Catherine terus memberengut selama perjalanan pulang. Istrinya yang biasanya cerewet membuat Dexter bertanya-tanya apa yang terjadi pada Catherine."Kamu kenapa, Cat?" tanya Dexter setelah menoleh pada perempuan itu. "Dari tadi kuperhatiin kamu cemberut terus. Ada masalah?"Catherine mendengkus lantas membuang pandang ke luar jendela mobil."Ayolah, Cat, aku nggak ngerti kalau kamu hanya diam kayak gini. Kamu marah sama aku?""Iya!" ketus Catherine setelah membalas tatapan Dexter."Kamu marah kenapa?""Kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku kalau Gendis bakal ditempatin di apartemen? Udah gitu semua peralatannya lengkap. Kamu terlalu berlebihan, Dex." Catherine yang selama ini terbiasa berpura-pura tidak sanggup lagi menahan kekesalannya lalu menumpahkan pada Dexter."Lho, bukannya kamu sendiri yang bilang agar kita melengkapi peralatannya agar dia nggak perlu susah-susah keluar?" kata Dexter mengingatkan.Catherine meneguk ludah. Ia memang pernah bilang begitu. Tapi nggak selengkap itu
Gendis berdiri di depan cermin memandangi presensinya di sana. Semua pakaiannya sudah berada di dalam tas. Ia hanya tinggal pergi.'Maafin saya, Pak Dexter. Saya sangat menyayangi anak ini. Saya tidak sanggup memberikannya pada Bapak jika dia sudah lahir,' bisiknya di dalam hati.Gendis sadar tindakannya adalah hal yang tidak benar. Dirinya akan menjadi seorang pecundang yang kabur dari tanggung jawab. Tapi bolehkah untuk kali ini saja Gendis mempertahankan miliknya?Saat akan membalikkan tubuh refleksi seseorang tertangkap di dalam cermin tempatnya berkaca.Gendis terkejut bukan main. Dexter sudah berada di belakangnya."P-Pak Dexter?" lafal Gendis tergagap. Ia tidak tahu kenapa lelaki itu tiba-tiba datang di saat dirinya hendak pergi."Kamu mau ke mana?" tanya Dexter dengan tatapannya yang tegas melihat Gendis menggunakan pakaian bepergian yaitu salah satu baju yang pernah dibelikannya dulu.Gendis takut untuk mengaku. Ia menutupi tas kain yang berada di belakangnya dengan kedua kak
"Gimana, Dex? Nggak keliatan banget kan?" Dexter memandang Catherine yang saat ini tengah memasang perut palsu. Perut palsu berbahan silikon itu berhasil ia dapatkan dengan membelinya di e-commerce luar negeri. Memang ada yang menjualnya di Indonesia tapi kurang meyakinkan. Sedangkan perut palsu yang dibeli Catherine benar-benar terlihat nyata sehingga orang-orang yang melihatnya akan mengira Catherine hamil betulan. "Nggak," jawab Dexter sekenanya sambil memasang dasi di lehernya. Perut palsu itu berhasil didapatkan Catherine lebih kurang dua bulan yang lalu atau lebih tepatnya sejak mereka mengasingkan Gendis. Rencana awal untuk mencari pembantu dan supir juga gagal terlaksana lantaran tidak mungkin Catherine memasang perut palsu itu sepanjang hari. Sejak ada perut palsu itu Catherine bebas melenggang-lenggok keluar rumah. Ia tidak perlu khawatir ada yang mengetahuinya. Ia juga bebas memamerkannya pada Rosa. Pada akhirnya ia berhasil membungkam mulut perempuan itu. "Cat,
Gendis berjalan ke ruang belakang bagaikan sedang melayang. Selaras dengan perasaannya yang saat ini sedang melambung.Memangnya siapa yang tidak akan bahagia jika mengalami kondisi seperti Gendis?Gendis yang pada awalnya rendah diri dan mengira dirinya hanya dianggap sebagai pembantu ternyata bagi Dexter adalah seorang istri. Seluruh kupu-kupu dalam perutnya mengepakkan sayap. Perasaannya pecah dan membuncah.Saking bahagianya Gendis membuatkan teh untuk Dexter dengan tangan gemetar. Begitu pun ketika mengoleskan selai strawberry ke roti tawar untuk laki-laki itu. Selagi menunggu Gendis menyiapkan sarapan untuknya Dexter menyalakan televisi lalu menonton siaran berita pagi. Ia mendengar penyiar menyampaikan berita tentang kenaikan cukai rokok. Sebagai pengusaha yang membidangi usaha itu spontan membuat Dexter sakit kepala. Apalagi belakangan ini banyak konsumen yang beralih pada rokok ilegal yang harganya hanya seperlima dari rokok produksi Sapphire Group."Silakan diminum, Pak,
Pagi itu Dexter agak terlambat tiba di kantor. Ternyata tadi cukup lama dirinya menghabiskan waktu di apartemen Gendis. "Apa schedule saya hari ini?" tanyanya begitu Sania mengekorinya. "Nggak begitu padat, Pak. Hanya saja ada beberapa dokumen penting yang harus Bapak tandatangani," jawab sekretarisnya itu sembari menggeser beberapa helai kertas ke arah Dexter. Dexter menekurinya sejenak kemudian mengembalikan perhatiannya pada Shania yang masih duduk di kursi di seberang mejanya. "Menurut kamu ponsel seperti apa yang disukai oleh perempuan?" Sania mengernyit. Tidak biasanya atasannya itu menanyakan hal-hal yang berada di luar lingkup pekerjaan. "Maksud Bapak mereknya?" "Mereknya juga. Tapi yang saya tanya kira-kira ponsel seperti apa yang disukai perempuan lugu, pendiam dan feminin? Entah itu warnanya maupun fitur-fiturnya." Sania memutar ingatan. Seingatnya Catherine sangat jauh dari kategori yang diungkapkan Dexter. Catherine bukanlah tipe wanita lugu dan pendiam. Wa
Bukan hanya sekali tapi berkali-kali pose yang Dexter dan Gendis lakukan. Semakin lama posisi keduanya semakin intim. Tangan Dexter yang awalnya hanya merengkuh pinggang Gendis pindah ke pundak perempuan itu. Dexter menuntun agar kepala Gendis rebah di bahunya. Gendis tidak menolak. Mereka persis bagai sepasang kekasih yang tengah kasmaran."Kalau begini namanya duck face." Dexter meruncingkan bibirnya mengajarkan pada Gendis.Dexter melupakan banyak hal saat bersama Gendis. Termasuk penolakannya ketika Catherine mengajak wefie. Catherine memang sering mengajak Dexter berswafoto bersama, dan Dexter selalu menolak. Dexter bilang Catherine lebay karena perempuan itu sering berpose menggunakan duck face yang merupakan gaya andalannya.Tapi lihatlah sekarang apa yang Dexter lakukan dengan Gendis. Mereka berswafoto bersama dengan berbagai pose. Dari pose serius sampai gaya konyol namun tetap mesra."Hahaha ... mulut kamu lucu banget," komentar Dexter melihat hasil jepretannya."Kamu juga,
"Ini kenapa penjualan kita jadi menurun drastis kayak gini?" Dexter menatap kertas-kertas yang yang disodorkan padanya dengan kerutan di dahi."Maaf, Pak, penjualan kita bulan ini memang menurun. Sepertinya kebijakan kita untuk menaikkan harga adalah keputusan yang kurang tepat," jawab Renita, bagian keuangan Sapphire Group yang membawahi bidang industri rokok.Dexter menghela napas panjang sambil memijit pelipis. Akibat bea cukai yang naik, otomatis ia juga harus membuat kebijakan menaikkan harga. Dan dampaknya adalah menurunnya volume penjualan. Para konsumen beralih pada merek lain yang harganya lebih murah. Hanya pelanggan setia dan mengerti arti kualitas yang masih bertahan.Sebagai seorang pebisnis, bagi Dexter menaikkan harga produk adalah keputusan yang sangat sulit ia lakukan. Namun ia harus.Ting!Sebuah pesan masuk di ponsel Dexter yang terletak di atas meja.Dexter meraihnya ketika tahu itu dari Gendis melalui bilah notifikasi.Gendis mengirimnya sebuah foto brownies. Foto
Dexter dan Gendis duduk bersama di ruang tunggu dokter kandungan dengan pasien lainnya. Suasana saat itu cukup ramai oleh pengunjung sehingga mereka harus menunggu cukup lama.Setelah kontrol kandungan bersama Catherine dulu, ini adalah yang kedua bagi Gendis. Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui perkembangan calon anak dalam rahimnya. Namun seantusiasnya Gendis, euforia Dexter jauh lebih besar."Ibu Gendis Tsabina Putri!" panggil seorang perawat yang baru saja keluar dari ruangan dokter lalu berdiri di sisi pintu."Iya, saya!" Gendis menyahut sambil berdiri. Dexter turut tegak dari duduknya. Pasangan itu berjalan memasuki ruangan dokter.Keduanya duduk di kursi pasien, berbasa-basi singkat, menjawab pertanyaan dokter dan apa keluhan yang dialaminya sampai dokter menyuruh Gendis berbaring di tempat periksa. Seharusnya Dexter bisa menanti di tempat duduknya karena bisa melihat dari layar. Namun lelaki itu terlalu antusias sehingga ia pun ikut berdiri di sebelah Gendis, menemani pere
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen