Gendis memandang bingung ke sekelilingnya. Hanya ada dirinya di tengah lautan luas yang jauh dari orang-orang. Malah ia yakin Dexter dan Catherine tidak sadar kalau Gendis tidak lagi berada di belakang mereka."Apa yang harus kulakukan?" Gendis menggumam lirih. Perasaan takut mulai merayapi hatinya.Gendis mencoba menyalakan jetski tapi tidak berhasil. "Ya Tuhan, tolong hamba-Mu ini." Gendis kembali menggumam sambil berharap jetskinya kembali hidup. Hasilnya nihil, kendaraan air itu tidak mau menyala.Gendis mulai kehilangan akal. Ia berteriak sekeras-kerasnya."Tolong! Tolong saya!"Gendis hanya mendengar suaranya sendiri."Siapa pun yang ada di sekitar sini tolong saya!!!""Tolong! Tolong!!!""Pak Dexter! Bu Catherine!"Gendis terus berteriak sampai ia merasa lelah, namun pertolongan yang diharapkan tidak kunjung datang karena memang tidak ada siapa pun di sana.Gendis mengikat rambutnya tinggi-tinggi lalu tengkurap di atas jetski. Dengan kedua tangannya ia mendayung di sisi kanan
"Seafood di sini enak ya, Dex, aku belum pernah nemu yang rasanya seenak ini di Jakarta," kata Catherine sembari menjejalkan sepotong udang besar ke dalam mulutnya.Dexter tidak menanggapi. Walau sudah mencoba menepis pikiran tentang Gendis namun ingatannya tidak jauh-jauh dari perempuan itu."Nggak cuma udang, cuminya juga enak. Iya nggak, Dex?" Catherine terus berkicau walau Dexter tidak meresponnya.Dexter memang mengunyah makanannya tapi pikirannya ke mana-mana sehingga ia tidak tahu apa yang dikatakan istrinya. Ia memang mendengar suara Catherine tapi tidak tahu apa yang sedang dibahas."Iya nggak, Dex?" Catherine menepuk lengan Dexter yang membangunkan pria itu dari lamunan."Apanya?""Duh, Dex, kamu gimana sih? Dari tadi tuh aku ngomong sama kamu. Apa sih yang kamu pikirin?" Catherine memberengut kesal.Dexter menegakkan duduknya lalu bertanya, "Kamu ngomong apa tadi, Cat?"Catherine berdecak. Kesal karena setelah mulutnya berbuih-buih ternyata Dexter tidak mendengarnya sama se
"Boleh saya tahu siapa nama penyewa jetski itu, Pak? Dia perempuan atau laki-laki?" tanya Dexter ingin tahu. "Wah, maaf, Pak, saya juga tidak tahu. Yang tahu hanya pengelola water sport." Seseorang menjawab.Tanpa membuang waktu Dexter meninggalkan kerumunan itu lalu pergi ke pusat pengelola water sport.Sama dengan di lobi hotel tadi, di tempat tersebut juga ramai oleh orang-orang yang merupakan petugas water sport. Biasanya pada jam segini tempat itu sudah tutup. Berbeda dengan malam ini. Para petugas masih berjaga karena salah satu penyewa belum kembali."Selamat malam, Pak, saya mau tanya, apa benar ada penyewa jetski yang hilang?" tanya Dexter langsung."Kami belum memastikan yang bersangkutan hilang, Pak, hanya belum kembali," ujar salah satu petugas."Bukankah itu sama saja? Siapa namanya? Laki-laki atau perempuan?" desak Dexter tidak sabar."Perempuan. Terdaftar atas tiga orang yaitu Ibu Catherine, Bapak Dexter dan Ibu Gendis. Tadi Ibu Catherine yang mendaftarkannya. Ibu Cath
Setelah tiba di hotel Dexter menggendong Gendis yang terlelap ke kamar perempuan itu. Tampaknya Gendis benar-benar lelah sampai tidak tahu dirinya dibopong.Begitu pun saat Dexter membaringkannya di tempat tidur. Gendis tidak terganggu sama sekali oleh gerakan Dexter.Dexter menyelimuti Gendis lalu memandangi perempuan itu begitu lama. Wajah Gendis tampak pucat. Residu ketakutan tersisa di sana. Boleh jadi Gendis dilanda trauma setelah peristiwa itu.Sadar bajunya basah dan membuatnya kedinginan, Dexter beringsut dari kamar Gendis. Pria itu menuju kamarnya. Saat masuk ke sana ia melihat Catherine masih pulas dalam tidurnya. Dexter bersyukur untuk itu.Dexter mengganti bajunya yang basah dengan pakaian bersih. Ia hendak naik ke tempat tidur dan bermaksud berbaring di sebelah Catherine. Tiba-tiba ia teringat Gendis. Kondisi perempuan itu belum stabil.Bagaimana jika nanti dia terjaga dari tidurnya dan menemukan dirinya hanya sendiri? Dexter yakin Gendis pasti masih ketakutan.Saat ini
Gendis terbangun oleh gedoran keras di pintu kamarnya. Seketika perempuan itu terkesiap setelah membuka mata dan mendapati dirinya tidur dalam pelukan Dexter.Lagi-lagi detak jantungnya mengencang. Berada di dekat Dexter tidak pernah bisa membuatnya merasa biasa-biasa saja.Gendis memegang kepala, mencoba memulihkan ingatannya.Dirinya berhasil mengingat kejadian itu. Seketika rasa takut menghantuinya.Kemarin ia berada sendiri di atas jetski dan terapung-apung di laut luas tanpa ada seorang pun di dekatnya. Di detik-detik terakhir kepasrahannya tiba-tiba bantuan datang. Pertolongan itu datang dalam wujud lelaki bernama Dexter. Dan kini ia berada dalam pelukan lelaki itu.Gendis tidak tahu entah bagaimana Dexter tiba-tiba tidur bersamanya. Ini adalah untuk pertama kalinya sejak mereka menikah. Biasanya Dexter hanya datang sebentar ke kamarnya sekadar untuk memasukkan benihnya saja. Yang lebih mengejutkan Gendis adalah, Dexter tidur sambil memeluknya. Wajah lelaki itu hampir tenggelam
"Jadi Dexter ada di sini? Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" tanya Catherine sambil menahan emosinya."Maaf, Bu. Tapi tadi Ibu tidak menanyakan Bapak. Saya juga tidak tahu kenapa Bapak tidur di sini. Saat saya bangun saya menemukan Bapak ada di sebelah saya," jawab Gendis apa adanya.Catherine menusuk Gendis dengan tatapannya yang tajam. Ia menarik kesimpulan sendiri. Pasti setelah Dexter menolong Gendis, Gendis merayu Dexter. Gendis menggunakan berbagai cara termasuk memanfaatkan keadaannya agar Dexter tidur di kamarnya."Jangan bohong kamu! Pasti kamu yang menggoda suami saya. Selama ini dia selalu tidur bersama saya. Lalu kenapa tiba-tiba berada di kamar kamu?" tukas Catherine tidak percaya.Gendis menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Saya tidak bohong, Bu. Saya tidak tahu kenapa Pak Dexter ada bersama saya. Kemarin karena terlalu lelah saya tertidur dan waktu bangun saya sudah berada di kamar," jelas Gendis menerangkan keadaan yang sesungguhnya. "Kalau Ibu masih tidak percaya sil
Suasana Lombok saat itu begitu ideal saat Dexter dan kedua istrinya tiba di pantai. Tidak panas dan juga tidak dingin.Tadinya Gendis ingin beristirahat di hotel. Tapi Catherine memaksanya agar ikut. "Kamu kan belum pernah diving, apa salahnya sekali-kali kamu coba?" Itu kata Catherine tadi."Diving itu apa, Bu?" tanya Gendis polos."Dasar perempuan bego. Masa kamu nggak tahu diving? Oh iya, saya lupa, kamu kan perempuan kampung," desis Catherine yang tentu saja tidak terdengar oleh Dexter."Saya memang perempuan kampung, Bu, dan saya tidak tahu artinya." Gendis tidak tersinggung. Hinaan dari Catherine adalah makanannya sehari-hari."Bagus kalau kamu sadar," dengkus Catherine. "Diving itu artinya menyelam. Paham?!""Menyelam? Tapi saya tidak bisa berenang, Bu." Gendis takut kejadian buruk lain akan terjadi padanya."Kamu nggak harus bisa berenang buat diving. Nanti ada alatnya yang membantu kamu. Kamu tinggal nyemplung ke dalam air. Memangnya kamu nggak mau melihat keindahan di bawah
Dexter mendengar teriakan Catherine tapi ia mengabaikannya karena Gendis jauh lebih penting. Gendis masih belum sadar. Tapi syukurlah nadinya masih berdenyut. Jantungnya pun masih berdetak.Catherine yang berdiri di balik kerumunan orang-orang terpaku menyaksikan Dexter memberi napas buatan pada Gendis. Ada rasa tidak rela di hatinya. Tubuhnya seolah akan terbakar oleh rasa cemburu yang besar.Petugas kesehatan yang dipanggil segera mengambil alih. Mereka membawa Gendis ke pusat kesehatan terdekat untuk ditangani di sana. Dexter ikut menemani. Ia benar-benar lupa pada Catherine yang juga menyusul."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Dexter pada dokter yang baru keluar dari ruang pemeriksaan."Pasien belum sadarkan diri, Pak," jawab pria bersnelli putih itu."Tapi dia akan segera sadar kan, Dok? Dia akan baik-baik saja kan, Dok?" Dexter begitu mengkhawatirkan Gendis. Ia takut Gendis tidak akan pernah lagi membuka matanya. Ini bukan tentang karena perempuan itu adalah istri ked
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen