"Maksudnya mengasingkan gimana?" Dexter ingin lebih jelas."Kita tempatkan dia di tempat lain.""Di tempat lain mana?""Terserah. Yang penting nggak tinggal di sini."Dexter menatap Catherine dengan lekat sembari menganalisa ide istrinya. Dexter khawatir kalau Gendis tinggal sendiri bisakah perempuan itu mengatasinya kalau terjadi sesuatu?"Kita carikan rumah untuk dia dan suruh dia tinggal di sana. Kita penuhi kebutuhannya agar dia nggak perlu lagi berkeliaran di luar. Gampang kan?" tutur Catherine enteng."Kalau terjadi sesuatu dengan dia gimana, Cat?" Dexter masih merasa bimbang."Nggak akan ada apa-apa. Lagian dia masih bisa menelepon kita kalau terjadi sesuatu. Gimana menurutmu?" Catherine meminta pendapat Dexter.Dexter tidak langsung menjawab. Pria itu memikirkan segala sesuatunya karena setiap tindakan pasti memiliki risiko."Udahlah, Dex, nggak usah kebanyakan mikir. Terima saja ideku. Lagian ini semua demi kebaikan kita juga." Catherine terus memaksa agar Dexter menjalankan
Air mata Gendis hampir saja berderai. Ke mana ia akan melangkah setelah Catherine mengusirnya?Bukannya tidak suka. Justru pergi dari rumah itu membuat Gendis bisa memiliki anak di dalam kandungannya. Masalahnya, Gendis tidak punya pegangan. Ia tidak tahu arah dan tujuan. Gendis tidak mungkin kembali ke kampung dalam keadaan hamil. Orang tuanya bisa malu. Apa bedanya ia dengan para TKW yang pulang dalam keadaan hamil atau membawa anak namun tanpa memiliki suami?"Sudah siap?" Tiba-tiba terdengar suara Dexter. Lelaki itu heran lantaran Gendis bersimpuh di lantai sedangkan Catherine di sofa. Selama ini Catherine selalu memperlakukan Gendis dengan baik."Dex, kamu sudah pulang? Astaga, Gendis, saya kan sudah suruh duduk sama saya di sini. Nggak usah duduk di lantai." Catherine pura-pura terkejut. Perempuan itu bangkit dari sofa kemudian menarik tangan Gendis agar berdiri.Catherine mulai lagi dengan dramanya. Gendis tahu itu.Gendis berdiri. Ia mengikuti permainan Catherine."Dex, benta
Catherine terus memberengut selama perjalanan pulang. Istrinya yang biasanya cerewet membuat Dexter bertanya-tanya apa yang terjadi pada Catherine."Kamu kenapa, Cat?" tanya Dexter setelah menoleh pada perempuan itu. "Dari tadi kuperhatiin kamu cemberut terus. Ada masalah?"Catherine mendengkus lantas membuang pandang ke luar jendela mobil."Ayolah, Cat, aku nggak ngerti kalau kamu hanya diam kayak gini. Kamu marah sama aku?""Iya!" ketus Catherine setelah membalas tatapan Dexter."Kamu marah kenapa?""Kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku kalau Gendis bakal ditempatin di apartemen? Udah gitu semua peralatannya lengkap. Kamu terlalu berlebihan, Dex." Catherine yang selama ini terbiasa berpura-pura tidak sanggup lagi menahan kekesalannya lalu menumpahkan pada Dexter."Lho, bukannya kamu sendiri yang bilang agar kita melengkapi peralatannya agar dia nggak perlu susah-susah keluar?" kata Dexter mengingatkan.Catherine meneguk ludah. Ia memang pernah bilang begitu. Tapi nggak selengkap itu
Gendis berdiri di depan cermin memandangi presensinya di sana. Semua pakaiannya sudah berada di dalam tas. Ia hanya tinggal pergi.'Maafin saya, Pak Dexter. Saya sangat menyayangi anak ini. Saya tidak sanggup memberikannya pada Bapak jika dia sudah lahir,' bisiknya di dalam hati.Gendis sadar tindakannya adalah hal yang tidak benar. Dirinya akan menjadi seorang pecundang yang kabur dari tanggung jawab. Tapi bolehkah untuk kali ini saja Gendis mempertahankan miliknya?Saat akan membalikkan tubuh refleksi seseorang tertangkap di dalam cermin tempatnya berkaca.Gendis terkejut bukan main. Dexter sudah berada di belakangnya."P-Pak Dexter?" lafal Gendis tergagap. Ia tidak tahu kenapa lelaki itu tiba-tiba datang di saat dirinya hendak pergi."Kamu mau ke mana?" tanya Dexter dengan tatapannya yang tegas melihat Gendis menggunakan pakaian bepergian yaitu salah satu baju yang pernah dibelikannya dulu.Gendis takut untuk mengaku. Ia menutupi tas kain yang berada di belakangnya dengan kedua kak
"Gimana, Dex? Nggak keliatan banget kan?" Dexter memandang Catherine yang saat ini tengah memasang perut palsu. Perut palsu berbahan silikon itu berhasil ia dapatkan dengan membelinya di e-commerce luar negeri. Memang ada yang menjualnya di Indonesia tapi kurang meyakinkan. Sedangkan perut palsu yang dibeli Catherine benar-benar terlihat nyata sehingga orang-orang yang melihatnya akan mengira Catherine hamil betulan. "Nggak," jawab Dexter sekenanya sambil memasang dasi di lehernya. Perut palsu itu berhasil didapatkan Catherine lebih kurang dua bulan yang lalu atau lebih tepatnya sejak mereka mengasingkan Gendis. Rencana awal untuk mencari pembantu dan supir juga gagal terlaksana lantaran tidak mungkin Catherine memasang perut palsu itu sepanjang hari. Sejak ada perut palsu itu Catherine bebas melenggang-lenggok keluar rumah. Ia tidak perlu khawatir ada yang mengetahuinya. Ia juga bebas memamerkannya pada Rosa. Pada akhirnya ia berhasil membungkam mulut perempuan itu. "Cat,
Gendis berjalan ke ruang belakang bagaikan sedang melayang. Selaras dengan perasaannya yang saat ini sedang melambung.Memangnya siapa yang tidak akan bahagia jika mengalami kondisi seperti Gendis?Gendis yang pada awalnya rendah diri dan mengira dirinya hanya dianggap sebagai pembantu ternyata bagi Dexter adalah seorang istri. Seluruh kupu-kupu dalam perutnya mengepakkan sayap. Perasaannya pecah dan membuncah.Saking bahagianya Gendis membuatkan teh untuk Dexter dengan tangan gemetar. Begitu pun ketika mengoleskan selai strawberry ke roti tawar untuk laki-laki itu. Selagi menunggu Gendis menyiapkan sarapan untuknya Dexter menyalakan televisi lalu menonton siaran berita pagi. Ia mendengar penyiar menyampaikan berita tentang kenaikan cukai rokok. Sebagai pengusaha yang membidangi usaha itu spontan membuat Dexter sakit kepala. Apalagi belakangan ini banyak konsumen yang beralih pada rokok ilegal yang harganya hanya seperlima dari rokok produksi Sapphire Group."Silakan diminum, Pak,
Pagi itu Dexter agak terlambat tiba di kantor. Ternyata tadi cukup lama dirinya menghabiskan waktu di apartemen Gendis. "Apa schedule saya hari ini?" tanyanya begitu Sania mengekorinya. "Nggak begitu padat, Pak. Hanya saja ada beberapa dokumen penting yang harus Bapak tandatangani," jawab sekretarisnya itu sembari menggeser beberapa helai kertas ke arah Dexter. Dexter menekurinya sejenak kemudian mengembalikan perhatiannya pada Shania yang masih duduk di kursi di seberang mejanya. "Menurut kamu ponsel seperti apa yang disukai oleh perempuan?" Sania mengernyit. Tidak biasanya atasannya itu menanyakan hal-hal yang berada di luar lingkup pekerjaan. "Maksud Bapak mereknya?" "Mereknya juga. Tapi yang saya tanya kira-kira ponsel seperti apa yang disukai perempuan lugu, pendiam dan feminin? Entah itu warnanya maupun fitur-fiturnya." Sania memutar ingatan. Seingatnya Catherine sangat jauh dari kategori yang diungkapkan Dexter. Catherine bukanlah tipe wanita lugu dan pendiam. Wa
Bukan hanya sekali tapi berkali-kali pose yang Dexter dan Gendis lakukan. Semakin lama posisi keduanya semakin intim. Tangan Dexter yang awalnya hanya merengkuh pinggang Gendis pindah ke pundak perempuan itu. Dexter menuntun agar kepala Gendis rebah di bahunya. Gendis tidak menolak. Mereka persis bagai sepasang kekasih yang tengah kasmaran."Kalau begini namanya duck face." Dexter meruncingkan bibirnya mengajarkan pada Gendis.Dexter melupakan banyak hal saat bersama Gendis. Termasuk penolakannya ketika Catherine mengajak wefie. Catherine memang sering mengajak Dexter berswafoto bersama, dan Dexter selalu menolak. Dexter bilang Catherine lebay karena perempuan itu sering berpose menggunakan duck face yang merupakan gaya andalannya.Tapi lihatlah sekarang apa yang Dexter lakukan dengan Gendis. Mereka berswafoto bersama dengan berbagai pose. Dari pose serius sampai gaya konyol namun tetap mesra."Hahaha ... mulut kamu lucu banget," komentar Dexter melihat hasil jepretannya."Kamu juga,