Melihat perubahan ekspresi Catherine, Rosa lekas tertawa dan berkata, "Sorry, Cat, aku hanya bercanda. Jangan diambil hati ya.""I know. Kamu orangnya kan memang suka bercanda." Catherine menjawab sambil menahan marah di hatinya.Kemudian Rosa berbicara pada sepasang anak kembarnya. "Anak-anak, ayo kita pulang. Tante Catherine mau istirahat. Kasihan adek bayinya.""Baik, Ma." Dengan kompak sepasang anak kembar itu menjawab."Ayo salaman dulu sama Tante Catherine."Kelly dan Andrew mengulurkan tangan pada Catherine. Dengan enggan perempuan itu menyambut."Kami pulang dulu, Tante," ucap keduanya sambil bergantian mencium punggung tangan Catherine."Hati-hati ya anak-anak baik." Catherine menjawab dengan senyum palsunya. Ia tahu semua yang diperlihatkan anak-anak itu juga palsu. Ibu merekalah yang mengajarkan."Cat, aku pulang ya. Jaga kandunganmu baik-baik. Oh iya, apa kamu nggak berniat mengadakan syukuran atas kehamilanmu? Aku dulu begitu. Aku dan Josh juga menjalani maternity photosh
"Tadi Rosa dan anak-anaknya datang ke sini. Dia nggak percaya kalau aku hamil," curhat Catherine malam itu pada Dexter."Atas dasar apa dia bilang begitu?" tanya Dexter menanggapi."Karena ukuran perutku nggak berubah. Itu orang emang nyebelin.""Kamu nggak perlu marah sama dia, Cat. Wajar kalau dia curiga.""Jadi kamu membela dia?" Catherine tidak suka mendengar ucapan Dexter yang terkesan berpihak pada rivalnya."Aku nggak membela siapa-siapa. Aku hanya memandang secara netral. Coba tempatkan posisi kamu sebagai Rosa. Jika ada temanmu yang hamil tapi ukuran perutnya nggak berubah dari hari ke hari, apa kamu nggak curiga?"Catherine berdecak. Tentu saja ia akan curiga. Tapi ia tidak akan sekepo Rosa si penjilat, pengganggu, suka mencampuri urusan orang lain dan banyak lagi julukan yang Catherine sematkan padanya."Kamu marah aku bilang begitu?" tanya Dexter lagi melihat Catherine terdiam dengan wajah dilipat."Aku cuma nggak suka kamu membela dia. Padahal aku curhat ke kamu karena in
Berjam-jam lamanya Gendis menunggu antrian di apotik. Saking ramainya pukul lima sore ia baru tiba di rumah dengan menggunakan ojek. Uangnya tidak cukup jika harus menggunakan taksi.Setelah tiba di rumah Catherine menyambutnya dengan omelan."Kamu mampir ke mana jam segini baru pulang?""Saya tidak mampir ke mana-mana, Bu. Tapi tadi di apotik sangat ramai, antriannya panjang. Makanya saya baru bisa pulang jam segini."Catherine mendengkus tak percaya. Ia yakin Gendis pergi main dulu agar terhindar dari segala pekerjaan rumah. Di matanya Gendis adalah perempuan yang pemalas, pembohong, dan licik."Sekarang langsung masak untuk makan malam. Jam enam semuanya harus selesai.""Baik, Bu." Dengan patuh Gendis menjawab.Handphone Catherine berbunyi. Perempuan itu menjauh. Ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana. Wajahnya terlihat begitu semringah. "Wow, nggak nyangka bakal seexpress ini. Oke, aku jemput ke sana. Thanks ya." Catherine menyudahi panggilan lalu buru-buru pergi dar
Pukul delapan malam Dexter, Catherine, serta Gendis tiba di kediaman Rexa. Mobil Josh terparkir rapi di depan rumah megah itu. Ternyata Josh, Rosa serta dua orang anaknya sudah tiba lebih dulu.Saat masuk ke dalam rumah Catherine melihat Rosa sedang membantu asisten rumah tangga menata hidangan.Dasar penjilat. Catherine benci melihatnya. Pasti Rosa sengaja melakukan hal tersebut untuk mengambil hati Martha, mertua mereka."Bu Rosa, Ibu duduk saja, biar saya yang bantu Eci." Gendis yang tahu diri segera turun tangan. Eci adalah nama pembantu di rumah Martha."Nggak apa-apa, ini sudah hampir selesai kok," jawab Rosa. "Oh iya, kamu tolong potong-potong pudingnya ya," sambungnya memberi titah."Baik, Bu." Dengan segera Gendis melakukannya.Selagi Gendis, Rosa, dan Eci sibuk menata makanan untuk hidangan dinner, Catherine tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu duduk santai sambil bermain ponsel."Tante Keket!" Andrew dan Kelly datang mendekat. "Adek bayinya kapan lahir?" tanya anak-anak i
Gendis memegang foto hasil USG tersebut dengan tangan gemetar. Kemudian dilangkahkannya kaki dengan lunglai ke arah Catherine. Apa maksud Catherine mengedit foto hasil USG itu? Kenapa menukar nama Gendis dengan namanya? Dan bagaimana cara melakukannya? "Ini, Bu." Gendis memberikan hasil foto USG itu dengan sopan kepada Catherine. "Terima kasih ya." Gendis menjawab ucapan terima kasih Catherine dengan seulas senyum tipis dan anggukan kepala kemudian undur diri ke tempatnya tadi. "Mi, Pi, coba lihat ini foto hasil USG aku," pamer Catherine bangga kemudian menyodorkan pada Martha. Mertua perempuannya itu mengamati dengan saksama. Sebuah senyum membingkai bibirnya, pertanda ia merasa bahagia. "Akhirnya kamu hamil juga, Cat. Mami ikut bahagia. Kesabaran kamu berbuah manis." "Iya, Mi. Aku nggak menyangka di tahun kelima pernikahanku dan Dexter kami dikaruniai anugerah yang sangat luar biasa. Iya kan, Dex?" tatap Catherine mesra pada Dexter yang duduk di sebelahnya. Dexter m
"Maksudnya mengasingkan gimana?" Dexter ingin lebih jelas."Kita tempatkan dia di tempat lain.""Di tempat lain mana?""Terserah. Yang penting nggak tinggal di sini."Dexter menatap Catherine dengan lekat sembari menganalisa ide istrinya. Dexter khawatir kalau Gendis tinggal sendiri bisakah perempuan itu mengatasinya kalau terjadi sesuatu?"Kita carikan rumah untuk dia dan suruh dia tinggal di sana. Kita penuhi kebutuhannya agar dia nggak perlu lagi berkeliaran di luar. Gampang kan?" tutur Catherine enteng."Kalau terjadi sesuatu dengan dia gimana, Cat?" Dexter masih merasa bimbang."Nggak akan ada apa-apa. Lagian dia masih bisa menelepon kita kalau terjadi sesuatu. Gimana menurutmu?" Catherine meminta pendapat Dexter.Dexter tidak langsung menjawab. Pria itu memikirkan segala sesuatunya karena setiap tindakan pasti memiliki risiko."Udahlah, Dex, nggak usah kebanyakan mikir. Terima saja ideku. Lagian ini semua demi kebaikan kita juga." Catherine terus memaksa agar Dexter menjalankan
Air mata Gendis hampir saja berderai. Ke mana ia akan melangkah setelah Catherine mengusirnya?Bukannya tidak suka. Justru pergi dari rumah itu membuat Gendis bisa memiliki anak di dalam kandungannya. Masalahnya, Gendis tidak punya pegangan. Ia tidak tahu arah dan tujuan. Gendis tidak mungkin kembali ke kampung dalam keadaan hamil. Orang tuanya bisa malu. Apa bedanya ia dengan para TKW yang pulang dalam keadaan hamil atau membawa anak namun tanpa memiliki suami?"Sudah siap?" Tiba-tiba terdengar suara Dexter. Lelaki itu heran lantaran Gendis bersimpuh di lantai sedangkan Catherine di sofa. Selama ini Catherine selalu memperlakukan Gendis dengan baik."Dex, kamu sudah pulang? Astaga, Gendis, saya kan sudah suruh duduk sama saya di sini. Nggak usah duduk di lantai." Catherine pura-pura terkejut. Perempuan itu bangkit dari sofa kemudian menarik tangan Gendis agar berdiri.Catherine mulai lagi dengan dramanya. Gendis tahu itu.Gendis berdiri. Ia mengikuti permainan Catherine."Dex, benta
Catherine terus memberengut selama perjalanan pulang. Istrinya yang biasanya cerewet membuat Dexter bertanya-tanya apa yang terjadi pada Catherine."Kamu kenapa, Cat?" tanya Dexter setelah menoleh pada perempuan itu. "Dari tadi kuperhatiin kamu cemberut terus. Ada masalah?"Catherine mendengkus lantas membuang pandang ke luar jendela mobil."Ayolah, Cat, aku nggak ngerti kalau kamu hanya diam kayak gini. Kamu marah sama aku?""Iya!" ketus Catherine setelah membalas tatapan Dexter."Kamu marah kenapa?""Kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku kalau Gendis bakal ditempatin di apartemen? Udah gitu semua peralatannya lengkap. Kamu terlalu berlebihan, Dex." Catherine yang selama ini terbiasa berpura-pura tidak sanggup lagi menahan kekesalannya lalu menumpahkan pada Dexter."Lho, bukannya kamu sendiri yang bilang agar kita melengkapi peralatannya agar dia nggak perlu susah-susah keluar?" kata Dexter mengingatkan.Catherine meneguk ludah. Ia memang pernah bilang begitu. Tapi nggak selengkap itu
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen