Suasana Lombok saat itu begitu ideal saat Dexter dan kedua istrinya tiba di pantai. Tidak panas dan juga tidak dingin.Tadinya Gendis ingin beristirahat di hotel. Tapi Catherine memaksanya agar ikut. "Kamu kan belum pernah diving, apa salahnya sekali-kali kamu coba?" Itu kata Catherine tadi."Diving itu apa, Bu?" tanya Gendis polos."Dasar perempuan bego. Masa kamu nggak tahu diving? Oh iya, saya lupa, kamu kan perempuan kampung," desis Catherine yang tentu saja tidak terdengar oleh Dexter."Saya memang perempuan kampung, Bu, dan saya tidak tahu artinya." Gendis tidak tersinggung. Hinaan dari Catherine adalah makanannya sehari-hari."Bagus kalau kamu sadar," dengkus Catherine. "Diving itu artinya menyelam. Paham?!""Menyelam? Tapi saya tidak bisa berenang, Bu." Gendis takut kejadian buruk lain akan terjadi padanya."Kamu nggak harus bisa berenang buat diving. Nanti ada alatnya yang membantu kamu. Kamu tinggal nyemplung ke dalam air. Memangnya kamu nggak mau melihat keindahan di bawah
Dexter mendengar teriakan Catherine tapi ia mengabaikannya karena Gendis jauh lebih penting. Gendis masih belum sadar. Tapi syukurlah nadinya masih berdenyut. Jantungnya pun masih berdetak.Catherine yang berdiri di balik kerumunan orang-orang terpaku menyaksikan Dexter memberi napas buatan pada Gendis. Ada rasa tidak rela di hatinya. Tubuhnya seolah akan terbakar oleh rasa cemburu yang besar.Petugas kesehatan yang dipanggil segera mengambil alih. Mereka membawa Gendis ke pusat kesehatan terdekat untuk ditangani di sana. Dexter ikut menemani. Ia benar-benar lupa pada Catherine yang juga menyusul."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Dexter pada dokter yang baru keluar dari ruang pemeriksaan."Pasien belum sadarkan diri, Pak," jawab pria bersnelli putih itu."Tapi dia akan segera sadar kan, Dok? Dia akan baik-baik saja kan, Dok?" Dexter begitu mengkhawatirkan Gendis. Ia takut Gendis tidak akan pernah lagi membuka matanya. Ini bukan tentang karena perempuan itu adalah istri ked
Pemilih tubuh mungil itu terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajahnya pucat. Jelas sekali kalau ia masih merasa ketakutan. Sudah dua kali ia mengalami kejadian buruk. Sudah dua kali juga ia selamat dari maut."Apa Bapak yang menyelamatkan saya?" tanyanya lirih sambil menatap Dexter yang berdiri di dekatnya."Bukan saya, tapi Tuhan. Saya hanya perantara," jawab pemilik suara bariton itu.Jawaban Dexter yang menyiratkan kerendahan hatinya membuat Gendis semakin mengagumi lelaki itu di dalam hati. Selama ini Gendis pikir Dexter adalah pria yang dingin karena sikap yang ditunjukkannya. Dexter juga jarang bicara dengan Gendis. Kalaupun mereka berinteraksi itu pun terpaksa karena ada hal yang penting."Terima kasih, Pak." suara Gendis masih selirih tadi."Sekarang gimana keadaan kamu? Apa yang kamu rasakan?""Saya sudah merasa baikan, Pak. Bisakah kita kembali ke hotel sekarang?" Gendis merasa tidak nyaman berada di tempat itu. Apalagi saat melihat Catherine baru saja masuk ke ruangan la
Gendis memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Banyak pikiran berseliweran di kepalanya. Ia teringat pada ancaman Catherine saat di rumah sakit tadi. Bahwa ia harus hamil paling lambat akhir bulan ini. Tapi bagaimana caranya? Semua itu di luar kuasanya. Andai saja bisa Gendis akan membuat dirinya hamil secepat mungkin agar ia bisa lepas dari tekanan Catherine.Lalu setelahnya apa? Ke mana dirinya akan pergi setelah anak itu lahir dan Dexter menceraikannya?Gendis tidak mungkin kembali ke kampungnya. Tidak ada harapan di sana. Malahan para gadis seusianya banyak yang mencari kerja ke kota atau menjadi TKW di luar negeri. Sayangnya kebanyakan dari mereka bukannya sukses melainkan pulang dalam keadaan menyedihkan. Ada yang diperkosa majikannya lalu pulang dengan membawa anak. Ada juga yang menjadi korban kekerasan atau malah tidak digaji sama sekali.'Apa bedanya mereka denganku?' pikir Gendis. Ia juga harus mengandung anak majikannya. Mungkin yang membedakannya adalah Gend
Cukup lama Dexter berdiri di depan pintu kamar Gendis sampai ia memiliki keberanian untuk mengetuknya. Dexter sudah membulatkan tekad. Ia harus membuat Gendis hamil secepatnya. Ia tidak mau menyakiti perasaan Catherine lebih lama lagi. Kasihan Catherine. Walau istri pertamanya itu tampak bahagia-bahagia saja, boleh jadi di dalam hatinya ia menyimpan perasaan sedih. Tok tok tok ... Ketukan di pintu kamarnya membuat Gendis terkesiap. Hanya ada dua kemungkinan yang datang. Dexter atau Catherine. Dengan hati-hati Gendis turun dari tempat tidur yang ditempatinya lalu melangkah pelan untuk membuka pintu. Sosok tinggi menjulang itu berdiri di hadapannya. "Pak Dexter ..." Jantung Gendis berdebar kencang saat tahu Dexterlah yang datang menemuinya. "Boleh saya masuk?" tanya lelaki itu. Tumben Dexter bertanya. Biasanya setelah mengetuk pintu lelaki itu akan langsung menerobos begitu saja. "Bo-boleh, Pak." Lagi-lagi Gendis tergagap seperti biasa. Dexter melangkahkan kakinya ma
Tiga minggu telah berlalu sejak mereka liburan di Lombok. Itu artinya sudah akhir bulan saat ini. Perasaan Gendis ketar-ketir tak karuan karena jika sampai ia masih belum hamil juga maka Catherine akan mengusirnya. Ke mana Gendis akan pergi? Ia tidak punya tempat berteduh selain di rumah ini. Malam itu ketika Dexter meminta agar tidak tidur sampai pagi, mereka benar-benar melakukannya. Mereka bercinta nyaris tanpa jeda. Begitu pun setelah selesai liburan. Setiap malam Dexter tidak pernah absen mengunjungi kamarnya. "Gimana? Masih belum hamil juga?" Gendis yang sedang sibuk di dapur tersentak ketika mendengar suara Catherine yang lebih mirip dengan bentakan. "Maaf, Bu, saya belum periksa," jawab Gendis takut-takut. Ini sudah akhir bulan, wajar jika Catherine menagih janjinya seperti yang dulu perempuan itu katakan. "Jadi apa saja yang kamu lakukan selama ini? Hanya menikmati percintaan dengan suami saya?" Nada suara Catherine meninggi. "Maaf, Bu, saya tidak pernah menikmat
Mata sepasang suami istri tersebut masih terpaku di wajah Gendis ketika tiba-tiba perempuan itu bergerak perlahan bersamaan dengan terbukanya kelopak matanya yang terkatup. Gendis tampak bingung melihat keadaan di sekelilingnya.“Bu Catherine, Pak Dexter,” panggilnya lirih.Catherine tersenyum pada Gendis dan cepat memberitahu. “Kita sedang di rumah sakit. Tadi kamu pingsan.”“Pingsan?” Gendis mengulangi ucapan Catherine lantas mencoba mengingat-ingat kejadian tersebut.“Tadi kamu saya suruh istirahat tapi kamu nekat ingin belanja bulanan sendirian. Terus kamu pingsan setelah pulang dari supermarket."Ah, pintar sekali perempuan ini bersandiwara."Saya sakit apa, Bu? Kenapa bisa pingsan?"Senyum Catherine melengkung lebar. Ia bertatapan dengan suaminya sebelum mengembalikan pandangannya pada Gendis.“Gendis, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter kamu dinyatakan hamil," beritahu Catherine dengan wajah berbinar ceria.Gendis terperangah. Matanya membulat sempurna.“Hamil?” ujarnya mengu
Bukan Catherine namanya jika tidak pandai bersandiwara. Ia sudah lihai melakukannya. Jangan lupakan kalau ia memiliki seribu satu wajah yang bisa diganti-ganti sesuai dengan kondisinya.Catherine cepat membingkai senyum di bibirnya untuk menutupi kegugupan."Aku ini tipe orang yang susah gemuk. Mau makan sebanyak apa pun badanku ya segini-gini aja. Jadi jangan heran kalau kandunganku masih kecil dan nggak keliatan kayak orang lagi hamil.""Tapi temanku ada yang kayak kamu juga lho, Cat. Dia langsing. Berat badannya susah naik walau makan banyak kayak yang kamu bilang. Tapi waktu dia hamil keliatan kok kalau perutnya berubah. Tapi kamu kok beda ya?"Ucapan Rosa begitu menohok hati Catherine. Melalui kata-katanya Rosa seakan ingin menyatakan bahwa ia tidak memercayai kehamilan Catherine."Setiap orang memang berbeda, Ros, nggak ada yang sama. Aku salah satunya. Tapi tenang aja, aku memang hamil kok. Kita tinggal menunggu waktu sampai perutku membesar.""Oh, okay. Jangan tersinggung ya,