Sania menunjukkan pantry pada Gendis beserta letak gula dan kopi. Gendis berpikir sesaat. Ia merasa bingung. Tadi Dexter menyuruhnya untuk membuat kopi hanya untuk teman-temannya. Kurang etis rasanya kalau hanya membuat dua cangkir. Maka Gendis membuat tiga cangkir kopi untuk Dexter dan teman-temannya.Selagi Gendis bekerja, mulai dari menyendokkan kopi dan gula ke cangkir sampai menuang air panas, Sania terus memerhatikannya sambil mengejek di dalam hati.Gendis tidak peduli apa pun pendapat orang-orang tentangnya. Ia tetap fokus dengan kopinya. Sebenarnya ada mesin kopi di sana, sama dengan di rumah Dexter. Hanya saja Dexter pernah mengatakan pada Catherine ia lebih suka kopi manual daripada yang dihasilkan mesin kopi."Sini biar saya bantu membawanya ke ruangan Pak Dexter. Kamu silakan pulang." Sania memerintah Gendis. "Biar saya saja, Mbak, tadi Pak Dexter yang menyuruh saya," jawab Gendis menolak."Pak Dexter hanya menyuruh kamu membuat kopi bukan mengantarnya." Sania yang ingi
Gendis menunggu Dexter di lobi seperti yang disuruh laki-laki itu padanya tadi. Ia duduk di salah satu sofa yang ada di sana.Di lobi yang luas itu Gendis bisa merasakan pandangan dua resepsionis tadi padanya. Keduanya masih tertawa geli sambil berbisik-bisik, yang Gendis tahu sedang membicarakannya.Gendis mengabaikannya. Ia tidak tahu. Selain menertawakan dandanannya apa lagi yang diledek oleh kedua perempuan itu?Apa Gendis terlihat sangat jelek? Apa mukanya sangat tidak enak dilihat sehingga dua wanita itu tidak berhenti menatapnya dengan pandangan mencemooh?Gendis menunduk, menatap jas Dexter yang tengah dipakainya saat ini. Ia baru mengetahui sisi lain dari seorang Dexter. Lelaki itu ternyata sangat baik. Gendis hampir tidak percaya kalau dia mau meminjamkan jasnya pada Gendis. Padahal Gendis hanya pembantunya.Jari-jemari Gendis mengusap lembut jas berwarna navy itu. Aroma parfum Dexter lengket di sana. Aroma yang soft tapi maskulin.Diam-diam Gendis menciumi pergelangan tanga
Gendis turun dari taksi dengan perasaan takut-takut. Jangan-jangan Catherine sudah pulang. Perempuan itu pasti marah jika tahu suaminya membelikan banyak pakaian untuk Gendis. Untung mobil Catherine tidak ada di depan rumah yang artinya dia belum pulang.Gendis merasa lega. Cepat-cepat perempuan itu masuk ke kamarnya. Ia bercermin di depan kaca. Tangannya masih merah. Tapi rasa sakitnya seolah terkikis oleh sikap manis Dexter tadi.Gendis mengambil handphone untuk mengabari Delia bahwa ia sudah mengirimi uang untuk biaya pengobatan ibu mereka. Gendis berjanji akan mencari tambahan untuk kekurangannya. Tadi setelah dari mall Gendis tidak langsung pulang. Ia mengirim uang untuk Delia terlebih dulu.Gendis mencoba baju yang dibelikan Dexter satu demi satu. Semua indah. Semua bagus. Membuatnya terlihat menarik. Tapi Gendis tidak habis pikir bagaimana mungkin Dexter membelikannya baju sebanyak itu? Seharusnya lelaki itu hanya membelikan satu helai baju saja sebagai pengganti baju Gendis y
Bukan Catherine namanya jika perempuan itu tidak pandai bersandiwara. Dengan cepat ia mengubah air mukanya yang sempat mengeruh agar tidak terbaca oleh Dexter.Catherine melengkungkan bibir membentuk senyum paling manis yang dimilikinya."Kalau iya, aku sangat senang. Itu artinya Gendis akan semakin cepat hamil.""Kamu nggak cemburu?" uji Dexter lagi.Catherine spontan tertawa terpingkal-pingkal. Seakan mendengar lelucon yang sangat lucu. Sementara Dexter terus memandangi dan berusaha memahami gestur perempuan itu."Kenapa ketawa?" tanya Dexter meredakan gelak Catherine."Gimana aku nggak ketawa kalau kamu nanyanya kayak gitu.""Apa ada yang aneh dengan pertanyaanku?""Come on, Dex. Jangan tanyakan lagi hal itu. Sejak awal kita sudah sepakat bahwa ini hanya hubungan intim, bukan cinta. Tidak ada perasaan apa pun yang terlibat di dalamnya. Kamu masih ingat kan pesanku?""Pesan yang mana lagi?""Bahwa kamu hanya melakukannya dari belakang. Tanpa melihat wajah dia.""Oh." Mulut Dexter m
Dexter tidak habis pikir. Entah kegilaan apa lagi ini. Ada-ada saja tingkah Catherine yang membuat banyak tanya di kepalanya. Ia baru sadar tadi Catherine mengatakan honeymoon bukan liburan. Mana ada honeymoon untuk orang yang sudah lima tahun menikah? Kata itu lebih tepat digantikan dengan kata liburan karena honeymoon hanya untuk pengantin baru."Kita nggak mungkin pergi bertiga, Cat. Lagian kalau kamu bilang ini honeymoon pelakunya hanya ada dua orang yaitu aku dan kamu.""Kamu salah, Dex, kalaupun hanya pergi berdua maka yang akan pergi adalah kamu dan Gendis. Karena apa? Karena kalian berdualah pengantinnya."Sepasang suami istri itu terus berdebat. Dexter ingin hanya pergi berdua dengan Catherine. Sedangkan Catherine menginginkan mereka pergi bertiga dengan membawa Gendis."Aku nggak mau honeymoon, aku mau liburan. Dan liburannya hanya sama kamu. Just the two of us!" tegas Dexter."Whatever, Dex. Mau honeymoon, liburan, vacation, you name it, Gendis tetap harus ikut dengan ki
Setelah melalui lebih kurang dua jam penerbangan, Dexter, Catherine dan Gendis tiba di Lombok.Ya, akhirnya Gendis benar-benar ikut dengan pasangan suami istri itu. Pada mulanya Gendis ingin menolak, tapi karena khawatir Catherine kembali menudingnya sebagai pencuri, Gendis tidak dapat berbuat apa-apa selain memenuhi keinginan sang nyonya.Tadi di pesawat Gendis duduk cukup jauh di belakang Dexter dan Catherine. Mesti begitu Gendis masih bisa melihat kemesraan keduanya. Catherine tampak begitu agresif menunjukkan keintimannya dengan Dexter. Ketika Gendis sedang asyik-asyiknya memerhatikan mereka, pria muda yang duduk di sebelahnya berdeham yang membuat Gendis seketika menoleh ke arah lelaki itu."Mau ke Lombok juga, Mbak?" tanya lelaki itu retoris."Iya, Mas." Gendis menjawab dengan sopan."Mau liburan atau ada pekerjaan di sana?" tanya lelaki itu lagi."Liburan," jawab Gendis pelan. Lidahnya masih terasa kelu mengucapkan kata itu. Liburan merupakan hal yang langka baginya. Jangankan
Dexter, Catherine dan Gendis berjalan bersisian ke arah pantai dengan posisi Catherine di tengah-tengah menggandeng tangan Dexter serta Gendis di kanan dan kirinya. Situasi itu membuat Gendis merasa canggung. Satu hal yang bisa Gendis simpulkan saat ini adalah bahwa Catherine hanya berpura-pura baik di depannya saat ada Dexter. Tapi saat mereka hanya berdua Catherine menunjukkan sifat aslinya."Gimana, Gendis, kamu suka pemandangan di sini?" Catherine menatap Gendis, menanyakan pendapat gadis itu."Suka sekali, Bu.""Kamu senang?"Gendis menganggukkan kepalanya. Di dalam hati ia memuji kepiawaian Catherine memainkan dua peran. Sebagai majikan yang jahat serta sebagai madu yang manis dan baik bukan kepalang.Sementara Dexter yang berjalan di sebelah Catherine hanya diam mendengarkan interaksi kedua istrinya. Dexter bersyukur di dalam hati keduanya begitu akur. Tidak seperti para lelaki lainnya yang beristri dua dan istrinya itu sering berselisih."Kamu sudah pernah naik jetski?" Cathe
Gendis memandang bingung ke sekelilingnya. Hanya ada dirinya di tengah lautan luas yang jauh dari orang-orang. Malah ia yakin Dexter dan Catherine tidak sadar kalau Gendis tidak lagi berada di belakang mereka."Apa yang harus kulakukan?" Gendis menggumam lirih. Perasaan takut mulai merayapi hatinya.Gendis mencoba menyalakan jetski tapi tidak berhasil. "Ya Tuhan, tolong hamba-Mu ini." Gendis kembali menggumam sambil berharap jetskinya kembali hidup. Hasilnya nihil, kendaraan air itu tidak mau menyala.Gendis mulai kehilangan akal. Ia berteriak sekeras-kerasnya."Tolong! Tolong saya!"Gendis hanya mendengar suaranya sendiri."Siapa pun yang ada di sekitar sini tolong saya!!!""Tolong! Tolong!!!""Pak Dexter! Bu Catherine!"Gendis terus berteriak sampai ia merasa lelah, namun pertolongan yang diharapkan tidak kunjung datang karena memang tidak ada siapa pun di sana.Gendis mengikat rambutnya tinggi-tinggi lalu tengkurap di atas jetski. Dengan kedua tangannya ia mendayung di sisi kanan