarang menjadi hal yang akan kita sesali suatu saat nanti," ucap Dexter serius. "Aku nggak akan pernah menyesalinya," jawab Catherine begitu yakin. Pernikahan Dexter dengan Gendis hanya beberapa bulan. Dan itu pun Dexter tidak akan memperlakukan Gendis seperti suami istri sungguhan. Jadi apa lagi? * Pernikahan itu benar-benar terselenggara keesokan malam. Dengan disaksikan Catherine serta dua orang saksi Dexter dan Gendis resmi menjadi suami istri. Dexter menatap Catherine dengan perasaan bersalah. Sedangkan perempuan itu memberinya senyum tipis. Ketika Gendis hendak menyalami Dexter setelah menyematkan cincin, lelaki itu mengelak. Dengan halus ditepisnya tangan Gendis. Tidak ada ciuman lembut di kening dan gestur mesra lainnya. Dari situ Gendis tahu Dexter tidak menginginkan semua ini. Setelah acara selesai Dexter langsung masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Pria itu merenung panjang. 'Am i doing the right thing?' pikirnya. Tapi sudah terlambat untuk menyesal. Statusnya sudah berubah menjadi pria beristri dua. "Dex, kenapa masih di sini?" Catherine yang menyusul ke kamar mengusap bahu Dexter yang terlihat galau. "Jadi aku harus di mana?" "Ke belakang, di kamar Gendis. Dia sudah menunggu." Catherine menjawab dengan segaris senyum. "Aku nggak mau menduakan kamu, Cat. Aku mencintai kamu." "I know." Catherine mengusap rahang Dexter. "Aku yakin hatimu hanya untukku selamanya. Kalau aku nggak yakin aku nggak akan berani mengambil risiko ini. Sekarang pergilah dan lakukan dari belakang. Jangan buang-buang waktu." "Aku udah nggak ngerti kenapa ada perempuan seperti kamu, Cat. Di saat perempuan lain nggak mau dimadu tapi kamu malah menyuruhku," ucap Dexter sambil merengkuh Catherine lalu memeluknya. "Ini hanya sementara. Kalau selamanya aku juga nggak akan mau. Pergilah, Dex." Catherine melepaskan diri dari pelukan suaminya. Lalu dengan langkah dan hati yang sama beratnya Dexter meninggalkan kamar menuju kamar pembantu mereka yang terletak di belakang. ***Gendis menatap wajahnya di cermin yang berpoleskan riasan seadanya. Ia hanya menggunakan bedak dan lip balm untuk melembabkan bibirnya yang kering. Catherine melarangnya berdandan untuk pernikahannya dengan Dexter tadi. Nyonya rumah itu mengatakan Dexter tidak suka perempuan yang suka berdandan. Padahal hampir setiap hari Gendis melihat wajah Catherine dilapisi make up tebal.Gendis rasanya tidak percaya kalau sekarang sudah menjadi istri kedua dari majikannya. Meskipun dinikahi secara siri, statusnya tetaplah sebagai seorang istri. Orang tuanya di kampung sana yang tinggal di daerah terpencil tidak akan tahu bahwa putri mereka sudah menikah. Gendis sedih saat mengingat hal itu. Seharusnya ayahnyalah yang menikahkannya. Semestinya ia didampingi oleh kedua orang tuanya. Dan yang terpenting ia menikah dengan lelaki yang dicintainya, bukan dengan cara terpaksa.Suara pintu yang diketuk dari luar mengusir lamunan Gendis. Gadis itu terkesiap. Digigitnya bibir sembari menerka di dalam hati
Keluar dari kamar Gendis, Dexter berdiri lama di depan pintu sambil mengatur napasnya yang masih terengah. Lelaki itu memejamkan matanya, merasai residu sensasi yang masih tersisa.For God's sake, Gendis memang seenak itu.'Oh, jadi begini rasanya bercinta dengan perawan,' dirinya membatin.Dulu saat pertama menikah dengan Catherine, Dexter mendapati perempuan itu sudah kehilangan kesuciannya. Catherine mengatakan dia pernah jatuh dari sepeda yang membuat selaput daranya rusak sebelum waktunya. Dan Dexter memercayainya.Setelah irama napasnya teratur Dexter membuka mata. Dirapikannya baju dan celana yang kusut. Dexter tidak ingin menyakiti perasaan Catherine. Yang ada dalam pikiran Dexter adalah, dengan melihat pakaiannya yang kusut maka Catherine bisa membayangkan adegan percintaannya dengan Gendis.Menarik langkah perlahan, Dexter menuju kamarnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengatur agar raut wajahnya terlihat wajar. Setelahnya lelaki itu masuk ke kamar.Di dalam kamar Cath
Melangkah dengan terseok-seok, Gendis berhasil masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan terburu-buru. Saat buang air kecil area genitalnya terasa perih. Gendis mencoba menahannya walau saat ini sekujur tubuhnya terasa remuk redam.Selesai mandi tubuhnya malah semakin meriang sehingga ia harus memakai jaket.Dibukanya laci, jari-jemarinya mencari Paracetamol yang disediakannya sejak lama, just in case ada sesuatu padanya. Biasanya saat merasakan gejala tidak enak badan Gendis terlebih dahulu mengantisipasinya dan selalu berhasil. Ia tidak pernah demam dan absen kerja.Setelah menenggak sebutir pil Gendis keluar dari kamar masih dengan langkah yang sama. Terseok-seok.Hal pertama yang dilakukannya adalah menyediakan sarapan. Gendis pikir ia tidak akan sempat lagi membuat makanan berat sebagai menu sarapan untuk Dexter. Maka yang dilakukannya adalah memasak bubur. Ia harap Dexter suka dan tidak akan marah. Mengingat selama ini Dexter hanya makan makanan berat untuk sarapan pa
Betapa terkejutnya Dexter mengetahui Gendis tiba-tiba jatuh ke lantai. Beruntung kepala perempuan itu menimpa punggung kaki Dexter sehingga tidak mengalami benturan yang berarti.Dexter menyugar rambutnya. Selama beberapa saat bingung harus melakukan apa. Apalagi dalam keadaan Gendis yang tidak berbusana.Dexter jongkok, memindahkan kepala Gendis dari punggung kakinya ke lantai dengan hati-hati.Dexter meneguk ludah. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Gendis dari depan. Dada perempuan itu membusung. Tubuhnya langsing tapi padat pada tempat-tempat yang tepat. Kulitnya yang eksotis memberi aura seksi yang begitu nyata. Jika Gendis sedikit berdandan maka Dexter yakin jika Gendis tidak akan kalah dari Catherine."Come on, Dex, berhenti memujinya. Lakukan sesuatu.' Lelaki itu mengingatkan dirinya.Dexter mengambil napas sambil memandang ke sekeliling seakan meminta bantuan. Tapi tentu tidak akan ada yang bisa membantunya karena mereka hanya berdua di sana.Dexter men
Di dalam temaram malam Dexter membelah jalan raya. Pria itu menyetir dengan kencang."Pelan-pelan kenapa sih, Dex? Kamu bikin jantungku hampir loncat ke luar." Catherine yang duduk di sebelah Dexter memprotes lelaki itu yang mengendara serampangan."Kita harus cepat sampai di rumah sakit. Semakin cepat dia ditangani akan semakin bagus." Itu alasan Dexter.Catherine mendengkus pelan sambil menyembunyikan kekesalan. Yang ada di pikirannya adalah Gendis sengaja melakukan ini semua demi menarik perhatian Dexter. Catherine yakin Gendis meminum obat tidur agar orang-orang menyangkanya sedang pingsan."Semakin cepat memang semakin bagus tapi nggak harus mengorbankan nyawa kita juga kali, Dex. Dia sehat, nyawa kita yang melayang," oceh Catherine menahan rasa sakit hatinya.Karena Catherine terus mengomel maka Dexter mengurangi kecepatan. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke belakang melalui rear view mirror untuk mengetahui keadaan Gendis. Perempuan itu terbaring seperti orang yang sedang
Dahi perempuan yang berbaring lemah itu berkerut. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan nyonyanya.Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika ia membuka mata. Pelan-pelan ingatannya memulih. Tadi mendadak tubuhnya limbung saat sedang bercinta dengan Dexter. Sisanya ia tidak tahu apa-apa sampai kemudian ia dipindahkan ke kamar yang saat ini ditempatinya."Jangan bersikap pura-pura lugu di depan saya," ucap Catherine lagi melihat ekspresi bingung yang terpancar di wajah Gendis."Obat tidur? Obat tidur apa maksud Ibu?" Gendis masih belum mengerti dan itu membuat Catherine muak. Ia tahu Gendis hanya sedang berpura-pura. "Gendis, dengar, saya nggak suka sikap kamu yang begini. Saya nggak sebodoh dan mudah ditipu seperti yang ada di pikiran kamu.""Saya sama sekali tidak pernah menganggap begitu, Bu, saya tidak menipu," jawab Gendis membela diri. Orang seperti apa dirinya yang tega berbuat jahat pada majikannya sendiri?"Oh ya? Jadi kalau bukan menipu apa namanya yang kamu lakukan tadi? Kamu m
Dokter mengizinkan Gendis pulang hari ini dan menyarankan agar Gendis beristirahat dulu dari aktivitas fisik terutama yang berat dan memakan tenaga.Yang terjadi, setibanya di rumah Catherine langsung menyiksa Gendis dengan menyuruhnya membersihkan kotoran Comot, si kucing anggora berwarna putih, satu-satunya hewan peliharaan di rumah tersebut. Padahal sudah disediakan little box untuknya tapi entah mengapa kucing itu lebih suka menyebar kotorannya sembarangan."Saya kan sudah bilang sama kamu, didik kucing itu dengan benar. Ajarkan caranya buang kotoran di tempatnya," omel Catherine sambil menutup hidungnya."Sudah, Bu, saya juga tidak mengerti kenapa dia suka buang kotoran sembarangan," jawab Gendis sambil membersihkan kotoran kucing di karpet."Kalau memang sudah, nggak mungkin dia begitu. Kamu itu emang paling bisa kalau ngeles.""Baik, Bu. Nanti akan saja ajarkan lebih telaten lagi," jawab Gendis mengalah.Kucing anggora tersebut adalah pemberian teman Dexter yang merupakan seora
"Kita sudah sampai, Mbak."Gendis tersentak dari lamunannya mendengar suara supir taksi. Sejak dari rumah tadi dirinya melamun sepanjang perjalanan.Masih dari dalam taksi, Gendis mendongak, menatap ke arah gedung tinggi puluhan tingkat yang terpampang di ruang matanya.Gendis mengeja di dalam hati tulisan 'Shappire Group.'Shappire Group merupakan perusahan milik orang tua Dexter yang memiliki banyak anak perusahaan. Di anak-anak perusahaan tersebut Dexter dan Josh bekerja. Sedangkan perusahaan induk dipegang oleh Rexa, ayah kedua pria itu.Gendis bergegas merogoh tote bag. Diambilnya uang dari sana, diberikannya pada supir taksi sambil berucap, "Terima kasih".Taksi melaju pergi. Gendis masih berdiri di depan gedung tinggi itu sambil mengira-ngira di lantai berapa Dexter berkantor. Tadi Dexter hanya menyebutkan alamatnya via SMS tanpa mengatakan ruangannya di lantai berapa.Suara klakson mobil yang lewat mengejutkan Gendis. Perempuan itu tersentak. Entah sudah berapa lama ia termang
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen