Ciuman yang panas dan penuh gairah itu mengantar mereka dari sofa ruang tengah ke kamar pribadi Gendis.Dexter membaringkan Gendis dengan begitu hati-hati. Ia khawatir salah bertindak sedikit saja maka akan mengakibatkan bahaya bagi calon anak mereka.Setelah membaringkannya, Dexter turut merebahkan diri di sebelah Gendis. Mereka kembali berciuman dengan tangan saling mendekap.Berawal dari bibir, kecupan Dexter turun ke leher terus ke dada lalu berhenti. Bukan untuk benar-benar berhenti melainkan untuk menyingkap baju hamil Gendis. Kemudian tampaklah pemandangan itu. Perut Gendis yang tinggi dan hampir menyaingi dadanya.Dexter membelainya kemudian melabuhkan kecupan lembut di sana.Seketika calon bayi mereka merespon dengan tendangan kuat. Dexter terkejut lalu tertawa."Ndis, dia nendang aku. Kayaknya dia marah.""Bukan marah, Dex, tapi dia senang," kata Gendis mengoreksi. "Ayo dong, sapa dia sebentar."Dexter membelai perut Gendis sekali lagi. Begitu halus, begitu lembut. "Nak, i
Dexter terperanjat mendengar suara alarm yang memekakkan telinga. Alarm itu berasal dari handphonenya yang terletak di atas nakas.Ia baru tersadar setelah membuka mata dan mendapati dirinya bukan berada di kamar rumahnya, melain di apartemen Gendis.Gendis masih lelap dalam pelukannya. Dexter ingat, kemarin malam setelah bercinta dan pillow talk mereka berdua tertidur tanpa sempat berpakaian. Tubuh mereka hanya dilapisi sebuah selimut tebal berwarna putih.Dexter menjangkau handphone dari atas nakas kemudian mematikan alarm. Ia melihat banyak notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab dari Catherine.Perempuan itu mencemaskannya lantaran Dexter tidak pulang. Semestinya Dexter merasa bersalah. Tapi saat ini ia sudah kehilangan respect pada Catherine semenjak wanita itu mengatakan, 'Kenapa nggak cari pembantu sekalian buat dijadiin istri'.Dexter mengabaikan rentetan pesan dari Catherine. Diletakkannya ponsel kembali. Kemudian dengan hati-hati ia mengangkat kepala Gendis dari leng
Catherine merasa sakit hati atas cara Dexter memperlakukannya. Sebelumnya Dexter tidak pernah begini. Dexter selalu peduli padanya, mendengarkan kata-katanya dengan baik dan tidak pernah mengabaikannya walau hanya satu kali. Bagi Dexter, Catherine adalah wanita teristimewa yang sudah biasa diperlakukan seperti ratu. Namun lihatlah apa yang dilakukannya tadi. Sampai suara Catherine serak karena terus memanggil nama Dexter, lelaki itu terus berlalu pergi. Seakan Catherine tidak pernah ada di dekatnya. Catherine yang sakit hati kemudian masuk ke dalam rumah. Diambilnya handphone. Ia menelepon ke kantor Dexter. "Halo, selamat pagi," sapa suara di seberang sana setelah beberapa kali nada masuk. "Pagi. Ini saya Catherine." "Oh, Bu Catherine. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Jantung Sania berdetak kencang mendapat telepon dari istri bosnya. "Bapak sudah datang?" "Kelihatannya belum, Bu. Saya nggak melihat Bapak dari tadi. Apa Ibu ada pesan? Nanti saya akan sampaikan," ucap Sania sop
Dexter ikut memandang ke atas meja, tepat pada wadah makanan yang saat ini dipegang Catherine.Haruskah ia jujur?Ah, tidak. Keterusterangannya hanya akan menyulitkan dirinya sendiri. Jika dulu Dexter merasa bersalah karena menyakiti Catherine,sekarang perasaan itu sudah berubah. Sebenarnya Dexter bisa saja jujur mengatakannya. Tapi ia tidak ingin Catherine membayang-bayangi pergerakannya. Maka diputuskannya untuk berbohong."Aku beli di luar.""Di luar mana? Kenapa pake kotak makanan kayak gini?" Catherine yang belum puas terus menginterogasi Dexter."Di drive thru. Puas?" Catherine terkejut mendengar cara Dexter menjawab pertanyaannya yang terkesan kasar. Lelaki itu seolah tidak suka dirinya berada di sana."Pergilah, Cat, aku ingin kerja dengan tenang.""Jadi kamu mengusirku?" Nada suara Catherine meningkat beberapa oktaf. "Padahal aku ke sini hanya ingin membicarakan acara syukuran kehamilanku lusa besok.""Aku nggak bilang begitu. Aku cuma ingin sendiri agar bisa fokus.""You'
Dexter tidak datang menemui Gendis hari ini. Lelaki itu mengatakan padanya harus menghadiri acara syukuran kehamilan palsu Catherine.Sejujurnya, Gendis juga ingin sekali berada di posisi itu. Namun ia tahu hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Cukup dengan segala perhatian Dexter dan sikap manis lelaki itu sudah membuatnya sangat bersyukur.Terbersit dalam pikirannya untuk menelepon Dexter, sekadar bertanya apa acaranya lancar. Tapi sesuatu menghalangi Gendis.'Aku nggak boleh egois. Dexter juga punya istri. Istri yang sesungguhnya. Istri yang juga membutuhkan perhatiannya. Jadi biarkan dia menikmati acara itu,' batinnya.Gendis tidak pernah tahu bahwa di kediamannya saat ini Dexter sama sekali tidak menikmati acara tersebut.Hari ini hunian mewah Dexter dan Catherine sudah ramai oleh orang-orang yang Catherine undang untuk menghadiri acara syukuran kehamilan palsu perempuan itu yang memasuki usia delapan belas minggu. Atau lebih tepatnya empat bulanan menuju lima.Di antara para
Mobil yang dikendarai Dexter memasuki komplek apartemen Gendis. Dengan cepat lelaki itu melesat menuju unit istrinya. "Dex?" Gendis terkejut setelah membuka pintu dan melihat Dexter berdiri tegak di hadapannya. "Kamu kok ke sini?" "Nggak boleh memangnya?" tanya Dexter balik. "Bukan nggak boleh, tapi kamu kan lagi ada acara." "Acaranya sudah selesai dari tadi. Dan aku kangen sama kamu. Aku nggak bisa menunggu sampai besok," ungkap Dexter jujur. Lelaki itu tidak bisa menahan perasaannya. Lalu ditariknya Gendis ke dalam pelukannya. Perkataan dan sikap Dexter membuat Gendis tak kuasa menahan senyum bahagia. "Masuk yuk," ajak Gendis setelah pelukan mereka terurai. Keduanya masih berdiri di depan pintu. Dexter mengikuti Gendis yang menggandeng tangannya. "Gimana acaranya?" tanya Gendis setelah mereka berdua duduk. "Biasa," jawab Dexter datar sembari membaringkan kepalanya di atas pangkuan Gendis. Itu adalah kebiasaannya. Caranya bermanja-manja dengan istri keduanya. "Masa
Gendis tertegun sepersekian detik lamanya ketika tahu bukan Dexter yang datang, melainkan ... Catherine."Bu Catherine ...," lafal Gendis lirih.Catherine menatap Gendis dengan tajam. Tanpa dipersilakan perempuan itu menerobos masuk. Kedua matanya memindai seisi ruangan dengan nyalang. Seakan sedang memperkirakan apa saja yang pernah terjadi antara Gendis dan Dexter di tempat tersebut.Gendis berdiri kaku di belakang Catherine tanpa mampu mengatakan sepatah kata pun. Semua ini sangat mengejutkan. Tidak ada dalam prediksinya bahwa Catherine akan datang padanya. Dan Gendis juga tidak tahu apa maksud perempuan itu mengunjunginya."Bu Catherine, ada yang bisa saya bantu?" Akhirnya Gendis memberanikan diri untuk bicara.Catherine memutar tubuhnya. Memberi Gendis tatapan yang sangat menusuk."Kenapa kamu melanggar janjimu?""Jan-janji yang mana, Bu?" ucap Gendis terbata-bata."Janji bahwa kamu nggak akan menggoda suami saya!!!" Catherine menghardik dengan keras hingga membuat Gendis berjeng
Jarum jam bergerak menuju angka dua belas siang. Biasanya pada pukul segini Gendis sudah siap memasak dan menata hidangan di meja makan. Ia juga memotret hasil olahan tangannya lalu mengirimkan pada Dexter yang membuat lelaki itu tidak sabar untuk pulang mencicipi masakannya.Tapi hari ini berbeda. Tidak ada hidangan lezat yang tersaji di atas meja makan ataupun foto makanan yang dikirimkannya pada Dexter.Gendis tidak menyediakan apa pun. Rencana memasak iga bakar juga gagal total. Semuanya ambyar.Bel yang ditekan mengejutkan Gendis dari lamunannya. Ia baru saja selesai mengumpulkan seluruh pakaian Dexter dan memasukkannya ke dalam kantong besar.Gendis menarik langkah berat dan tubuh lunglainya ketika bel berikutnya kembali terdengar. Ia sangat yakin itu Dexter yang datang. Dugaan Gendis terbukti benar ketika pintu tersingkap. Suaminya ada di sana. Dexter akan menciumnya seperti kebiasaannya selama ini yang akan mencium Gendis setiap akan pergi dan pulang. Dengan cepat Gendis men