Gendis menatap wajahnya di cermin yang berpoleskan riasan seadanya. Ia hanya menggunakan bedak dan lip balm untuk melembabkan bibirnya yang kering. Catherine melarangnya berdandan untuk pernikahannya dengan Dexter tadi. Nyonya rumah itu mengatakan Dexter tidak suka perempuan yang suka berdandan. Padahal hampir setiap hari Gendis melihat wajah Catherine dilapisi make up tebal.
Gendis rasanya tidak percaya kalau sekarang sudah menjadi istri kedua dari majikannya. Meskipun dinikahi secara siri, statusnya tetaplah sebagai seorang istri. Orang tuanya di kampung sana yang tinggal di daerah terpencil tidak akan tahu bahwa putri mereka sudah menikah. Gendis sedih saat mengingat hal itu. Seharusnya ayahnyalah yang menikahkannya. Semestinya ia didampingi oleh kedua orang tuanya. Dan yang terpenting ia menikah dengan lelaki yang dicintainya, bukan dengan cara terpaksa. Suara pintu yang diketuk dari luar mengusir lamunan Gendis. Gadis itu terkesiap. Digigitnya bibir sembari menerka di dalam hati siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamar. Apa itu Catherine? Atau ... Dexter? Mendadak jantungnya bertalu-talu andai saja itu Dexter. "Silakan masuk, pintunya tidak dikunci." Gendis menyahut dari tempatnya. Dua detik kemudian daun pintu terbuka dengan perlahan, menampakkan sosok lelaki gagah yang masih menggunakan kemeja putih untuk akad nikah tadi. Gendis cepat berdiri dari tempat duduknya lalu membalikkan tubuh menghadap Dexter yang melangkah ke arahnya. Gadis itu menunduk. Tidak berani menatap pria di hadapannya. Untuk apa Dexter datang menemuinya? Apa lelaki itu ingin tidur di sini dan menagih haknya? Sungguh, Gendis semakin gugup membayangkan apa yang akan pria itu lakukan. "Selamat malam, Pak, ada yang bisa saya bantu?" sapa Gendis setelah memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Dexter. "Buka pakaian kamu," titah lelaki itu tanpa basa-basi. "Ap-ap-apa, Pak?" Gendis tergagap saking gugupnya. "Langsung saja, buka pakaian kamu dan belakangi saya. Saya nggak suka basa-basi." Gendis terdiam beberapa detik mencerna perkataan Dexter. Jadi benar lelaki itu datang untuk menagih haknya. Masalahnya, kenapa begini? "Kenapa saya harus membelakangi Bapak?" tanya Gendis tidak mengerti. "Lakukan saja apa yang saya perintahkan. Jangan banyak tanya." Aura dingin yang menguar dari suara Dexter membuat nyali Gendis menciut. Ia tidak mau pria itu marah. Maka Gendis membelakangi Dexter lalu menurunkan zipper hingga gaun putih yang dipakainya tadi menumpuk di kakinya. Sambil menahan malu Gendis juga membuka pakaian dalamnya hingga tubuhnya polos sempurna. Entah semerah apa pipinya saat ini. Untung Dexter berdiri di belakangnya. "Sudah, Pak," jawab Gendis lirih. "Maju." Dexter memerintahkan agar Gendis berjalan beberapa langkah. Gendis melakukannya sampai tubuhnya mentok ke dinding. Hatinya bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Dexter selanjutnya? Kenapa lelaki itu tidak menyuruhnya membalikkan badan agar mereka bisa saling menatap? Di belakang Gendis, Dexter mengangkat kemejanya lalu menurunkan sedikit celananya. Demi Tuhan Dexter tidak ingin melakukan ini. Ia sangat mencintai Catherine tapi ia terpaksa melakukannya agar mereka segera memiliki keturunan. Gendis menggigit bibir sambil meringis ketika merasakan ada yang menusuk bagian kewanitaannya dari belakang. Ternyata inilah maksud Dexter. Kenapa lelaki itu melakukannya dengan cara seperti ini? Kenapa Dexter tidak ingin melihat wajahnya? Bahkan Gendis bisa merasakan Dexter masih berpakaian lengkap saat tangan pria itu merengkuh pinggulnya. Dexter mulai mendorong, mencoba meloloskan miliknya ke dalam. Gendis meringis kesakitan. Air matanya menetes menuruni kedua sisi pipinya yang mulus. Sakit. Sangat sakit. Bukan hanya karena ini yang pertama, tapi juga karena cara Dexter melakukannya. Pria itu memperlakukan Gendis bukan seperti suami istri. Tapi hanya ingin memasukkan benihnya saja. Dexter terus mendorong tapi belum berhasil menyatukan diri dengan istri keduanya. Ia merasa terkejut mendapati fakta bahwa Gendis masih perawan. Dexter adalah orang pertama yang menyentuhnya. Dorongan Dexter semakin kuat dan dalam. Gendis menahan suaranya agar tidak merintih. Perempuan itu membekap mulut dengan menggigit bibirnya. Gendis belum pernah merasa sesakit ini. Dorongan demi dorongan dari belakang tubuhnya tak henti menyerang Gendis yang menumpukan tangan ke dinding. Rintihan berhasil diredamnya. Tapi air matanya terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Dengan satu kali hujaman tajam yang dalam Dexter berhasil menembusnya. Tubuh Gendis bagai dibelah bersamaan dengan selaput daranya yang terkoyak. Sebagian dari diri Dexter kini berada di dalamnya. Mengisi dan menyesakinya dengan penuh. Alih-alih akan mendesah, Gendis menangis tanpa suara menahan rasa sakit yang terus mendera. Dexter mendorong semakin keras, memberi hentakan-hentakan kuat agar semua cepat selesai. Ia tidak ingin bercumbu lebih lama walau tidak dipungkirinya rasa Gendis sangat nikmat. Sesaat kemudian lelaki itu berhasil mencapai titik klimaks. Lava itu mengalir ke rahim Gendis. Dalam diamnya Gendis mendengar sengal napas Dexter di belakangnya. Lelaki itu sudah berhenti bergerak lalu menarik diri dari Gendis. Dengan terburu-buru Dexter menaikkan celana dan menurunkan kemejanya. Tanpa berkata-kata apa-apa Dexter keluar dari kamar Gendis. Gendis hanya mendengar suara pintu dibuka lalu ditutup. Dexter sudah pergi. Tubuh Gendis melorot ke lantai. Sembari mengenakan pakaiannya gadis itu tergugu dalam tangis. ***Keluar dari kamar Gendis, Dexter berdiri lama di depan pintu sambil mengatur napasnya yang masih terengah. Lelaki itu memejamkan matanya, merasai residu sensasi yang masih tersisa.For God's sake, Gendis memang seenak itu.'Oh, jadi begini rasanya bercinta dengan perawan,' dirinya membatin.Dulu saat pertama menikah dengan Catherine, Dexter mendapati perempuan itu sudah kehilangan kesuciannya. Catherine mengatakan dia pernah jatuh dari sepeda yang membuat selaput daranya rusak sebelum waktunya. Dan Dexter memercayainya.Setelah irama napasnya teratur Dexter membuka mata. Dirapikannya baju dan celana yang kusut. Dexter tidak ingin menyakiti perasaan Catherine. Yang ada dalam pikiran Dexter adalah, dengan melihat pakaiannya yang kusut maka Catherine bisa membayangkan adegan percintaannya dengan Gendis.Menarik langkah perlahan, Dexter menuju kamarnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengatur agar raut wajahnya terlihat wajar. Setelahnya lelaki itu masuk ke kamar.Di dalam kamar Cath
Melangkah dengan terseok-seok, Gendis berhasil masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan terburu-buru. Saat buang air kecil area genitalnya terasa perih. Gendis mencoba menahannya walau saat ini sekujur tubuhnya terasa remuk redam.Selesai mandi tubuhnya malah semakin meriang sehingga ia harus memakai jaket.Dibukanya laci, jari-jemarinya mencari Paracetamol yang disediakannya sejak lama, just in case ada sesuatu padanya. Biasanya saat merasakan gejala tidak enak badan Gendis terlebih dahulu mengantisipasinya dan selalu berhasil. Ia tidak pernah demam dan absen kerja.Setelah menenggak sebutir pil Gendis keluar dari kamar masih dengan langkah yang sama. Terseok-seok.Hal pertama yang dilakukannya adalah menyediakan sarapan. Gendis pikir ia tidak akan sempat lagi membuat makanan berat sebagai menu sarapan untuk Dexter. Maka yang dilakukannya adalah memasak bubur. Ia harap Dexter suka dan tidak akan marah. Mengingat selama ini Dexter hanya makan makanan berat untuk sarapan pa
Betapa terkejutnya Dexter mengetahui Gendis tiba-tiba jatuh ke lantai. Beruntung kepala perempuan itu menimpa punggung kaki Dexter sehingga tidak mengalami benturan yang berarti.Dexter menyugar rambutnya. Selama beberapa saat bingung harus melakukan apa. Apalagi dalam keadaan Gendis yang tidak berbusana.Dexter jongkok, memindahkan kepala Gendis dari punggung kakinya ke lantai dengan hati-hati.Dexter meneguk ludah. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Gendis dari depan. Dada perempuan itu membusung. Tubuhnya langsing tapi padat pada tempat-tempat yang tepat. Kulitnya yang eksotis memberi aura seksi yang begitu nyata. Jika Gendis sedikit berdandan maka Dexter yakin jika Gendis tidak akan kalah dari Catherine."Come on, Dex, berhenti memujinya. Lakukan sesuatu.' Lelaki itu mengingatkan dirinya.Dexter mengambil napas sambil memandang ke sekeliling seakan meminta bantuan. Tapi tentu tidak akan ada yang bisa membantunya karena mereka hanya berdua di sana.Dexter men
Di dalam temaram malam Dexter membelah jalan raya. Pria itu menyetir dengan kencang."Pelan-pelan kenapa sih, Dex? Kamu bikin jantungku hampir loncat ke luar." Catherine yang duduk di sebelah Dexter memprotes lelaki itu yang mengendara serampangan."Kita harus cepat sampai di rumah sakit. Semakin cepat dia ditangani akan semakin bagus." Itu alasan Dexter.Catherine mendengkus pelan sambil menyembunyikan kekesalan. Yang ada di pikirannya adalah Gendis sengaja melakukan ini semua demi menarik perhatian Dexter. Catherine yakin Gendis meminum obat tidur agar orang-orang menyangkanya sedang pingsan."Semakin cepat memang semakin bagus tapi nggak harus mengorbankan nyawa kita juga kali, Dex. Dia sehat, nyawa kita yang melayang," oceh Catherine menahan rasa sakit hatinya.Karena Catherine terus mengomel maka Dexter mengurangi kecepatan. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke belakang melalui rear view mirror untuk mengetahui keadaan Gendis. Perempuan itu terbaring seperti orang yang sedang
Dahi perempuan yang berbaring lemah itu berkerut. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan nyonyanya.Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika ia membuka mata. Pelan-pelan ingatannya memulih. Tadi mendadak tubuhnya limbung saat sedang bercinta dengan Dexter. Sisanya ia tidak tahu apa-apa sampai kemudian ia dipindahkan ke kamar yang saat ini ditempatinya."Jangan bersikap pura-pura lugu di depan saya," ucap Catherine lagi melihat ekspresi bingung yang terpancar di wajah Gendis."Obat tidur? Obat tidur apa maksud Ibu?" Gendis masih belum mengerti dan itu membuat Catherine muak. Ia tahu Gendis hanya sedang berpura-pura. "Gendis, dengar, saya nggak suka sikap kamu yang begini. Saya nggak sebodoh dan mudah ditipu seperti yang ada di pikiran kamu.""Saya sama sekali tidak pernah menganggap begitu, Bu, saya tidak menipu," jawab Gendis membela diri. Orang seperti apa dirinya yang tega berbuat jahat pada majikannya sendiri?"Oh ya? Jadi kalau bukan menipu apa namanya yang kamu lakukan tadi? Kamu m
Dokter mengizinkan Gendis pulang hari ini dan menyarankan agar Gendis beristirahat dulu dari aktivitas fisik terutama yang berat dan memakan tenaga.Yang terjadi, setibanya di rumah Catherine langsung menyiksa Gendis dengan menyuruhnya membersihkan kotoran Comot, si kucing anggora berwarna putih, satu-satunya hewan peliharaan di rumah tersebut. Padahal sudah disediakan little box untuknya tapi entah mengapa kucing itu lebih suka menyebar kotorannya sembarangan."Saya kan sudah bilang sama kamu, didik kucing itu dengan benar. Ajarkan caranya buang kotoran di tempatnya," omel Catherine sambil menutup hidungnya."Sudah, Bu, saya juga tidak mengerti kenapa dia suka buang kotoran sembarangan," jawab Gendis sambil membersihkan kotoran kucing di karpet."Kalau memang sudah, nggak mungkin dia begitu. Kamu itu emang paling bisa kalau ngeles.""Baik, Bu. Nanti akan saja ajarkan lebih telaten lagi," jawab Gendis mengalah.Kucing anggora tersebut adalah pemberian teman Dexter yang merupakan seora
"Kita sudah sampai, Mbak."Gendis tersentak dari lamunannya mendengar suara supir taksi. Sejak dari rumah tadi dirinya melamun sepanjang perjalanan.Masih dari dalam taksi, Gendis mendongak, menatap ke arah gedung tinggi puluhan tingkat yang terpampang di ruang matanya.Gendis mengeja di dalam hati tulisan 'Shappire Group.'Shappire Group merupakan perusahan milik orang tua Dexter yang memiliki banyak anak perusahaan. Di anak-anak perusahaan tersebut Dexter dan Josh bekerja. Sedangkan perusahaan induk dipegang oleh Rexa, ayah kedua pria itu.Gendis bergegas merogoh tote bag. Diambilnya uang dari sana, diberikannya pada supir taksi sambil berucap, "Terima kasih".Taksi melaju pergi. Gendis masih berdiri di depan gedung tinggi itu sambil mengira-ngira di lantai berapa Dexter berkantor. Tadi Dexter hanya menyebutkan alamatnya via SMS tanpa mengatakan ruangannya di lantai berapa.Suara klakson mobil yang lewat mengejutkan Gendis. Perempuan itu tersentak. Entah sudah berapa lama ia termang
Sania menunjukkan pantry pada Gendis beserta letak gula dan kopi. Gendis berpikir sesaat. Ia merasa bingung. Tadi Dexter menyuruhnya untuk membuat kopi hanya untuk teman-temannya. Kurang etis rasanya kalau hanya membuat dua cangkir. Maka Gendis membuat tiga cangkir kopi untuk Dexter dan teman-temannya.Selagi Gendis bekerja, mulai dari menyendokkan kopi dan gula ke cangkir sampai menuang air panas, Sania terus memerhatikannya sambil mengejek di dalam hati.Gendis tidak peduli apa pun pendapat orang-orang tentangnya. Ia tetap fokus dengan kopinya. Sebenarnya ada mesin kopi di sana, sama dengan di rumah Dexter. Hanya saja Dexter pernah mengatakan pada Catherine ia lebih suka kopi manual daripada yang dihasilkan mesin kopi."Sini biar saya bantu membawanya ke ruangan Pak Dexter. Kamu silakan pulang." Sania memerintah Gendis. "Biar saya saja, Mbak, tadi Pak Dexter yang menyuruh saya," jawab Gendis menolak."Pak Dexter hanya menyuruh kamu membuat kopi bukan mengantarnya." Sania yang ingi