Pagi itu Dexter agak terlambat tiba di kantor. Ternyata tadi cukup lama dirinya menghabiskan waktu di apartemen Gendis. "Apa schedule saya hari ini?" tanyanya begitu Sania mengekorinya. "Nggak begitu padat, Pak. Hanya saja ada beberapa dokumen penting yang harus Bapak tandatangani," jawab sekretarisnya itu sembari menggeser beberapa helai kertas ke arah Dexter. Dexter menekurinya sejenak kemudian mengembalikan perhatiannya pada Shania yang masih duduk di kursi di seberang mejanya. "Menurut kamu ponsel seperti apa yang disukai oleh perempuan?" Sania mengernyit. Tidak biasanya atasannya itu menanyakan hal-hal yang berada di luar lingkup pekerjaan. "Maksud Bapak mereknya?" "Mereknya juga. Tapi yang saya tanya kira-kira ponsel seperti apa yang disukai perempuan lugu, pendiam dan feminin? Entah itu warnanya maupun fitur-fiturnya." Sania memutar ingatan. Seingatnya Catherine sangat jauh dari kategori yang diungkapkan Dexter. Catherine bukanlah tipe wanita lugu dan pendiam. Wa
Bukan hanya sekali tapi berkali-kali pose yang Dexter dan Gendis lakukan. Semakin lama posisi keduanya semakin intim. Tangan Dexter yang awalnya hanya merengkuh pinggang Gendis pindah ke pundak perempuan itu. Dexter menuntun agar kepala Gendis rebah di bahunya. Gendis tidak menolak. Mereka persis bagai sepasang kekasih yang tengah kasmaran."Kalau begini namanya duck face." Dexter meruncingkan bibirnya mengajarkan pada Gendis.Dexter melupakan banyak hal saat bersama Gendis. Termasuk penolakannya ketika Catherine mengajak wefie. Catherine memang sering mengajak Dexter berswafoto bersama, dan Dexter selalu menolak. Dexter bilang Catherine lebay karena perempuan itu sering berpose menggunakan duck face yang merupakan gaya andalannya.Tapi lihatlah sekarang apa yang Dexter lakukan dengan Gendis. Mereka berswafoto bersama dengan berbagai pose. Dari pose serius sampai gaya konyol namun tetap mesra."Hahaha ... mulut kamu lucu banget," komentar Dexter melihat hasil jepretannya."Kamu juga,
"Ini kenapa penjualan kita jadi menurun drastis kayak gini?" Dexter menatap kertas-kertas yang yang disodorkan padanya dengan kerutan di dahi."Maaf, Pak, penjualan kita bulan ini memang menurun. Sepertinya kebijakan kita untuk menaikkan harga adalah keputusan yang kurang tepat," jawab Renita, bagian keuangan Sapphire Group yang membawahi bidang industri rokok.Dexter menghela napas panjang sambil memijit pelipis. Akibat bea cukai yang naik, otomatis ia juga harus membuat kebijakan menaikkan harga. Dan dampaknya adalah menurunnya volume penjualan. Para konsumen beralih pada merek lain yang harganya lebih murah. Hanya pelanggan setia dan mengerti arti kualitas yang masih bertahan.Sebagai seorang pebisnis, bagi Dexter menaikkan harga produk adalah keputusan yang sangat sulit ia lakukan. Namun ia harus.Ting!Sebuah pesan masuk di ponsel Dexter yang terletak di atas meja.Dexter meraihnya ketika tahu itu dari Gendis melalui bilah notifikasi.Gendis mengirimnya sebuah foto brownies. Foto
Dexter dan Gendis duduk bersama di ruang tunggu dokter kandungan dengan pasien lainnya. Suasana saat itu cukup ramai oleh pengunjung sehingga mereka harus menunggu cukup lama.Setelah kontrol kandungan bersama Catherine dulu, ini adalah yang kedua bagi Gendis. Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui perkembangan calon anak dalam rahimnya. Namun seantusiasnya Gendis, euforia Dexter jauh lebih besar."Ibu Gendis Tsabina Putri!" panggil seorang perawat yang baru saja keluar dari ruangan dokter lalu berdiri di sisi pintu."Iya, saya!" Gendis menyahut sambil berdiri. Dexter turut tegak dari duduknya. Pasangan itu berjalan memasuki ruangan dokter.Keduanya duduk di kursi pasien, berbasa-basi singkat, menjawab pertanyaan dokter dan apa keluhan yang dialaminya sampai dokter menyuruh Gendis berbaring di tempat periksa. Seharusnya Dexter bisa menanti di tempat duduknya karena bisa melihat dari layar. Namun lelaki itu terlalu antusias sehingga ia pun ikut berdiri di sebelah Gendis, menemani pere
Ciuman yang panas dan penuh gairah itu mengantar mereka dari sofa ruang tengah ke kamar pribadi Gendis.Dexter membaringkan Gendis dengan begitu hati-hati. Ia khawatir salah bertindak sedikit saja maka akan mengakibatkan bahaya bagi calon anak mereka.Setelah membaringkannya, Dexter turut merebahkan diri di sebelah Gendis. Mereka kembali berciuman dengan tangan saling mendekap.Berawal dari bibir, kecupan Dexter turun ke leher terus ke dada lalu berhenti. Bukan untuk benar-benar berhenti melainkan untuk menyingkap baju hamil Gendis. Kemudian tampaklah pemandangan itu. Perut Gendis yang tinggi dan hampir menyaingi dadanya.Dexter membelainya kemudian melabuhkan kecupan lembut di sana.Seketika calon bayi mereka merespon dengan tendangan kuat. Dexter terkejut lalu tertawa."Ndis, dia nendang aku. Kayaknya dia marah.""Bukan marah, Dex, tapi dia senang," kata Gendis mengoreksi. "Ayo dong, sapa dia sebentar."Dexter membelai perut Gendis sekali lagi. Begitu halus, begitu lembut. "Nak, i
Dexter terperanjat mendengar suara alarm yang memekakkan telinga. Alarm itu berasal dari handphonenya yang terletak di atas nakas.Ia baru tersadar setelah membuka mata dan mendapati dirinya bukan berada di kamar rumahnya, melain di apartemen Gendis.Gendis masih lelap dalam pelukannya. Dexter ingat, kemarin malam setelah bercinta dan pillow talk mereka berdua tertidur tanpa sempat berpakaian. Tubuh mereka hanya dilapisi sebuah selimut tebal berwarna putih.Dexter menjangkau handphone dari atas nakas kemudian mematikan alarm. Ia melihat banyak notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab dari Catherine.Perempuan itu mencemaskannya lantaran Dexter tidak pulang. Semestinya Dexter merasa bersalah. Tapi saat ini ia sudah kehilangan respect pada Catherine semenjak wanita itu mengatakan, 'Kenapa nggak cari pembantu sekalian buat dijadiin istri'.Dexter mengabaikan rentetan pesan dari Catherine. Diletakkannya ponsel kembali. Kemudian dengan hati-hati ia mengangkat kepala Gendis dari leng
Catherine merasa sakit hati atas cara Dexter memperlakukannya. Sebelumnya Dexter tidak pernah begini. Dexter selalu peduli padanya, mendengarkan kata-katanya dengan baik dan tidak pernah mengabaikannya walau hanya satu kali. Bagi Dexter, Catherine adalah wanita teristimewa yang sudah biasa diperlakukan seperti ratu. Namun lihatlah apa yang dilakukannya tadi. Sampai suara Catherine serak karena terus memanggil nama Dexter, lelaki itu terus berlalu pergi. Seakan Catherine tidak pernah ada di dekatnya. Catherine yang sakit hati kemudian masuk ke dalam rumah. Diambilnya handphone. Ia menelepon ke kantor Dexter. "Halo, selamat pagi," sapa suara di seberang sana setelah beberapa kali nada masuk. "Pagi. Ini saya Catherine." "Oh, Bu Catherine. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Jantung Sania berdetak kencang mendapat telepon dari istri bosnya. "Bapak sudah datang?" "Kelihatannya belum, Bu. Saya nggak melihat Bapak dari tadi. Apa Ibu ada pesan? Nanti saya akan sampaikan," ucap Sania sop
Dexter ikut memandang ke atas meja, tepat pada wadah makanan yang saat ini dipegang Catherine.Haruskah ia jujur?Ah, tidak. Keterusterangannya hanya akan menyulitkan dirinya sendiri. Jika dulu Dexter merasa bersalah karena menyakiti Catherine,sekarang perasaan itu sudah berubah. Sebenarnya Dexter bisa saja jujur mengatakannya. Tapi ia tidak ingin Catherine membayang-bayangi pergerakannya. Maka diputuskannya untuk berbohong."Aku beli di luar.""Di luar mana? Kenapa pake kotak makanan kayak gini?" Catherine yang belum puas terus menginterogasi Dexter."Di drive thru. Puas?" Catherine terkejut mendengar cara Dexter menjawab pertanyaannya yang terkesan kasar. Lelaki itu seolah tidak suka dirinya berada di sana."Pergilah, Cat, aku ingin kerja dengan tenang.""Jadi kamu mengusirku?" Nada suara Catherine meningkat beberapa oktaf. "Padahal aku ke sini hanya ingin membicarakan acara syukuran kehamilanku lusa besok.""Aku nggak bilang begitu. Aku cuma ingin sendiri agar bisa fokus.""You'